Opini

Militerisasi Politik Luar Negeri Jepang

Senin, 12 November 2007 | 12:36 WIB

Militerisasi Politik Luar Negeri Jepang

.

Oleh Hendrajit

Ada perkembangan menarik berkenaan dengan perpolitikan dalam negeri Jepang. Partai Liberal Demokrat Jepang (LDP) yang selama ini menguasai mayoritas suara di Majelis Rendah, kali ini gagal mendapatkan dukungan parlemen untuk memperpanjang UU Anti-Teroris yang memberi legitimasi bagi tentara Jepang untuk membantu pasukan koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat di Afghanistan.

Pasalnya, Partai Demokrat pimpinan Ichiro Ozawa muncul sebagai kekuatan keseimbangan baru di parlemen dengan menguasai Majelis Tinggi, dan berhasil mengganjal UU yang dinilai banyak pakar militer dan strategi sebagai “pintu masuk” bagi pemerintah Jepang untuk memiliterisasi kembali politik luar negerinya.<>

Sebagaimana diketahui, UU Anti-Teroris ini telah memberi wewenang kepada Angkatan Laut Jepang untuk memasok bahan baker bagi pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat di Afghanistan. Bagi pemerintahan LDP pimpinan Perdana Menteri Yasuo Fukuda, nampaknya UU anti-teroris ini bukan sekadar pertaruhan untuk mempertahankan skema persekutuan militer Amerika-Jepang yang sudah dirintis sejak pasca Perang Dunia II.

Lebih daripada itu, terganjalnya UU ini berarti menggagalkan sebuah rencana strategis Jepang untuk membangkitkan kembali kekuatan militernya di kawasan Asia Pasifik. Buktinya, begitu Partai Demokrat pimpinan Ozawa berhasi menggalang dukungan solid di Majelis Tinggi untuk menggagalkan lolosnya UU ini, sontak pemerintahan Fukuda menawarkan pembentukan pemerintahan koalisi antara LDP dan Partai Demokrat.

Tawaran Fukuda ini, dengan jelas menggambarkan bahwa UU ini memang mengindikasikan betapa besarnya keinginan Jepang untuk membangkitkan kembali kekuatan militernya di kawasan Asia Pasifik.

Sebenarnya, indikasi untuk memiliterisasi kembali politik luar negeri Jepang sudah terlihat sejak awal 2007. Jadi, apa yang terungkap melalui kebuntuan yang terjadi di parlemen antara LDP dan Partai Demokrat Jepang sebenarnya hanya sekadar puncak gunung es yang menggambarkan adanya rencana strategis Jepang untuk membangkitkan kembali kekuatan militernya.

Sekadar ilustrasi, sejak 9 Januari 2007 lalu, pemerintah Jepang telah menata ulang instansi pertahanan yang selama ini berada dalam naungankementerian pertahanan, dengan membentuk jabatan baru: Penasehat Keamanan Nasional, suatu jabatan yang kewenangannnya setingkat menteri dalam kabinet pemerintahan.

Kedua, mencoba memperluas makna dan ruang lingkup tugas utamanya dari Pasukan Bela Diri Jepang yang selama ini hanya terbatas dalam konteks pertahanan nasional dan penanggulangan bencana, diperluas ruang lingkup tugas utamanya sehingga Pasukan Jepang dimungkinkan juga untuk melakukan operasi-operasi militer di luar negeri, termasuk ikut serta dalam pasukan pemeliharaan perdamaian(Peace Keeping Operations).

Nah, dalam konteks inilah makna strategis UU Anti-Teroris bagi Pemerintahan LDP pimpinan Fukuda. Sedemikian rupa sehingga Fukuda tak segan-segan untuk menawarkan posisi-posisi strategis kepada Partai Demokrat Jepang, tentunya dengan syarat bahwa Partai Demokrat akhirnya mendukung lolosnya perpanjangan UU Anti-Teroris tersebut.

Sebab meskipun di atas kertas, Pasukan Bela Diri Jepang terlibat dalam berbagai operasi militer di luar negeri sebatas dalam konteks Peacekeeping Operations, namun pada kenyataannya bisa menjadi momentum untuk membangkitkan kembali kekuatan militeristik Jepang.

Betapa tidak. Karena melalui payung hukum dari UU Anti-Teroris ini, tentara Jepang telah berkesempatan untuk menyebarkan pasukannya di zona-zona peperangan (combat zone) tidak saja di Afghanistan, tapi juga di Irak, dalam membantu Amerika Serikat dengan dalih untuk War on Terrorism.

Maka tak heran, jika manuver pemerintahan Fukuda tidak sekadar meloloskan perpanjangan UU Anti-Teroris. Tapi juga melakukan langkah-langkah yang jauh lebih strategis: Merevisi pasal 9 dari konstitusi Jepang dengan memperluas cakupan peran militer Jepang tidak sekadar sebagai pasukan bela diri, melainkan juga termasuk kemungkinan membentuk Pertahanan Kolektif (Collective Defense).

Jelaslah sudah bahwa upaya Jepang memasukkan klausul Pertahanan Kolektif alias Collective Defense sebagai legitimasi bagi Jepang untuk terlibat dalam pasukan multinasional di luar negeri, nampaknya merupakan agenda strategis yang tidak saja dimanfaatkan Jepang dalam rangka melanggengkan persekutuan militernya dengan Amerika Serikat. Tapi lebih luas daripada itu, juga dijadikan momentum bagi Jepang untuk menjalin berbagai persekutuan militer dengan negara-negara lain seperti dengan ASEAN 3, India dan Australia.

Dari jalinan kerjasama dengan ASEAN 3 ini saja, jelas terlihat upaya Jepang untuk membuktikan dirinya sebagai penganut politik luar negeri yang independen di kawasan Asia.

Tapi itu saja nampaknya belum cukup bagi Jepang. Rencana Persekutuan militer Jepang dengan India, adalah salah satu tren yang cukup menarik untuk dicermati. Misalnya dengan dengan diadakannya latihan militer bersama antara Jepang bersama Amerika, India, Australia dan Singapore. Tidak heran jika beberapa pakar strategi dan analis intelijen membaca gelagat ini sebagai ancang-ancang untuk membangun persekutuan militer bersama antara keempat negara tersebut.

Khusus persekutuan Jepang-India, nampaknya memang ada semacam simbiosis mutualisme. Pertama, India sepertinya sedang mencari celah supaya bisa lepas dari kungkungan Kerjasama Negara-Negara Non-blok. Karena dengan selalu terikat dalam kerangka kerjasama negara-negara Non-blok, India merasa justru tetap dalam kategi kekuatan pinggiran dalam berbagai forum multilateral di kawasan Asia. Padahal, belakangan ini India disebut-sebut termasuk the Emerging Giant dalam bidang teknologi di kawasan Asia cukup diperhitungkan. Bahkan sangat berpotensi untuk menjadi negara adidaya baru selain Amerika, Jepang dan Cina.

Nah, dengan menjalin kerjasama militer maupun non-militer dengan Jepang, India berharap bisa mendapat celah untuk masuk dalam permainan antar kekuatan-kekuatan kunci (Key Players) di dunia intenrasional. Termasuk momentum untuk semakin mendekatkan diri dengan Amerika Serikat.

Apalagi pada 2006, Amerika dan India telah berhasil memecahkan kebuntuan diplomasi sejak perang dingin pada 1971. Misalnya saja dengan ditandatanganinya kerjasama di bidang nuklir yang kemudian diperkuat dengan Pakta Kerjasama Energi Atom untuk tujuan damai yang ditandangani pada Desember 2006(The HenryJ Hide US-India Peaceful Atomic Energy Cooperation Act).

Dengan kata lain, semakin terbuknya peluang persekutuan Jepang-India, harus dibaca dalam kerangka penguatan aliansi strategis Amerika dan Jepang di Asia. Artinya, semakin berhasil Jepang memperlihatkan dirinya sebagai kekuatan independent di Asia, berarti semakin efektif Amerika dalam memainkan Jepang sebagai sekutu strategisnya di Asia.

Pada sisi lain, India selain merasa harus cari celah untuk melepaskan diri dari kungkungan skema kerjasama negara-negara Non-blok, India sebenarnya marasa “setengah hati” dalam melibatkan dirinya di dalam skema kerjasama SCO(Shanghai Cooperation Organization) yang dimotori Republik Rakyat Cina dan Rusia. Mengapa begitu? Mudah ditebak. India takut jika Amerika akan menganggap India sebagai negara pesaing atau bahkan musuh. Karena SCO harus diakui merupakan sebuah kekuatan yang dimaksudkan oleh Cina dan Rusia sebagai kekuatan keseimbangan baru untuk menghadapi ekspansi Amerika Serikat. Dan Amerika ternyata memang sangat khawatir dengan SCO, mengingat keberhasilan Rusia dan Cina menggalang dukungan negara-negara kawasan Asia Tengah yang kaya akan sumber-sumber minyak dan tambang.

Karena itu masuk akal jika India sepertinya tertarik untuk menjalin persekutuan militer dengan Jepang, untuk membangun kesan bahwa India tidak saja dekat dengan Cina melalui kerjasama SCO, tapi juga dekat dengan Amerika melalui persekutuan militer bersama Jepang, Australia dan Amerika Serikat.

Adapun persekutuan Jepang dengan Austalia, tentunya bukan hal yang cukup mengejutkan mengingat negara kangguru ini memang sejak awal merupakan sekutu Amerika dan bahkan kerap dijuluki sebagai “Deputi Sherif” Amerika di kawasan Asia Pasifik.

Yang mencemaskan dari tren ini adalah, kemungkinan Amerika dan Jepang bakal mengubah struktur keamanan regional di kawasan Asia Tenggara, sehingga menciptakan ketegangan baru di kawasan Asia Tenggara utamanya ASEAN.

Karena itu, upaya Jepang untuk menghapus berbagai tindak kejahatan perang semasa Perang Dunia Kedua nampaknya perlu diwaspadai. Misalnya saja seperti isu Jugun Ianfu (wanita penghibur) sebagai efek sampingan dari keganasan kekuasaan tentara fasis Jepang dalam Perang Dunia Kedua.

Sebagaimana diketahui, adanya Jugun Ianfu di negara-negara bekas jajahan Jepang merupakan fakta penting bahwa militer Jepang pernah mengeluarkan perintah pengadaan rumah-rumah bordil untuk kepentingan tentara di medan laga.

Tak heran baik pemerintahan Fukuda maupun Shinzo Abe dengan berbagai cara berusaha menghapus dan membersihkan sejarah kelam perilaku tentara fasis Jepang di negara-negara yang pernah diduduki Jepang seperti Korea Selatan, Cina, negara-negara ASEAN dan bahkan India.

Bahkan bila dimungkinkan, pemerintahan Jepang akan meninjau ulang sepak-terjangnya dalam Perang Dunia Kedua, tidak dalam konteks sebagai penjahat perang, tapi sebagai kekuatan baru yang muncul karena merasa dikepung oleh Amerika dan negara-negara Eropa Barat.

Hanya saja di abad 21 ini, Jepang akan tampil sebagai kekuatan baru di Asia tidak untuk melawan Amerika dan Eropa Barat, tapi justru sebagai sekutu andalan mereka di Asia.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI).












Terkait