Oleh Fathoni Ahmad
Kebebasan beragama di Indonesia adalah hak setiap individu selama kebebasan itu tidak merugikan orang lain. Manusia yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari aktivitas berpikirnya yang bertujuan untuk menyesuaikan diri dan lingkungan di mana dia berada.
Dari keadaan ini memunculkan berbagai ide, baik itu berupa gagasan yang dituangkan dalam bentuk tulisan maupun sikap. yang kesemuanya itu tidak mungkin terpenuhi tanpa adanya sikap toleransi dari lingkungan dimana ia berada. Jadi, toleransi dan kebebasan adalah dua hal yang mesti ada dan saling berhubungan.
Pemahaman keagamaan adalah hal yang paling esensial demi terwujudnya masyarakat kondusif. Pada prinsipnya semua agama mengedepankan budaya toleransi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian dari ketinggian kekuasaan Sang Khalik.
Kehadiran Islam sejak awal menunjukkan sikap-sikap yang merangkul. Rasulullah mengawali dakwahnya di Makkah secara pelan-pelan: mulai dari keluarga, kawan-kawan terdekat, orang-orang tertindas seperti budak, dan seterusnya. Yang penting dicatat, tahapan demi tahapan dilalui tanpa paksaan, apalagi kekerasan. Bahkan, beliau sendiri yang justru kerap mendapatkan perlakuan kasar hingga percobaan pembunuhan dari para penentangnya, terkecuali dua pamannya, Abu Jahal dan Abu Lahab.
Kita tahu, sejak belia Nabi mendapat julukan “al-amin” karena karakternya yang jujur. Rasulullah juga dikenal sebagai pribadi yang ramah kepada siapa pun, gemar menolong, dan pembela yang lemah. Kepribadian inilah yang menjadi modal dasar beliau mengatasi beragam tantangan tersebut hingga sukses mensyiarkan Islam di Tanah Arab yang kemudian terus meluas ke seluruh penjuru dunia.
Meskipun diakui adanya perbedaan, tidak bisa kita pungkiri adanya titik-titik temu yang menghubungkan budaya Islam secara universal. Salah satu titik temu itu berupa komitmen masing-masing pribadinya fakta kewajiban menjalankan setiap usaha untuk menciptakanmasyarakat yang sebaik-baiknya di muka bumi ini Kewajiban itu dinyatakan dalarn Firman Allah:
"Hendaknya di antara kamu ada umat yang melakukan dakwah ila al-khayr, amar ma'ruf dan nahy munkar, dan mereka itulah orang-orang yang bahagia" (QS. Ali ‘Imran [3]:104).
Maksud al-khayr dalam ayat tersebut adalah kebaikan universal; suatu nilai yang menjadi titik temu semua agama yang benar, yaitu agama Allah yang disampaikan kepada umat manusia lewat wahyu Ilahi.
Pemahaman keberagaman ini perlu mendapat perhatian semua pihak karena upaya membina kerukunan umat beragama seringkali terkendala oleh adanya kenyataan bahwa sosialisasi ajaran keagamaan di tingkat akar rumput lebih banyak dikuasai oleh juru dakwah yang kurang peka terhadap kerukunan umat beragama. Semangat berdakwah yang tinggi dari para pegiatdakwah ini seringkali dinodai dengan cara-cara menjelek-jelekan milik (agama) orang lain.
Membangun harmonisasi beragama memang hal yang mesti dilakukan oleh umat beragama dalam menyatukan serta menanamkan rasa persaudaraan juga rasa kekeluargaan walau itu berbeda keyakinan. Keragaman suku, ras, agama didunia khususnya di Indonesia memang bukan hal yang baru kita ketahui untuk itu perlu kiranya jika kerukunan umat bergama di Indonesia khususnya ditanamkan untuk saling bahu membahu satu sama lain dalam pembangunan Indonesia yang tercinta ini.
Namun harmonisasi bukanlah ranah untuk menyatukan kepercayaan umat bergama melainkan hanya untuk menanam rasa welas asih antar-sesama. Dengan pengakuan dan pelaksanaan inilah, Islam akan senantiasa menjadi rahmat bagi semua (rahmatan lil 'alamin).
Menciptakan kerukunan umat beragama baik di tingkat daerah, provinsi, maupun pemerintah merupakan kewajiban seluruh warga negara beserta instansi pemerintah lainnya. Mulai dari tanggung jawab mengenai ketenteraman, keamanan, dan ketertiban termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, menumbuhkembangkan keharmonisan saling pengertian, menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama bahkan menertibkan rumah ibadah.
Dalam hal ini untuk menciptakan kerukunan umat beragama dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut. Pertama, saling tenggang rasa, menghargai, dan bertoleransi antarumat beragama. Kedua, tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu. Ketiga, melaksanakan ibadah sesuai agamanya. Keempat, mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan negara atau pemerintah.
Sikap tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antarumat beragama merupakan indikasi dari konsep trilogi kerukunan. Upaya mewujudkan dan memelihara kerukunan hidup umat beragama, tidak boleh memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu. Karena hal ini menyangkut hak asasi manusia (HAM) yang telah diberikan kebebasan untuk memilih baik yang berkaitan dengan kepercayaan, maupun diluar konteks yang berkaitan dengan hal itu.
Namun, akhir-akhir ini, keberagaman umat itu ternoda oleh konflik yang bernuansa agama. Bangunan harmonisasi dalam bingkai kerukunan umat beragama menjadi goyah. Bila tidak ditata kembali, berpotensi rubuh yang berujung pada disintegrasi bangsa. Untuk itu, pemerintah dan segenap elemen bangsa harus membangun kembali lembaran kerukunan yang terkoyak. Merajutnya dengan benang-benang keindonesiaan sehingga lahir kembali menjadi tenunan kebinekaan. Setidaknya ada beberapa langkah dalam membangun harmonisasi umat beragama.
Pertama, menumbuhkan kesadaran umat bahwa berbeda adalah keniscayaan dari Tuhan. Kita tidak bisa memilih lahir dari suku-suku tertentu, warna kulit atau yang lain. Bahkan kita tidak bisa memilih dari rahim siapa kita dilahirkan. Allah menyebutnya dalam Alquran Surat Ar-Rum ayat 22:
“Dan dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan seluruh langit dan bumi, dan perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda bagi mereka yang mengetahui”. (QS Ar-Rum [30]: 23)
Dari ayat Alquran di atas dapat dijelaskan bahwa berbeda adalah karunia dan rahmat Allah yang patut disyukuri. Bila hal ini bisa dimaknai dengan baik, perbedaan tidak lagi menjadi sesuatu yang asing. Sebaliknya, menjadi lazim untuk dirangkul serta didekati sebagai wujud harmonisasi dalam keberagaman.
Kedua, meyakinkan masyarakat bahwa bentrokan dan kerusuhan hanya akan meninggalkan luka dan trauma mendalam. Tak satu pun daerah yang mengalami konflik dan bentrok akan sembuh dengan cepat secara psikologis. Ketakutan-ketakutan akan menghinggapi anggota masyarakat terutama perempuan dan anak-anak.
Ketiga, menghilangkan prejudice atau prasangka negatif terhadap orang yang berbeda dengan kita. Sebab prejudice menjadi bagian dari pemicu konflik sosial di masyarakat. Memandang kelompok lain yang berbeda dengan prasangka negatif hanya akan menimbulkan antipati terhadap kelompok tersebut. Sehingga memudahkan munculnya gesekan-gesekan yang akan memicu konflik.
Keempat, membangun toleransi dan komunikasi yang baik antara komunitas yang saling berbeda. Terkadang kesalahan informasi dan munculnya toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana yang diungkapkan P. Knitter berpotensi melahirkan konflik. Oleh karena itu, komunikasi dan toleransi aktif menjadi urgen dalam membangun sebuah komunitas yang plural. Sehingga potensi miskomunikasi dan informasi tidak mudah terjadi.
Kelima, menyelesaikan akumulasi permasalahan sosial, seperti, kemiskinan, pengangguran dan lain-lain. Sebab konflik bernuasa agama tidak semuanya berakar karena persoalan agama. Bahkan, salah seorang tokoh Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi (1944-2017) mengungkapkan, 70 persen konflik keagamaan terjadi karena faktor nonagama yang diagamakan.
Terkadang konflik lahir karena persoalan kegundahan sosial dan politik, kemudian berevolusi menjadi bongkahan kekecewaan. Mereka tidak menemukan solusi yang tepat dan menjadi pribadi atau kelompok yang teralienasi dalam menghadapi berbagai masalah sosial. Akibatnya, mudah tersulut emosi dan dipengaruhi pihak-pihak lain yang tidak bertanggungjawab sehingga terjadilah konflik sosial di masyarakat.
Keenam, menegakkan regulasi atau aturan tentang pendirian rumah ibadah dengan tegas dan adil. SKB tiga menteri sejatinya sudah baik bagi umat beragama sebagai panduan dalam mendirikan rumah ibadah. Namun, banyak pihak-pihak yang mengatasnamakan kebebasan beragama menerobos rambu-rambu yang telah disepakati bersama.
Sehingga menggunakan berbagai cara untuk membangun rumah ibadah. Hasilnya, ada rumah ibadah yang sudah dibangun, tapi izinnya belum didapatkan. Hal inilah yang terkadang memicu konflik dan diperkuat dengan tidak tegasnya pemerintah daerah dalam menegakkan aturan.
Penulis mengajar di Fakultas Agama Islam UNU Indonesia (Unusia) Jakarta