Oleh Zacky Khairul Umam
--Awal bulan ini di Konya, Turki, saya diminta kawan-kawan Nahdiyyin di sana untuk membagi sesuatu tentang Islam Nusantara. Saya tekankan bahwa Islam Nusantara, atau sebut saja kini Islam Indonesia, mengkristal secara global. Sejarah Islam kita adalah sejarah yang terhubung dengan dunia luas.<>
Selain Islam memang berkembang mula-mula di kawasan antara Sungai Nil dan Oksus, atau yang dalam historiografi Islam disebut mā warāʾ al-nahār atau Transoksania, proses pembawaannya memang lintas-samudera. Kita sebut juga satu hal: sanad. Dari mana silsilah Islam Indonesia atau Jawi (Asia Tenggara) umumnya?
Soal sanad, saya tegaskan, bisa terlacak dengan baik. Islam kita, betapapun kini coraknya khas dan tidak harus mengikuti budaya Arab, adalah sah. Pedagang dan ulama Arab dan Persia sudah lalu lalang di Perairan Nusantara sebelum Portugis menaklukkan Malaka pada 1511. Penamaan terkait tentang khazanah kelautan kita sebagian besar berhutang budi pada nomenklatur Persia. Di antara kitab pertama yang ramai dan berpengaruh di Nusantara, Hikayat Muhammad Hanafiyah, jelas pengaruh Persia-nya. Apalagi jika kita membuka lembaran karangan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatraʾi.
Saat Imperium Aceh dan Banten kuat pada abad ke-17, bahkan seorang Arab yang tinggal di India mengabdi di Aceh dan belajar Bahasa Melayu untuk kemudian mengarang kitab-kitab. Ia juga seorang sastrawan ternama: Nuruddin Arraniri. Buku sejarahnya termasuk dalam genre sejarah universal yang jelas mengikuti langgam historiografi di Persia, termasuk India, saat itu. Sumatera dan Jawa pernah tercatat sebagai pusat intelektual di kawasan Asia Tenggara. Secara politik-intelektual keduanya terhubung pasca-penaklukan Malaka itu.
Dalam abad itu pula, dua ulama garda depan, Abdurrauf Singkeli dan Yusuf Makassari berusaha memperkuat kembali sanad keislaman Nusantara. Mereka menyeberangi Samudera Hindia berguru pada ulama beken di Haramayn yang masyhur dan berjaringan luas, dari Fās (Maroko) hingga Jāwah, dari pedalaman Afrika hingga pedalaman Cina. Guru kita beragam etnisnya: Arab, Kurdi, dan India. Persis dalam masa inilah dua ulama di Madinah, Ahmad al-Qusyasyi/Kosasi dan Mulla Ibrahim al-Kurani, menjadi sangat penting bagi perjalanan Islam kita. Melalui mereka, teologi Asy’ariyyah pascaklasik, Sufi, fikih mazhab Syafii, dan hadis mulai ramai digali oleh jamāʿat al-jāwiyyīn atau ahlu Jāwah—sebutan kaum Jawi di Madinah masa itu. Baik al-Qusyasyi dan al-Kurani itu ulama bukan sembarang ulama. Yang belakangan bahkan disebut beberapa ulama setelahnya sebagai selevel tingkatnya dengan Mulla Sadra di Persia.
Lingkaran intelektual saat itu memungkinkan kita untuk mengenali kembali beberapa tradisi yang kini mendarah-daging di Indonesia. Ulama dari al-Barzanjī mengingatkan kita pada tradisi maulidan, hingga soal akidah seperti yang ditulis ulama Kurdi yang lain bernama al-Iji atau seperti yang diformulasikan al-Sanusi. Hadis juga bisa kita lacak hingga era Ibn Hajar al-ʿAsqalani, melaluinya transmisi dari abad-abad sebelumnya bersifat autoritatif. Demikian halnya dengan tarekat Sufi yang yang tidak perlu kita ulangi lagi di sini. Transmisi pengetahuan dari tradisi kita, dengan demikian, tidak berhenti pada era Usmani saja. Itu bisa dilacak ke belakang juga hingga era Mamluk, Seljuk, hingga Fatimiyyah.
Hadratussyekh Hasyim Asyari dalam Qanun Asasi menulis begini. Fayā ayyuhā al-ʿulamāʾ! Wa al-sādat al-atqiyāʾ! Min ahli al-sunna wal-jamāʿa ahli madhāhib al-aʾimmat al-arbaʿa antum qad akhadhtum al-ʿulūm mimman qablakum wa man qablakum mimman qablahu bittiṣāl al-sanad ilaykum watanzhurūna ʿamman taʾkhudhūna dīnakum, fa antum khazanatuhā wa abwābuhā wa lā tuʾtū al-buyūt illā min abwābihā. Fa man atāhā min ghayri abwābihā summiya sāriqan.
Gambling bukan pesannya? Kita punya pintu yang sah. Dan sanad ini perlu kita gali lagi bahkan kita perlu teliti secara seksama alam pikiran dan coraknya. Ia semestinya tidak dilacak semasa Hadratussyekh atau Mbah Sahal Mahfudh menimba ilmu di Mekkah. Kita tahu bahwa pada akhir abad ke-19, Ahmad Zayni Dahlan dan Imam Nawawi beserta lingkungan intelektual di sekitarnya, kemudian punya pengaruh penting bagi terbentuknya intelijensia keislaman kita. Ia diteruskan bahkan hingga ketika Muhammad ʿAlawi al-Maliki meninggal pada 2004, betapapun mazhab Salafi-Wahabi mencengkeram Hijaz. Dari gerbang Kairo pun demikian.
Pesan hadratussyekh itu sangatlah penting. Yang dimaksud sebagai “gerbang pengetahuan” (abwāb al-ʿulūm) ialah sanad yang membuat khazanah Islam Indonesia semakin mengkristal coraknya, sejak abad ke-17 hingga era hadratussyekh dan era pascakolonial. Tapi kita tak boleh diam berpangku tangan. Naskah-naskah ulama panutan kita belum banyak kita pelajari. Mereka memberikan fondasi: mazhab fikih, Sufi, Asyariyyah-Maturidiyyah. Kita banyak puas dengan edisi suntingan kitab-kitab klasik, tapi malas untuk ikut meramaikan politik editorial atas kitab-kitab kita, kitab aswaja. Kita terbelakang dalam hal politik editorial (siyasat al-taḥqīq), penerjemahan dan penerbitan nasional serta internasional, dibandingkan dengan buku-buku yang disunting dan didanai oleh penyokong rezim Salafisme modern.
Kalau kita langsung merujuk pada kitab Imam Asyari semacam al-Ibānah atau Imam Haramaynal-Waraqāt memang sangat bagus. Tapi ia belum cukup, seperti halnya orang Eropa dengan modernitasnya hanya mengakui sumbangan filsafat Yunani klasik dan enggan mengakui atau bahkan tidak memahami transmitter sekaligus inovatornya dari khazanah Islam. Ibaratnya, ketika kita melompat langsung ke Aristoteles maka sanad-nya terpotong. Demikian halnya dengan perkembangan pemikiran Islam pascaklasik, yang dihitung sejak abad ke-13 hingga era Muhammad ʿAbduh, perlu sekali kita perkuat lagi.
Tradisi ini perlu ditelaah lagi, bukan saja jaringannya, tetapi juga isi di dalamnya. Meski konteksnya sudah banyak berubah, sebagai fondasi ia harus dipelajarikendati harus dengan bertungkus-lumus, bersusah payah. Sebagai generasi muda, ini menjadi fardu kifayah buat kita. Memang bagus belajar dari pemikir-pemikir muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi, tetapi alangkah mulianya jika pijakan kita kuatkan juga dengan menilik aspek-aspek tradisionalisme kita. Sehingga kita punya langgam yang bisa kita kembangkan. Yang kita sebut sebagai turāth, seperti panggilan para intelektual muslim untuk menilik warisan yang membekas hingga kini, bukan hanya yang terbentuk di Baghdad, Kairo, Mekkah, Rayy, Maragha, Rum, Tarim dan sekitarnya, tetapi juga di tanah air kita sendiri. Sehingga kita tidak serta merta menerima pandangan klise bahwa tradisi kita hanyalah catatan kaki saja, pinggiran, dan – karena itu – tidak menarik.Yang menentukan pusat dari subjek tradisi kita pertama-tama ialah sikap kita sendiri. Bukankah menjaga al-qadīm al-ṣāliḥ itu perlu? Kepada sarjana non-Muslim, bahkan? Hikmah, hadis Nabi dan kata-kata mutiara dari ulama salaf dulu bilang, dari manapun berasal patut dipelajari.
Kendati Islam kita terbentuk secara global, ia tidaklah linear. Islam Indonesia haruslah dipahami sebagai sesuatu yang dinamis. Ia tidak bisa kita bela sebagai Islam-nya nahdiyyin, Islam-nya muhammadiyyin, dan seterusnya tapi pada saat yang sama kita berhenti menjaga (baca: mempelajari dan menafsirkan kembali) warisan klasik yang mahakaya dan enggan untuk mencari hal baru yang membuat khazanah kita, budaya kita, ekonomi kita, perpolitikan kita, menjadi lebih kosmopolit – menarik berbagai bangsa untuk mulai melirik kita dengan sesungguh.
Sejak pertengahan abad ke-20, corak Islam Indonesia pun tidak lagi serumpun seperti dulu: Islam Jawi. Tetapi sudah berkembang banyak warna yang mulai ingin mengubah corak asal kita. Madrasah-madrasah pun semakin beragam, dari dunia Arab ke India, dan setelah 1979 Iran pun ramai dikunjungi. Seiring dengan tingkat mobilisasi yang semakin tinggi, kita bisa belajar di Afrika Selatan atau sekolah-sekolah Islam di dunia Barat. Perkembangan ini tak perlu disesali asalkan memperkaya khazanah keislaman kita yang luwes dan mengerti tentang ikhtilaf sebagai rahmat. Tapi jika gerakan Islam yang malah menyebarkan sektarianisme, menebarkan fitnah dan seteru, ke manakah Islam yang rahmatan lil-ʿalamin itu? Sementara sebagian kita menyebut gerakan ini sebagai ‘transnasional’, karena perangkap batas-batas Negara-bangsa, kita tidak lagi seperti ulama dulu: lintas-batas. Menjaga waṭan sangatlah penting, tetapi semestinya kita tak kehilangan kendali sebagai jamʿiyyah yang sesungguhnya transnasional. Apakah kita lupa dengan Komite Hijaz 1926, misalnya?
Maka, penting sekali mempertegas corak keislaman kita yang dalam beberapa hal dipinggirkan. Pada saat yang sama, gerak kita tidak terbatas pada negara-bangsa saja, betapapun dalam lingkaran kebangsaan kita masih memiliki banyak masalah. Di sinilah, letak strategis dari cabang-cabang istimewa Nahdlatul Ulama di berbagai negara. Mereka menjadi cikal bakal penting bagi mobilisasi ide dan gerakan dari keislaman kita. Aspek bahasa, keminderan, dan manajemen perlahan-lahan penting sekali dikelola. Tanpa menata hal ini, mana mungkin gagasan-gagasan besar kita mengenai ekonomi kreatif, teknologi informasi, demokrasi, kemajemukan, dan seterusnya berpengaruh lebih hebat lagi. Pada masanya kini kita perlu menegaskan kepada yang lain bahwa menjadi kader jamʿiyyah ini adalah sesuatu yang membanggakan. Kebanggan itu terletak pada medan jihad yang sangat luas untuk mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan, medan ijtihad yang kreatif untuk mengembangkan keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan yang kita sebut sebagai ukhuwwah islamiyyah, waṭaniyyah, bashariyyah, dan mempersiapkan segala aspek menuju Indonesia sebagai Negara yang maju, demokratis, dan beradab. Visi ini banyak lahir dari rahim kampoengan, tapi karena tercipta dari nuansa pedesaan ini, visi ini jernih dan memiliki perspektif dari bawah. Sebut saja sebagai sebuah misi: global village, kampung dunia.
Akhirulkalam, saya mengucapkan selamat atas terbentuknya Cabang Istimewa NU di Belanda, tempat Gus Dur dulu sempat berlabuh. Saya yakin, cabang ini lahir seperti halnya NU ketika pertama kali terbentuk, yakni sebetulnya sebagai komunitas sudah ada sejak dulu, tapi kini ada momentum yang tepat untuk merapikan barisan dan memperkuat tali sosial-kultural, silaturahim, di Benua Eropa. Tugas besar kita adalah mewarnai kembali corak keislaman kita dengan menafsirkan ulang tentang adab ukhuwwahNU sebagai strategi keagamaan, kebangsaan, dan global.
Zacky Khairul Umam, Koordinator NU Jerman, menempuh studi doktoral bidang kajian Islam dan sejarah di Freie Universität Berlin. Tulisan ini disampaikan sebagai refleksi dalam Sarasehan NU Belanda, 17 Januari 2015, di Den Haag.