Opini

Muslim sebagai Agen Perdamaian Dunia

Jumat, 20 April 2018 | 05:30 WIB

Oleh M. Zidni Nafi’

Di tengah pertarungan ideologi global pada abad ke-21 ini, umat Islam hampir di seluruh penjuru dunia menghadapi tantangan yang sangat berat. Agama Islam seolah-olah menjadi ‘kambing hitam’ oleh pihak yang hendak melumpuhkan Islam karena dianggap bisa sebagai penghalang untuk memuluskan keserakahan mereka menguasai dunia.

Tidak heran jika banyak upaya dilakukan untuk melemahkan umat Islam serta mempropagandakan citra Islam agar terlihat jahat, ekstrem, bahkan dicap teroris, sehingga melahirkan fenomena Islamophobia di mana-mana. Akibatnya banyak negara yang semakin mencurigai komunitas Muslim terutama di negara-negara Barat dan negara yang penduduk Muslimnya minoritas.

Lebih jauh, negara-negara di kawasan Timur-Tengah menjadi sasaran empuk agresi militer oleh mereka yang mengatasnamakan hendak memberangus teroris, atau tokoh kelompok Muslim yang dianggap membahayakan eksistensi mereka. 

Sadar Menjadi Muslim?

Sesungguhnya Muslim sejati adalah Muslim yang memegang teguh prinsip wasathiyah (moderasi) dalam segenap lini hidupnya (Haidar Bagir, 2017: 131). Oleh karena itu, menjadi Muslim juga sejati tidak hanya sebatas menjalankan ritual keagamaan semata, namun juga punya tanggungjawab pribadi maupun kolektif dalam kehidupan sehari-hari.

Apalagi di era media sosial seperti ini, di mana-mana ucapan, sikap, dan tindakan bebas dilakukan dengan dalih demokrasi dan HAM. Tidak jarang bila kebebasan tersebut justru cenderung menunjukkan ujaran kebencian, caci maki, nyinyir, bahkan hingga fitnah.

Hal demikian yang sedang melanda internal umat Islam. Perbedaan pendapat, aliran, ormas, partai politik tak pernah usang sebagai faktor utama yang membuat umat Islam tidak pernah bersatu dan berdamai. Apalagi jika sudah berhadapkan dengan kepentingan massa, ekonomi, dan kekuasaan. Saling curiga, konflik dan pertikaian yang berujung perang kerapkali menjadi penampakan yang membuat pertanyaan besar dibenak kita, “Apakah ini benar-benar umat Islam? Jika bukan, lalu mengapa umat Islam bukannya menjadi agen perdamaian namun malah menjadi provokator dan sumber pertikaian?”

Abdullah ibn Umar pernah meriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda:

المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ 

“Seorang Muslim itu adalah orang yang orang-orang Muslim lainnya merasa aman dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari)

Melalui hadits ini kita bisa mengamati sekaligus mengaca diri sejauh mana kesejatian sebagai seorang Muslim yang berinteraksi dengan orang lain. Banyak di antara kita sama-sama yang menunaikan shalat misalnya, namun tidak sedikit pula orang di sekitar kita yang takut bahkan terancam keselamatannya akibat lisan dan perbuatan kita.

Perang Bukan Solusi

Pertikaian dan peperangan memang selalu ada dalam sepanjang sejarah manusia di muka bumi. Diplomasi dalam sebuah konflik sering berlangsung alot sehingga berujung menempuh jalur senjata atau perang. Dalam kurun waktu 2011-2017, ada lebih dari 20 negara yang melakukan peperangan dalam skala besar dengan jumlah korban berkisar ratusan sampai ratusan ribu jiwa.

Sebagaimana fenomena Arab Spring di kawasan Timur Tengah dan Afrika seperti yang terjadi di Irak, Suriah, Yaman, Afganistan, Libya, Sudan, Mesir, Tunisia, Kamerun, dan Ethiopia, Turki, Afrika Tengah,Nigeria,Somalia. Lalu perang teritorial sudah sejak lama seperti Israel-Palestina, Pakistan-India, dan Ukraina-Rusia. Ada juga perang etnis-agama seperti Myanmar dan India, perang melawan obat-obatan seperti yang terjadi di Meksiko.

Terlepas dari keruwetan akibat faktor dominasi Barat, politisasi agama, ketimpangan ekonomi, kediktatoran rezim, namun yang pasti bagi Gus Dur (2006: 285) dalam buku Islamku Islam Anda Islam Kita menekankan bahwa dialog terus-menerus harus dilakukan, sebab melalui “perundingan” dapat menjadi penyelesaian terbaik untuk mengatasi konflik di berbagai belahan dunia. 

Mengibarkan Bendera Damai

Populasi umat Muslim di dunia hingga 2017 sudah mencapai lebih dari 1,7 miliar jiwa. Itu artinya, Muslim mempunyai peran strategis dalam berpartisipasi menyebarkan perdamaian di penjuru dunia. Terlepas dari siapa yang bersalah dan siapa yang benar. Al-Qur’an sudah menekankanperdamaian untuk dikedepankan tatkala terjadi suatu konflik.

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا  فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ  إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Balasan atas suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal. Tetapibarangsiapa dapat memberi maaf dan menciptakan perdamaian, maka balasannya dari Allah. Sesungguhnya, Ia tak menyukai orang yang berbuat zalim.(QS. Al-Syura: 40)

Setidaknya ada 4 poin penting yang mesti ditempuh umat Islam untuk bisa menjadi agen perdamaian. Pertama, damai sudah sejak di akal dan hati. Secara psikologis, faktor kepribadian sangat menentukan ekspresi sikap dan perbuatan seseorang. Dengan kata lain, konflik diri (batin) harus sudah selesai.

Kedua, mempunyai kesadaran secara kolektif sebagai Muslim—baik itu dalam lingkup aliran atau ormas—bahwa menegakkan perdamaian adalah kewajiban bersama.Sedangkan kesejahteraan, pembangunan, dan keamanan tidak bisa diperoleh melalui jalan peperangan. Sehingga keragaman dan perbedaan masyarakat haruslah dirawat dan dikelola, bukan untuk dipertentangkan. Ini membutuhkan peran tokoh agama agar mampu mengendalikan dan menenangkan jamaahnya tatkala muncul sebuah konflik.

Ketiga, mentranformasikan nilai dan ajaran perdamaian Islam melalui kebijakan politik yang strategis. Ini sangat penting, apalagi pemangku negara atau pemerintah yang selama ini yang terlibat dalam berbagai konflik dan peperangan, entah itu berupa perang saudara atau dengan negara tetangga. Sehingga pemimpin negara tidak dengan mudah menentukan perang, namun selalu mengupayakan perundingan agar tidak terjadi angkat senjata dan pertumpahan darah.

Keempat, perlu adanya semacam tim khusus yang terdiri dari tokoh-tokoh ulama dan pemimpin negara-negara yang berani satu visi dan misi untuk menjadi mediator terhadap kelompok atau negara yang dilanda konflik. Meskipun sudah ada OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) misalnya, namun peran mereka harus lebih berani, apalagi tatkala berhadapan dengan negara-negara Barat yang sering ikut campur konflik melalui agresi militer.

Mengingat nasehat cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid, dengan iman, manusia akan menjalankan hidupnya penuh tanggung jawab, karena sadar akan adanya Pengadilan Ilahi itu kelak. Sebagai wujud amaliahnya dinyatakan dalam sikap memelihara hubungan yang sebaik-baiknya dengan sesama manusia dalam bentuk rasa persaudaraan, saling menghargai, tenggang-menenggang, dan saling membantu. Sikap ini dilandasi rasa sadar akan makna penting usaha menyebarkan “perdamaian” (salâm) antara sesamanya.

Jika kita sebagai Muslim sekaligus bagian daribangsa Indonesia yang tidak mengingingkan adanya konflik, caci maki, saling menghina, tumpah darah, apalagi sampai perang saudara, maka apakah benar-benar kita bersedia menjadi agen perdamaian?


Penulis adalah kader PMII cabang kota Bandung dan Penulis buku "Menjadi Islam, Menjadi Indonesia"


Terkait