Oleh Zainuddin*
Al-qur’an merupakan kitab suci agama Islam yang diturunkan sebagai petunjuk kehidupan. Di dalamnya, termuat nilai-nilai kebaikan, kebenaran dan keindahan. Sejarah penurunannya seiring dengan kondisi sosio-kultural yang carut-marut. Budaya jahiliah yang pada waktu itu menghegemoni kehidupan masyarakat, menjadi titik penanda bahwa komunitas Arab kala itu berada dalam fase kehidupan penuh keterpurukan.
<>Ketika kehidupan dibelenggu oleh praktik yang tidak manusiawi, tampaklah di antara mereka sosok Quraisy yang kelak diangkat seorang rasul. Dalam Sejarah Islam, karya Ali Asghar Razwi (2003), diceritakan bahwa beliau (baca: nabi) tidak pernah bersekutu dengan berhala yang menjadi sesembahan masyarakat pada waktu itu. Nabi sejak kecil tidak pernah mempraktikkan perilaku jahiliah yang jauh dari nilai-nilai kemuliaan akhlak. Justeru beliau senantiasa mengaplikasikan sifat-sifat terpuji sehingga pesonanya menebar di tengah-tengah komunitasnya. Hal ini menjadi nilai plus tersendiri sehingga Al-qur’an yang diturunkan kepada beliau bisa menjadi panutan kehidupan, meskipun harus ditempuh dengan perjuangan yang gigih.
Berawal dari perenungan panjang terhadap fenomena kaumnya yang centang-perana, beliau mengasingkan diri untuk mencari semacam “wangsit”. Upayanya ternyata tidak sia-sia setelah pada malam lailatul qadr, datanglah sosok malaikat yang ditugasi oleh Allah untuk menyampaikan risalah suci kepada nabi. Pada waktu itu juga, beliau resmi menjadi nabi Allah dengan bekal wahyu ilahi untuk didakwahkan. Inilah awal peradaban mencerahkan yang dikemas dalam perintah mengagungkan Allah dengan memahami fenomena sekitar serta menyadari pentingnya ilmu pengetahuan, utamnya lewat tulisan (Q.S. Al-alaq).
Turunnya Al-qur’an pada waktu itu meniscayakan rahamat Allah untuk mendekonstruksi tatanan sosial sebagaimana dalam kitab ini, diajarkan cara berkehidupan yang beradab. Moralitas menjadi garapan utamanya demi tercapainya civil society yang berlandaskan ajaran samawi. Tidak berlebihan kiranya jika dinyatakan bahwa Al-qur’an adalah kitab kesejahteraan dan kemakmuran yang layak menjadi pegangan semua penghuni jagad raya ini. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan hidup yang bisa dilansir dari potret kehidupan nabi bersama para sahabatnya. Kebahagiaan mereka sulit dibayangkan karena kesuksesan peralihan peradaban ternyata bisa dicapai dalam hitungan tahun. Hal ini tidak terlepas dari peran nabi serta kehadiran Al-qur’an yang revolusioner terhadap kondisi kehidupan kala itu.
Jahiliah bukanlah murni kebodohan
Di antara umat Islam, banyak yang berpandangan bahwa masyarakat Arab pra-turunnya Al-qur’an diselimuti oleh kebodohan. Mereka hidup dalam kegelapan yang tidak terarah sama sekali. Bahkan, mereka tidak mengetahui hakikat kebenaran. Oleh karena itu, berhala yang dibuat oleh tangan-tangan mereka sendiri, menjadi Tuhan yang disembah dan ditakuti. Fenomena ini dipahami sebagai faktor yang kuat bahwa mereka terkungkung dalam kehidupan yang primitif dan tidak rasional. Mereka dibelenggu oleh mitos bahwa Tuhan buatan mereka mempunyai kekuatan sakral. Agak aneh bahwa mereka meyakini kekuatan yang tersembunyi di balik berhala-berhala yang mereka buat sendiri. Padahal, logika yang semestinya, ciptaaan tunduk di bawah otoritas empunya.
Namun, kebenaran pandangan ini perlu dikaji ulang terkait adanya beberapa indikator yang menunjukkan bahwa tidak semua mereka merupakan orang primitif yang tidak tahu apa-apa sama sekali. Pada waktu itu, golongan Quraisy menjadi pemimpin suku yang lain. Mereka berkuasa atas pola kehidupan masyarakat karena paham kesukuan saat itu sangat kuat. Suku yang kuat menjadi penguasa sehingga tak seorangpun berani menentang kebijakan dan pola hidup yang dimainkannya.
Sebagai tradisi dan kebudayaan mereka, suku yang berkuasa berhak menjadi pemegang kunci ka’bah. Lalu lintas peribadatan diatur sepenuhnya oleh suku tersebut. fenomena ini menambah kekuatan tersendiri bagi suku itu untuk melancarkan semua gagasan yang ingin diterapkan bagi masyarakatnya. Mitologisasi ka’bah sekitar ka’bah juga menjadi keyakinan mereka bahwa siapa saja yang berani berbuat ulah di sana akan mendapatkan bencana yang dahsyat. Terbukti bahwa pasukan Abrahah dengan kendaraan gajahnya hancur lebur, hilang bagai ditelan bumi ketika berupaya untuk menghancurkan ka’bah. Dari kejadian itu, diambil simpulan pemahaman bahwa sikap dan gerakan perlawanan terhadap ka’bah pasti berdampak fatal. Oleh karena itu, praktik paganistik dianggap bentuk peribadatan yang sah karena tiadanya marabahaya yang tampak terhadap kelangsungan hidup mereka.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa praktik paganistik merupakan sebuah pola yang memang sengaja di—set oleh kaum oligarkis (Quraisy) untuk mengendalikan masyarakat. Ali Asghar Razwi juga menyatakan bahwa orang Quraisy mentradisikan kegiatan utang-piutang dengan corak kapitalistik. Mereka memberi pinjaman uang kepada masyarakat dengan konpensasi pembayaran yang jauh lebih tinggi daripada modal awal (rentenir). Kapitalisme tidak dapat dielakkan, kaum lemah berada dalam kondisi tertindas. Untuk tetap bisa mengontrol masyarakat, dialihkanlah perhatian mereka menuju penyembahan Tuhan-tuhan palsu sehingga mereka hanya disibukkan oleh mitos-mitos yang diciptakan sebagai jebakan.
Diketahui bahwa pada waktu itu, sudah dikenal nama Allah sebagai Tuhan yang Mahapencipta. Bahkan, nama-nama mereka tidak jarang yang berinisial kata Allah seperti ayah nabi Muhammad, yakni Abdullah yang berarti hamba Allah. Ketika Abu Thalib, paman nabi diajak untuk memeluk Islam, beliau mengaku bahwa Islam merupakan agama yang benar di sisi Allah. Namun, beliau tidak berani memeluknya karena merasa takut terhadap kecaman kaumnya. Ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di balik penyembahan terhadap berhala.
Islam dan revolusi
Gerakan revolusi Islam bisa dilihat dari beberapa aspek. Sarbini (Islam di Tepian Revolusi: 2005) menyatakan bahwa setidak-tidaknya ada tiga aspek yang melingkupi revolusi Islam. pertama adalah konteks sosio-historis. Muhammad (nabi) dilahirkan ketika kaumnya dalam kekacauan. Tatanan yang dianut bernuansa kapitalistik-eksploitatif. Kedua adalah pribadi nabi sendiri sebagai ikon gerakan revolusioner yang ditugaskan oleh Allah sebagai rahmat bagi semua lapisan masyarakat. Ketiga adalah misi pembebasan yang dibawa oleh nabi. Dalam hal yang ketiga ini, beliau menancapkan landasan sosialistik dengan dasar kepentingan bersama.
Tiga aspek di muka merupakan akar revolusi yang tercermin dalam Al-qur’an. Diturunkannya Al-qur’an kepada nabi tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat tertindas untuk mendapatkan perlindungan. Al-qur’an memuat dasar-dasar kehidupan yang perlu diaplikasikan sebagai konsep ideal. Muatan yang ditawarkannya berlawanan diametral dengan praktik kehidupan kala itu. Tidak merupakan hal yang aneh bahwa sosialisasi nabi sebagai penerima Al-qur’an, kitab suci kehidupan, selalu dipermasalahkan oleh kaumnya. Bertitik tolak dari fenomena inilah, nabi berjuang dengan gigih dalam menanamkan kebenaran qur’ani.
Keinginan kuat nabi untuk membumikan Al-qur’an di tengah-tengah “kebuasan” hidup, disertai dengan kepribadiannya yang menarik perhatian orang banyak. Sikap amanah beliau menjadi nilai plus tersendiri sehingga banyak orang yang percaya terhadap misinya, meskipun belum berani menerimanya dengan terang-terangan. Hal ini disebabkan oleh kuatnya pengaruh kaum Quraisy, penentang risalah nabi, dalam sistem kehidupan masyarakat. Ketika diketahui ada yang berani mengikuti nabi, mereka diintimidasi. Bahkan, salah seorang sahabat yang setia dengan ajaran nabi, Bilal bin Rabbah, tidak segan-segan disiksa sehingga anggota tubuhnya mengeluarkan darah.
Dalam suasana yang sangat membahayakan itulah, kemukjizatan Al-qur’an ditampakkan olah Allah. Pada suatu ketika, Umar bin Khattab, seorang tokoh pemuka Quraisy yang sangat antipati terhadap ajaran nabi, bermaksud untuk membunuh saudari kandungnya karena memeluk Islam. mendengar lantunan Al-qur’an yang dibacakan oleh adiknya, pedang yang dibawa Umar terjatuh. Dia langsung menuju rasul dan bersyahadat di hadapan beliau untuk menjadi pengikutnya serta siap melindungi beliau dari ancaman kaum kafir.
Realtitas itu menjadi bukti kongkret bahwa Al-qur’an mempunyai konrribusi yang sangat besar dalam sejarah perjalanan Islam. Bergabungnya Umar ke dalam Islam semakin memantapkan i’tikad nabi untuk mendakwahkan ajaran samawi tersebut. Dalam hitungan tahun, ajaran qura’ni menjadi inspirasi peralihan peradaban jahiliah menuju pencerahan dengan perlindungan yang berpihak kepada orang-orang lemah. Pada titik itulah, Al-qur’an tampil sebagai agent of change (pelaku perubahan) yang diterjemahkan dalam kehidupan nyata dengan bentuk keislaman nabi dan para sahabatnya. Dengan demikian, berdiri tegaklah tiang-tiang kebenaran, keadilan, kesejahteraan, kedamaian, kesetaraan, dan sebagainya. Wallahu a’lamu bisshawab
*Aktif di Forum Komunikasi Santri Surabaya (FoKSA) serta mahasiswa Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya