Oleh Mahbib Khoiron
Mang Idung memutar musik shalawat agak kencang ketika kakinya mulai mengayuh odong-odong keliling di kawasan Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Siang itu keringatnya bercucuran, tapi mulutnya yang sesekali menirukan lantunan shalawat menutupi kesan letih pada dirinya. Kepalanya manggut-manggut, di saat yang sama roda odong-odong terus berputar. Enam anak kecil yang menjadi penumpangnya harus kerasan dan menikmati jasa hiburan Mang Idung itu.
Cerita tentang Mang Idung ini menarik karena perilakunya yang di luar kebiasaan. Odong-odong miliknya tidak pernah sereligius sekarang. Meski menjadi tumpangan para balita, Mang Idung lebih sering memutar keras-keras lagu "Sambalado"-nya Ayu Tingting atau lagu dangdut lainnya ketimbang lagu anak-anak, apalagi shalawat. Tampaknya pada Ramadhan kali ini ia adaptif dengan keadaan masyarakat yang sedang gandrung-gandrungnya suasana religius. Mang Idung tahu, suara Opick atau Habib Syech pasti lebih memikat daripada dangdut atau musik "profan" lainnya.
Pesona Ramadhan memang tak pernah membosankan. Bahkan sejak menjelang bulan suci ini tiba. Ragam ekspresi kerinduan muncul di mimbar-mimbar khotbah, forum-forum pengajian, atau laman media sosial yang berisiknya masyaallah. Cukup susah menilai ungkapan kecintaan mereka atas Ramadhan tidak serius, sebagaimana pula sukar menyimpulkan ekspresi tersebut tidak pura-pura. Entah serius atau pura-pura, yang pasti adalah daya tarik Ramadhan menandai munculnya perilaku sosial baru yang selama sebelas bulan lainnya jarang kita temui.
Pelan-pelan kita melihat suasana menjadi serba-berbau agama. Gejala ini ternyata tidak hanya berlangsung di masjid atau majelis taklim, melainkan juga pasar, mall, televisi, atau media sosial. Di pasar, "religiusitas" itu ditampakkan dengan banyaknya pedagang yang menawarkan busana Muslim keluaran terbaru. Di mall pun sama, plus sepanduk "Marhaban ya Ramadhan" dan replika masjid sebagai ornamen yang dipajang di beberapa sudut. Tayangan sinetron religi pun beranak pinak. Iklan-iklan di layar kaca menjadi kontekstual dengan nuansa bulan puasa. Sejumlah tontonan komedi juga rela menggeser jam tayang mereka, mengikuti perubahan pola makan umat Islam.
Fenomena musik odong-odong dengan demikian hanyalah bagian kecil saja dari gejala umum yang datang tiap Ramadhan--juga Idul Fitri. Sebuah gejala yang menunjukkan betapa agama memiliki tautan yang amat kompleks ketika dibawa dalam konteks kemasyarakatan. Sifatnya yang sakral, syahdu, dan khidmat tak otomatis terbebas sama sekali dari unsur duniawi. Pengalaman keagamaan yang menyentuh kedalaman jiwa personal pemeluknya bagi banyak orang, bisa menjadi "barang" yang laku dijual bagi sebagian orang. Di sinilah ritual, simbol, atau institusi agama lalu hampir tidak pernah bersih dari keterlibatan kepentingan lain di luar agama, baik kepentingan yang berkaitan dengan ekonomi maupun kepentingan yang berkenaan dengan politik.
Pada level ini sakralitas agama akan menjelma sebagai komoditas di mata orang-orang yang melihat peluang menguntungkan lain di dalamnya. Bila tidak, kita tentu tidak bakal menemukan harga bahan pokok melambung tinggi tiap Ramadhan atau jelang Lebaran datang; pusat perbelanjaan semakin disesaki pengunjung justru ketika malam bakda tarawih tiba; atau para pimpinan parpol yang kian sibuk melakukan kampanye di balik istilah "silaturahim" atau "buka puasa bersama". Bukankah Ramadhan mendorong kita semakin intim dengan Tuhan, istirahat sejenak dari kesibukan yang melelahkan selama sebelas bulan? Lantas, mengapa Ramadhan yang antiduniawi menjadi kental kepentingan duniawi?
Keadaan yang paradoks ini di satu sisi memperlihatkan kompleksitas agama secara sosial, namun di sisi lain menunjukkan kerentanannya sebagai sesuatu yang diasumsikan suci dan murni karena dikerubungi berbagai kepentingan. Bila kepentingan di luar agama bisa masuk ke dalam aktivitas kultural agama--seperti kasus odong-odong musim Ramadhan--bisa dibayangkan bagaimana bila agama benar-benar terlembaga secara formal, dalam wujud negara agama, misalnya. Sesuatu yang formal lazimnya punya kuasa dan sumber daya yang lebih besar dibanding yang non-formal. Jika demikian, semakin besar pula pihak-pihak berkepentingan bakal mendekat, semakin besar pula potensinya disalahgunakan.
Kita mungkin tak perlu terlalu curiga agama bakal rusak ketika diformalkan, tapi kita juga harus sadar bahwa agama hampir tak pernah berdiri sendiri. Ia akan selalu bersinggungan dengan aspek-aspek lain yang kerap tidak mudah diurai secara sederhana. Karenanya mengatakan "khilafah adalah solusi", misalnya, bukan saja menimbulkan kekhawatiran akan nasib kesetaraan warga negara yang plural tapi juga mengingkari kompleksitas dalam diri agama itu sendiri. Bukankah cerita tentang odong-odong di atas menunjukkan bahwa praktik manipulasi simbol dan pertautan kepentingan bekerja dengan baik, bahkan di level yang sangat mikro?
Wallahu a’lam.
Penulis adalah alumni Madrasah Mu'allimin Islamiyah Pondok Pesantren at-Tanwir Sumberrejo, Bojonegoro.