Opini

NU Bukan Tempat Hijrah?

Senin, 7 Mei 2018 | 11:15 WIB

Oleh Abdi Kurnia Johan

Bagi sebagian Nahdliyyin, mungkin tulisan ini dianggap mengganggu dan dianggap tidak berpihak kepada NU. Namun bagi saya pribadi, tulisan ini harus ditampilkan ke muka publik ketika saluran aspirasi resmi disumbat karena alasan-alasan yang tidak bisa dipahami. 

Tulisan ini berangkat dari fenomena keberislaman di Jabodetabek, yang disebut sebagai jangkar pusaran sosial dan politik nasional. Dalam keseharian penulis menjalani aktivitas sebagai penyampai materi keislaman, banyak fenomena keberislaman yang penulis jumpai di banyak tempat. 

Sebagaimana telah diketahui, bahwa fenomena hijrah dalam kurun waktu lima tahun belakangan ini meramaikan suasana keislaman di wilayah jabodetabek. Fenomena hijrah tampak gegap gempita ketika para pesohor beramai-ramai menyatakan "hijrah" dari kehidupan lamanya yang serba gemerlap kepada kehidupan Islami yang penuh dengan kesahajaan. 

Ingatan publik mungkin tidak lupa dengan "hijrahnya" Teuku Wisnu di tengah kariernya yang menanjak karena sinetron "Cinta Fitri". Wisnu mengambil sikap bak Alex Fergusson yang menyatakan pensiun dari dunia kepelatihan pasca keberhasilan MU meraih gelar Primiership kedua puluh. 

Publik, terutama kaum ibu, terhenyak kaget mengetahui Teuku Wisnu mundur dari dunia sinetron dan memilih jalan mendalami Islam. Sejak itu, pemberitaan tentang Teuku Wisnu selalu menyoroti aktivitasnya mendalami ajaran Islam, dimulai dari mengikuti kajian di kelompok HTI, berguru kepada Khalid Basalamah dan belakangan—tengah akrab dengan Ustadz Abdul Shomad. 

Mengikuti jejak Teuku Wisnu, fenomena "hijrah" yang menghentakkan publik Tanah Air adalah fenomena mundurnya Cesar dari dunia hiburan. Pejoget yang dikenal dengan goyangan khasnya secara resmi menyatakan hijrah dari dunia gemerlap dan beralih mendalami Islam sesuai dengan sunnah. 

Adalah perkawinannya dengan Indadari yang disinyalir menjadi penyebab hijrahnya Cesar dari dunia keartisan. Indadari pun diketahui bersahabat akrab dengan Soraya Balfast, artis yang diketahui sebagai murid setia Ust. Abu Jibril. 

Hijrahnya kedua artis itu kemudian diikuti oleh banyak artis muda lainnya, seperti Reza Peterpan, Kartika Putri, Cacha Federica, dan masih banyak lagi. Tidak saja di kalangan artis, fenomena hijrah juga terjadi di kalangan eksekutif muda metropolitan. Mereka yang semasa kuliah dikenal sebagai anak gaul atau anak cafe dan jauh dari sentuhan Islam, ketika memasuki kehidupan yang  lebih mapan, berubah menjadi lebih "islami" dan jauh dari kesan masa lalunya. 

Jika ditelusuri sejarahnya, fenomena "hijrah" ini sebenarnya adalah pengulangan dari fenomena yang terjadi pada era 1990-an. Bahkan bisa dikatakan fenomena 1990-an lebih gegar dibandingkan fenomena yang saat ini terjadi. 

Namun, yang menjadi pertanyaan dari maraknya fenomena hijrah itu adalah kenapa kebanyakan tidak memilih NU sebagai tempat hijrahnya? 

Pertanyaan ini barangkali ada yang menyangkal dengan pernyataan bahwa di NU pun banyak publik figur yang menjadikannya sebagai "tempat hijrah". Sebut saja Giring Nidji, Naga, Tsamara Amany dan Arya Permadi. Tapi, sayangnya beberapa nama yang disebut kurang familiar di telinga awam. Ditambah lagi, mendekatnya nama-nama figur milenial yang disebut itu lebih menegaskan kepentingan politik dibandingkan ketulusan (jika bisa dikatakan begitu) di dalam berislam. 

Kecenderungan untuk menjadikan NU sebagai "tempat hijrah" tidaklah seramai tempat-tempat lain yang dijadikan sebagai "destinasi spiritual" berhijrah. 

Hipotesis ini mungkin akan dibantah dengan pernyataan, "Itu karena mereka tidak tahu pondok sebagai tempat yang tepat untuk hijrah. Andaikan mereka tahu, tentu destinasinya akan ke pondok." Atau barangkali akan ada yang membuat bantahan, "NU bukan tempat orang memahami Islam secara instan. Dengan keberadaan para santri, NU sudah cukup". 

Jawaban-jawaban seperti di atas, selain menunjukkan ketidakdewasaan di dalam menyikapi fenomena sosial, juga menunjukkan ketidakjujuran di dalam mengakui kekurangan untuk menyempurnakan langkah dakwah ke depan. 

Secara pribadi, pernyataan-pernyataan seperti di atas atau yang senada dengannya sudah bisa diduga sebelumnya. Namun bagi saya pribadi, terlalu sering membuat pembelaan malah makin menunjukkan banyaknya kekurangan, dan membuat jiwa menjadi kerdil. Ini bukan berarti di dalam hati ini tidak ada lagi cinta kepada NU. 

Kembali kepada pertanyaan "kenapa NU tidak menjadi destinasi terbaik untuk hijrah?" Jawabannya sangat banyak. Pertanyaan itu juga mengisyaratkan anehnya fenomena yang terjadi. Bukankah di NU banyak berkumpul alim ulama yang jelas otoritas keilmuannya? Bukankah juga di NU banyak kalangan kelas menengah baru yang mampu menampilkan sajian metropolis bagi para pencari kebahagiaan spiritual? Bukankah NU terbukti sebagai organisasi yang menampilkan Islam dalam gambarannya yang moderat? Bukankah...? Bukankah...? Entah berapa banyak bukankah yang bisa diajukan sebagai pertanyaan untuk menyikapi dan menjawab keanehan fenomena tersebut. 


Penulis adalah pengurus Lembaga Dakwah PBNU


Terkait