Opini

NU dan Ragam Pemikiran Keagamaan

Senin, 30 Januari 2017 | 10:30 WIB

NU dan Ragam Pemikiran Keagamaan

Ilustrasi

Oleh Abdul Haris Citra Atmaja

Jika Budi Utomo berciri kebudayaan, Sarekat Islam menekankan aspek perjuangan politik, dan Muhammadiyah memposisikan dirinya sebagai gerakan pendidikan, maka Nahdlatul Ulama berdiri sebagai organisasi sosial keagamaan (jam`iyah diniyah ijtima`iyah).

Organisasi yang berdiri pada tahun 1926 ini, memiliki beberapa tujuan pokok, di antaranya, pertama, melawan derasnya arus "pemurnian" ajaran Islam yang digelorakan beberapa tokoh Wahabi dimotori oleh Arab Saudi. Gerakan ini ditentang oleh para kiai di berbagai pesantren karena berpotensi melunturkan tradisi keislaman lokal khas Nusantara.

Gagasan NU pada Muktamar ke-33 di Jombang yang diselenggarakan tahun 2015 lalu dengan bertemakan Islam Nusantara, hal ini bertujuan agar tradisi Islam khas Nusantara menjadi punggung peradaban Islam dunia.

Prof KH Said Aqil Siroj atau yang biasa disapa 'Kang Said', Ketua Umum PBNU menegaskan bahwa Islam Nusantara itu artinya Islam yang tidak menghapus budaya, Islam yang tidak memusuhi tradisi, Islam yang tidak menafikan atau menghilangkan kultur. Islam Nusantara adalah Islam yang mensinergikan nilai nilai universal dari Tuhan dengan kultur  tradisi yang bersifat kreativitas manusia.

Bagi para kiai, Islam selalu menyesuaikan dengan kultur budaya di mana ia berkembang. Dengan meminjam pernyataan Junaid al-Baghdadi (w. 297 H) bahwa Islam itu warna-warni, beraneka ragam, dan multikultural (la lawna lahu wa lawnuhu lawnaina’ihi).

Fakta antropologis menunjukkan adanya perbedaan corak epistemologi pemikiran antara Islam di Hijaz dan Islam di Persia. Jika Islam di Hijaz lebih mengedepankan teks (an-nash), maka Islam di Persia secara umum lebih mengedepankan kekuatan nalar pikiran (al-'aql).

Selanjutnya, sejumlah pemikir mengategorikan Islam di Persia ke dalam dua corak, yaitu Islam Kuffah dan Islam Bashrah. Jika Islam Kuffah berparadigma formalisme-rasionalistik dengan tokohnya misalnya Ibrahim al-Nakha`i (w. 95 H), Masruqal-Hamdani (w. 63 H), maka Islam Bashrah bernuansa sufitik-spiritual dengan tokohnya Hasan al-Bashri (w. 110 H) dan Rabi`ahal-Adawiyah (w. 185 H).

Jika rasionalisme para ulama di Kufah merupakan respons positif atas filsafat Yunani kuno yang berkembang di sana, maka asketisme Hasan al-Bashri dan eskapisme Rabi`ah merupakan kritik terhadap hedonisme yang melanda Bashrah.

Di Indonesia, Islam berkembang di Jawa, Aceh, Minangkabau, Sulawesi, Nusa Tenggara, dll, yang kesemuanya itu memiliki ciri khas tersendiri dalam mengekspresikan nilai-nilai keislaman. Di Jawa, misalnya, ekspresi nilai-nilai keislaman dapat dibedakan antara Islam pesisir utara Jawa yang cenderung ortodoks dan Islam pesisir selatan Jawa yang lebih heterodoks.

Kita bisa melihat tampilan keislaman di pesisir utara Jawa mulai dari Banten, Cirebon, Pekalongan, Rembang, Tuban, Surabaya, Pasuruan, hingga Situbondo yang berbeda dengan karakter keislaman di kawasan selatan Jawa mulai dari Yogyakarta, Kebumen, Magelang, Ngawi, Blitar, Pacitan, Lumajang hingga Banyuwangi.

Melihat keanekaragaman itu, NU tidak serta merta berambisi untuk merangkul warga Nahdliyyin ke dalam satu jenis pemikiran yang ekslusif. Warga NU hingga hari ini dibiarkan dengan segala bentuk keanekaragamannya.

Kedua, NU berdiri untuk mendidik masyarakat agar tidak fanatik pada salah satu mazhab pemikiran.

Dalam Statuten (anggaran dasar) Perkoempoelan Nahdlatul Ulama pasal 2 disebutkan tentang tujuan berdirinya NU, yaitu:

“Adapoenmaksoedperkoempoelan ini jaitoe memegang dengan tegoehsatoe dari mazhabnja imam empat jaitoe Imam Moehammad bin Idris asj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah An-Ne’man, atau Imam Ahmad bin Hanbal, dan mengedjakan apa saja yang mendjadikan kemaslahatan agama Islam”.

Artinya, di tengah masyarakat yang hanya bersandar pada mazhab Syafi’i, NU membuka ruang bagi diikutinya mazhab lain bahkan yang dikenal rasionalis sekalipun seperti Imam Abu Hanifah.

Kini sejumlah kiai NU ternyata sudah mulai melakukan penjelajahan lintas pemikiran.

Dalam berbagai kegiatan ilmiah dan bahtsulmasa’il, mereka tidak hanya mengutip pendapat para imam mazhab Suni yang empat saja, melainkan juga dari kelompok lain seperti Mu`tazilah dan Syi`ah.

Sejumlah kiai merujuk pada tafsir al-Zamakhsyari yang bercorak Mu`tazilah dan fiqih Ja`fari yang bercorak Syi`ah. Di beberapa pesantren, tafsir al-Kasysyaf yang ditulis al-Zamakhsyari itu, dipelajari secara khusus oleh para santri.

Bahkan beberapa kiai NU ada yang secara diam-diam mengonsumsi karya-karya keislaman progresif yang ditulis oleh Hasan Hanafi, MohamedArkoen, Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur, dan Fazlur Rahman.

Mengapa demikian?

Karena dalam soal pemikiran keagamaan, sikap para kiai NU adalah clear-cut; “lihat apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan” (undhur ma qala wala tanzhur man qala).  Selain itu, tolok ukur sebuah kebenaran bukan diukur dari siapa yang mengatakannya, tapi dari apa yang dikatakannya, seperti apa argumentasinya dan bagaimana manfaatannya.

Seperti disebutkan di ujung terakhir pasal 2 Statuten Perkoempoelan NU itu, kemasalahatan adalah landasan dari seluruh diskursus pemikiran keagamaan di lingkungan NU. Pandangan ini tidak asing. Sebab, mayoritas ulama memang berpendirian demikian.

Izzud Din ibn Abdis Salam (w. 660 H) misalnya mengatakan: "innamal takalif kulluha raji`atun ila mashalih al-`ibad fi dunyahum wa ukhrahum (seluruh ketentuan dan ajaran di dalam Islam dikembalikan sepenuhnya kepada kemaslahatan)”.

Inti dari itu semua adalah bagaimana kemaslahatan dapat terwujud. Kemaslahatan inilah yang nantinya menjadi parameter keabsahan sebuah pemikiran dalam Islam dan ini juga yang terus menjadi bahan bakar pergerakan pemikiran keagamaan di lingkungan Nahdlatul Ulama,  dari mulai berdiri sampai sekarang, dan akan terus bergerak hingga masa yang akan  datang.

Tulisan ini saya persembahkan dalam Rangka memperingati Hari Lahir Nahdlatul Ulama yang ke 91.

31 Januari 1926-31 Januari 2017.

Selamat Harlah NU ke-91

Penulis adalah mahasiswa semester 4, Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung; aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)


Terkait