Opini

Pemberdayaan Perempuan dari Bilik Pesantren

Selasa, 9 Maret 2010 | 03:44 WIB

Oleh Mudrikah*)
 
Sudah sejak dahulu perempuan sering menjadi korban ketidakadilan. Baik di ranah domestik maupun publik, perempuan masih menjadi pihak yang kalah. Penghargaan dan apresiasi terhadap mereka masih demikian minim. Justru sebaliknya, perlakukan tidak adil yang sering diterima. Baik itu terjadi secara fisik maupun mental. Rupanya, perempuan masih menempati posisi subordinat. Ia menjadi pihak nomor dua setelah laki-laki.
 
Selain itu, perempuan masih menjadi objek marginalisasi. Mereka masih menjadi kaum yang terpinggirkan baik dalam hal pendidikan, ekonomi, maupun akses publik. Perempuan masih dibatasi geraknya sehingga tidak bisa mengembangkan diri. Mereka juga mendapat stereotype (pelabelan) sebagai kaum lemah. Meski sekuat apapun perempuan dalam rumah tangga, tetap saja ia dianggap lemah. Label ini sudah kadung melekat sejak dulu dan sulit untuk dihilangkan. Akibatnya, perempuan tidak dianggap berjasa apa-apa meskipun dalam keluarga ia banyak berperan.<>
 
Dalam hal kekerasan, perempuan juga masih menjadi objek utama, baik itu KDRT, traffiking, seksual, fisik, maupun ekonomi. Perempuan seolah tak memiliki kebebasan gerak. Dimana-mana ancaman bisa datang sewaktu-waktu. Berbeda dengan laki-laki yang jarang menerima perlakukan kekerasan tersebut. Justru malah laki-laki yang sering melakukan kekerasan terhadap perempuan. Di luar negri sekalipun, kasus kekerasan terhadap TKI lebih sering dialami kaum perempuan. Ini adalah bukti bahwa perempuan belum menerima keadilan.
 
Pondasi Kehidupan

Persoalan keadilan memang menjadi topik yang hangat dibicarakan. Sebab, keadilan menjadi tujuan utama kehidupan ini. Intelektual muslim Abu Bakar al Razi (wafat 865 M), menegaskan bahwa tujuan tertinggi kita diciptakan dan ke mana kita diarahkan, bukanlah kegembiraan atas kesenangan fisik, tetapi pencapaian ilmu pengetahuan dan praktik keadilan. Ini artinya, keadilan menjadi asas dasar kehidupan. Karena itu, menjadi niscaya jika keadilan perlu ditegakkan.
 
Dalam kitab suci Al-Qur'an, banyak teks yang menjelaskan mengenai hal tersebut. Penyebutannya lebih dari lebih dari 50 kali dalam beragam bentuk. Dalam penyebutannya tidak hanya kata 'adl yang digunakan, tetapi juga kata lain yang maknanya identik dengan keadilan, seperti al-qisth, al-wasath (tengah), al-mizan (seimbang), al-sawa/al-musawah (sama/persamaan), dan al-matsil (setara). Bahkan, Tuhan sendiri memilih 'adl sebagai nama bagi-Nya. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa keadilan benar-benar menjadi pondasi kehidupan.
 
Sayangnya, realisasi keadilan seringkali jauh dari konsep ideal. Keadilan hanya mampu dinikmati oleh segelintir orang saja. Dan lebih disayangkan lagi, orang-orang yang menerima ketidakadilan seringkali adalah orang yang dikategorikan marginal seperti rakyat kecil. Termasuk juga para kaum perempuan. Disinilah sesungguhnya gelembung problem bermunculan. Banyaknya kasus-kasus penggusuran, KDRT, trafficking, serta kasus kriminal, terjadi karena adanya ketidakadilan baik secara sistem maupun kultur.
 
Korban yang sangat menderita adalah perempuan. Sebab, perempuan selain secara fisik lebih lemah dibanding laki-laki, meski tidak semuanya, juga secara psikis lebih sensitif. Perempuan lebih gampang trauma dan terluka hatinya. Tidak hanya terluka secara fisik saja. Korban kekerasan seksual misalnya, selain menderita fisik, juga menderita psikis. Jadi, perempuan lebih banyak menerima resiko kekerasan dari pada laki-laki.
 
Selain itu, perempuan secara kultur juga sering menerima ketidakadilan dalam kehidupan. Adanya marginalisasi merupakan salah satu bukti. Sampai saat ini masih ada perempuan yang dilarang berpendidikan tinggi, berkarir, dan beraktifitas di ranah publik. Mereka hanya ditempatnya sebagai 'konco wingking' yang bertugas mengurus anak dan melayani suami. Sangat jarang ia memiliki kesempatan mengakses aktifitas sosial.    
 
Pemberdayaan

Dari fakta inilah, sudah semestinya perempuan bangkit. Apalagi saat ini banyak gerakan yang membela kaum perempuan, diantaranya adalah gerakan gender. Gerakan ini telah menyebar ke berbagai belahan dunia dengan beragam aktifitasnya. Respon terhadap gerakan ini juga cukup positif. Meski disana-sini terjadi penyesuaian dengan kultur dan tata aturan setempat. Termasuk di pesantren sendiri, gerakan gender telah mengilhami berbagai macam gebrakan.
 
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) pimpinan Sinta Nuriyah bisa menjadi contoh. Di forum tersebut, banyak dikaji kitab-kitab fikih untuk kemudian dikritisi. Apakah terdapat tafsir yang bias gender atau tidak. Adapun di kalangan NU, sebagai organisasi yang memiliki banyak pesantren, saat ini telah membolehkan perempuan duduk di bangku legislatif. Hal ini didasarkan atas Konferensi Besar Syuriah Nahdlatul Ulama 1957.
 
Kebolehan perempuan duduk di kursi legislatif adalah berkat perjuangan Kongres Muslimat NU 1954 di Surabaya yang merekomendasi perempuan dapat duduk di legislatif, dan menunda usia pernikahan. Sebelumnya, pada tahun 1930 KH Bisri Syansuri telah mendirikan pesantren perempuan di Denayar, Jombang. Pada tahun 1946 lahir Undang-Undang (UU) Nomor 22 yang salah satu pasalnya mengatakan perkawinan, perceraian, dan rujuk harus dicatatkan. UU ini merupakan kemajuan karena sebelumnya perceraian tidak membutuhkan saksi dan sepenuhnya tergantung keputusan suami.
 
Gerakan pemberdayaan perempuan yang dilakukan NU dan pesantrennya adalah salah satu upaya untuk mengangkat citra perempuan. Dan untuk menjauhkan mereka dari diskriminasi serta ketidakadilan. Gerakan yang semacam ini sudah sepantasnya untuk terus digalakkan. Jangan sampai perempuan terus-terusan menjadi kaum subordinat yang hanya pasrah menerima keadaan. Perempuan haruslah bangkit untuk memetik buah keadilan.
 
*) Penulis adalah aktivis perempuan dan santri Pondok Pesantren Nurul Ummah Yogyakarta


Terkait