Opini

Menyemai Etika Berpolitik di Pesantren

Selasa, 10 Mei 2011 | 02:45 WIB

Oleh Hairul Anam Al-Yumna*


Selama ini, politik dan pesantren tak ubahnya biji yang terkelupas dari kulitnya. Keduanya dituntut berjauhan oleh masyarakat karena dipandang tidak ada kesepadanan lagi. Politik lebih bertendensi pada upaya meraih kekuasaan, sedangkan pesantren mengarah pada nilai-nilai ketulusan dan keikhlasan.

Sebagai konsekuensi dari pemahaman di atas, tidak heran tatkala ada orang pesantren (kiai) yang terjun ke pentas politik lantas menjadi perbincangan satire oleh masyarakat. Pudarnya kepercayaan masyarakat terhadap kiai yang tergiur rayuan politik tidak dapat dielakkan. Tak sedikit masyarakat menilai bahwa kiai yang tergoda oleh politik merupakan bentuk lain dari penodaan terhadap kesucian pesantren.
<>>
Masyarakat pun mengambil sikap tegas; menjaga jarak dengan kiai yang aktif berpolitik. Meskipun ada masyarakat yang masih mendekatinya, hal itu tiada lain karena ada unsur kepentingan politis. Parahnya, masyarakat cenderung melakukan penilaian secara general. Artinya, adakalanya kiai yang tidak ”menyentuh” politik juga menjadi korban kesalahpahaman (missunderstanding).

Kendati demikian, saya tidak akan membahas secara panjang lebar kaitannya dengan kiai yang aktif dalam gelanggang politik. Apalagi, tampaknya hal itu sudah menjadi perbincangan klise. Tujuan saya mengulas sekilas di atas ialah sebagai refleksi bagaimana harapan masyarakat selama ini terhadap pesantren yang dinakhodai oleh para kiai. Selebihnya, dalam tulisan ini, saya akan menyinggung bagaimana etika berpolitik yang selama ini mewarnai dunia pesantren.

Perlu saya tekankan terlebih dahulu, politik yang saya maksud dalam tulisan ini bukanlah yang bersentuhan dengan ranah birokrasi. Tapi, segala hal yang berkenaan dengan ”aturan main” yang dibuat dan direalisasikan sendiri oleh para santri. Dalam pada itu ialah ketika dilangsungkan pemilihan ketua pengurus pesantren.

Lazimnya, pemilihan ketua pengurus pesantren dilaksanakan secara terbuka. Tidak jauh berbeda dengan gelaran pemilihan umum yang dilangsungkan oleh negara kita. Di dalamnya, kejujuran dan keadilan diperhatikan secara sungguh-sungguh. Jarang kita temukan merebaknya politik uang (money politic). Kalau politik uang selalu menggerogoti pelaksanaan pemilihan umum legislatif dan eksekutif, hal itu menguap saat pemilihan umum ketua pengurus digelar di pesantren. Buka mata buka hati, kita pasti mendapatkan bukti.

Amanah

Secara umum, para santri sungkan untuk menjadi pemimpin atau sebagai tangan panjang kebijakan kiai. Lumrahnya mereka tidak sudi dijadikan calon ketua pengurus. Ketidaksudian tersebut bertitik pijak pada keyakinan bahwa jabatan sebagai ketua pengurus di pesantren (pemimpin) merupakan amanah yang tak ringan, butuh komitmen kuat. Selain itu, juga diperlukan upaya kongkret guna melabuhkan amanah tersebut secara optimal ke dalam keseharian santri.

Sorotan dari para wali santri menjadi alasan tersendiri mengapa jabatan sebagai ketua pengurus di pesantren dipandang sebagai amanah berat. Tatkala terdapat persoalan yang menimpa santri, ketua penguruslah yang dituntut menangani pertama kali. Lalai sedikit, cibiran bakal menyemati dirinya. Terlebih manakala dihadapkan kepada santri yang terbilang nakal. Segala daya upaya harus diusahakan. Jika gagal, ketua pengurus pun pusing tujuh keliling.

Dari uraian di atas sudah jelas, amanah sebagai ketua pengurus harus berirama dengan tanggung jawab yang besar. Selain tanggung jawab, dibutuhkan keikhlasan yang mengental. Sebab, tak ada istilah gaji di pesantren. Bila keikhlasan sudah melemah, harmonisasi dunia santri jauh panggang dari api.

Meski begitu, saya optimis bahwa nilai-nilai keikhlasan dan kepedulian terhadap tanggung jawab kepemimpinan di pesantren masih hidup. Ini tidak dapat dilepaskan dari peran kiai. Hingga detik ini, saya mencermati kuatnya sifat ikhlas yang mewarnai aura kiai. Inilah kelebihan kiai yang patut diteladani oleh siapa pun. Mudah kita temukan adanya santri yang memiliki keikhlasan yang tinggi karena mencontoh kiainya. Termasuk dalam diri kepengurusan di pesantren.

Wal hasil, ketika pemilihan ketua pengurus di pesantren menjelang, sulit ditemukan munculnya gerakan-gerakan negatif untuk meloloskan salah satu calon. Ketenanganlah yang mewarnai detik-detik awal pemilihan. Saya menyebutnya sebagai politik kenabian yang beretika.

Fenomena semacam itu sangat kontras manakala diperbandingkan dengan gaya pemimpin Indonesia; tanggung jawab belum dilaksanakan secara optimal sudah mengeluh tidak naiknya gaji. Belum lagi sikap lamban dalam menangani persoalan yang menimpa bangsa. Pencitraan selalu saja dikedepankan. Krisis kepercayaan pun merebak di mana-mana. Akibatnya, utuhnya kesatuan berbangsa dan bernegara menjadi terancam.

*) Santri PP Annuqayah Latee sekaligus ketua LPM-INSTIKA, Sumenep.


Terkait