Opini

Monumen Tumpukan Enam Piring, Simbol Toleransi di Raja Ampat

Rabu, 14 November 2018 | 09:00 WIB

Monumen Tumpukan Enam Piring, Simbol Toleransi di Raja Ampat

Monumen tumpukan enam piring 'kobe ose'. (foto: istimewa)

Oleh Kharis Fadlan

Bila Anda berkunjung ke Kabupaten Raja Ampat di Provinsi Papua Barat dan ingin tahu asal muasalnya, saya sarankan berkunjunglah juga ke Kampung Saonek di Distrik Wageo. Menurut penuturan warga, Kampung Saonek dulunya adalah ibu kotanya Raja Ampat sebelum definitf menjadi kabupaten yang berada dalam wilayah yurisdiksi Provinsi Papua Barat. Jejak sejarah Raja Ampat dapat diketahui dari sebuah monumen kecil yang berdiri di salah satu perempatan kampung. Monumen ini, dikenal dengan sebutan 'kobe ose'.

Kobe ose ini bukanlah sekadar monumen tanpa makna dan sejarah. Kobe ose bermakna 'kita bersatu'. Disain bangunan monumen sangat sederhana, hanya berbentuk tumpukan piring yang berjumlah enam dan satu ceret di atasnya. Namun, oleh pembuatnya, dimaksudkan untuk mengingatkan sejarah masa lalu Kampung Saonek kepada generasi sesudahnya.

Enam piring menyimbolkan enam marga pendiri kampung. Marga itu, Marga Mayor, Marga Manam, Marga  Saleo, Marga Rumbewas, Marga Rarbab, dan Marga Mambraku. Dalam hal kepemimpinan sosial kala itu, Marga Mayor dipercaya sebagai pimpinan kampung. 

Sejarah awalnya, mengapa keenam marga tersebut sampai di Saonek, memiliki erat kaitannya dengan sejarah penyebaran agama Islam di Biak. Sejauh in penduduk Saonek kesulitan untuk memastikan tahun berapa Islam mulai berkembang di Biak dan kapan pula keenam marga tersebut mulai tinggal di Saonek. Namun, yang jelas, merujuk pada penuturan seorang ketua RT yang rumahnya ada di dekat monumen Kobes Ose, Mama Mayor (50-an tahun) mengaku generasi kesembilan.

Merujuk pada cerita Mama mayor, keenam marga penghuni Saonek tersebut awalnya berasal dari Biak. Kepindahan keenam marga tersebut ke Saonek berkait dengan sejarah kelam mereka. Sebelum terdampar di lokasi yang saat ini, kala itu sebagian warga Biak sudah ada yang memeluk agama Islam. Keenam marga ini belum memeluk agama Islam. Mereka sudah menganut kepercayaan tertentu, yang oleh para antropolog disebut penganut animisme dan dinamisme. Dengan kata lain, sudah memiliki kepercayaan tapi tidak disebut sebagai agama. 

Pada saat itu mereka terlibat dalam sebuah konflik dengan marga lainnya yang telah memeluk agama Islam. Bahkan konflik tersebut membawa mereka dalam tindakan saling bunuh. Singkat cerita mereka diusir, keluar dari Biak. Lalu terdamparlah di pulau yang saat ini disebut Raja Ampat, sebelum akhirnya memilih Saonek sebagai persinggahan terakhir.

Setelah membangun perkampungan baru di Saonek, justru keenam marga tersebut akhirnya memeluk agama Islam setelah sebelumnya menerima dakwah tanpa pertumpahan darah dari seorang penyebar agama Islam yang oleh warga setempat dikenal sebagai H Rafana. Tidak semua anggota marga memeluk agama Islam. Mereka yang pada saat itu memilih untuk tidak memeluk Islam, keluar dari Saonek dan tinggal di kawasan yang saat ini menjadi pusatnya Kabupaten Raja Ampat. 

Dalam perkembangan berikutnya, mereka akhirnya memeluk agama seperti Kristen dan Katolik. Hingga kini, makam H Rafana masih dirawat baik oleh penduduk Saonek. Bahkan menjadi tujuan para peziarah, meski tak serame tempat penziarahan umat Islam di Jawa. 

Sejarah kelam hubungan antaragama dan kepercayaan di Biak tersebut, oleh penduduk Saonek tidak direproduksi menjadi alat untuk saling membenci antarpenganut agama. Justru menjadi alat perekat. Para pendatang yang sebagian besar adalah pegawai negeri karena dan beragama Kristen, memberikan ruang untuk mendirikan gereja. Hal ini berarti, Muslim Saonek adalah Muslim yang inklusif, apalagi represif pada sesamanya meski berbeda agama.

Nah, sebagai penanda rekatnya kekeluargaan dan pengingat sejarah masa lalu enam marga tersebut, mereka rupakan dalam sebuah monumen Kobes Ose tersebut.

Penulis adalah pengurus Ranting NU Logede, Kebumen, Jawa Tengah.



Terkait