Oleh Fathoni Ahmad
Kebencian tidak mengenal waktu dan tempat. Ia terus akan menjadi virus yang menggerogoti kehidupan manusia dari berbagai sisi. Dalam momen tertentu, seperti hajatan nasional yang melibatkan seluruh rakyat, eskalasi kebencian meningkat ketika perdebatan terjadi di media sosial. Perdebatan tidak menumbuhkan produktivitas dan wawasan baru, tetapi justru memunculkan polarisasi identitas.
Para pelajar dan pemuda merupakan elemen masyarakat yang paling banyak menggunakan media sosial, baik Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain. Konten-konten atau isi yang beredar di media sosial baik berupa berita, foto, dan status tidak ada yang mampu menyaring selain diri pribadi masing-masing. Pemahaman terkait media sosial penting ditujukan kepada generasi muda karena mereka merupakan pewaris sekaligus yang bakal mewarisi peradaban.
Langkah penyaringan perlu dilakukan karena isi postingan di media sosial tidak semuanya positif, bahkan mempunyai kecenderungan negatif dengan melimpahnya berita dan foto-foto palsu atau hoaks. Bahkan, caci maki dan fitnah dari satu orang ke orang lain merupakan pemandangan sehari-hari yang kita temui di media sosial. Padahal, secara tegas Islam sendiri melarang kepada umatnya untuk melakukan caci maki dan fitnah.
Sikap santun dalam berdialog, lemah-lembut dalam berbicara, halus dalam penyampaian pesan, merupakan jalan tengah yang membuat orang lain simpati apalagi sebagai generasi muda. Karena hati yang bercerai berai dan pendapat yang berbeda dapat terangkul dengan harmonis walaupun beda keyakinan, dan lain-lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berpesan kepada Nabi Musa dan Harun ’alaihimassalam: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia menjadi sadar atau takut.” (QS. Thaha [20]: 44)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya ketika mengomentari ayat ini berkata: “Ada pelajaran sangat berharga yang dapat dipetik dari ayat di atas, yaitu bahwa Fir’aun yang terkenal keangkuhan dan arogansinya, sementara Musa –alaihissalam– sebaik-baik manusia pilihan Allah saat itu, namun demikian Allah memerintahkannya untuk tidak berbicara dengan Fir’aun kecuali dengan perkataan yang santun dan lemah lembut”.
Kata-kata cacian hanya mengundang malapetaka, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Cacian tidak akan menghadirkan kembali orang yang kabur dan tidak akan membuat simpati orang yang berkepala batu, justru hanya menanamkan rasa dendam di hati dan membuat orang yang berseberangan semakin nekad dan keras kepala. Bahkan, sudah banyak orang yang berurusan dengan polisi akibat memfitnah dan mencaci maki orang lain di media sosial.
Bila kita menghujani orang yang tidak sependapat dengan kita itu dengan makian, kecaman dan kutukan, maka apa yang kita lakukan itu akan semakin memperkeruh persoalan dan memperparah penyakit. Oleh karena itu, bila kita menyampaikan nasihat, sampaikanlah dengan cara yang tidak membuat orang lain kabur, dan bila kita berdebat, berdebatlah dengan cara yang santun tanpa merendahkan lawan bicara.
Iman dan takwa bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Tidak ada orang yang bertakwa dengan sebenar-benarnya taqwa kecuali dia adalah orang yang beriman. Dan tidak ada orang yang benar-benar beriman, kecuali dia bertaqwa; yakni menjaga diri dari dosa dan selalu berusah menjalankan perintah-perintah-Nya, disertai dengan akhlak yang baik.
Orang-orang yang bertakwa percaya kepada yang ghaib. Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, percaya bahwa surga dan neraka itu benar-benar ada, mereka juga percaya bahwa Allah menciptakan malaikat dan menurunkan kitab suci kepada beberapa nabi. Mereka percaya dengan hari akhir dan hisab. Dengan kepercayaan dan iman itu lalu mereka menjalani hidup di dunia sesuai dengan tuntunan dan ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dari Allah SWT.
Hamba Allah yang benar-benar beriman dan bertakwa itu mempunyai hati yang lembut, jiwa yang tenang dan perangai yang baik, ramah, dan penuh kasih sayang. Hal itu tercermin dalam tindakan dan ucapannya sehari-hari. Orang yang benar-benar beriman, atau mereka yang memiliki kualitas iman sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, tidak mungkin menjadi pribadi-pribadi yang tercela.
Mereka tidak mungkin menjadi orang-orang yang mengajak manusia kepada kerusakan, hasut, kedengkian, dan kebencian. Orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya iman tidak mungkin menyebarkan fitnah atau tuduhan-tuduhan keji tanpa dasar kebenaran kepada siapapun.
Mereka tidak mungkin mencaci dan melontarkan tuduhan keji hanya didasarkan pada su’udzon dan kebencian terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Orang-orang yang melakukan kekejian seperti ini, bukanlah orang yang beriman dan bertaqwa. Justru, mereka adalah para ahlul fitnah, atau pembuat kerusakan di muka bumi.
Rasulullah SAW mengajari kita bagaimana seharusnya menjadi seorang mukmin yang sesungguhnya. Rukun iman memang hanya ada enam sebagaimana kita ketahui, tetapi kesempurnaan iman memerlukan perangkat-perangkat lain. Kepercayaan atau iman kita kepada enam hal yang diajarkan oleh Rasulullah itu bukan hanya sekadar percaya, melainkan harus ditindaklanjuti dengan menjalankan perintah-perintah Allah serta menjauhi larangan-larangan-Nya.
Kemudian dilengkapi pula dengan akhlak atau tindak tanduk yang terpuji serta ucapan yang baik. Mencaci-maki, melaknat, memarahi orang menggunakan kata-kata kotor adalah perbuatan keji yang menjauhkan manusia dari iman. Karena hal-hal tersebut bukan merupakan ciri-ciri manusia yang beriman. Orang yang beriman akan memancarkan keindahan jiwa dan hatinya. Membuat orang di sekelilingnya merasa aman, tenteram, dan damai.
Rasulullah SAW juga memberitahukan kepada umat Islam, bahwa caci maki atau laknat dari manusia kepada manusia lainnya merupakan sesuatu yang sangat berbahaya dan berat urusannya. Oleh karena itu jika ada orang yang mencaci-maki dan melaknat orang, namun ternyata orang yang dilaknat itu adalah orang baik, maka laknat itu akan kembali kepada diri orang yang melaknat.
Prinsip-prinsip ajaran Islam tersebut harus dipegang teguh semua Muslim agar apapun perbedaan yang muncul, khususnya di media sosial tidak mengakibatkan kondisi kemanusiaan yang rapuh dan suram. Media sosial tetap bisa menjadi alat bagi kebaikan bersama tergantung konten seperti apa yang berusaha disebar.
Generasi digital yang kerap disebut generasi milenial ini penting menjadi perhatian bersama agar proses bermedia sosial terdidik secara literasi. Langkah pencerdasan generasi milenial perlu mendapat panduan dari generasi-generasi sebelumnya yang justru lebih dahulu memahami dinamika yang berkembang dalam dunia teknologi informasi. Bahkan dari pemahaman tersebut, pola prediksi perkembangan teknologi selanjutnya bisa dilakukan. Langkah pencerdasan ini bisa dimulai dengan memberikan pemahaman melalui penulisan buku terkait literasi digital dan perkembangannya.
Di tengah arus media digital yang demikian massif, kebinekaan yang menjadi identitas warga Indonesia mendapat tantangan serius. Ancaman itu berupa meningkatnya eskalasi kebencian dan provokasi yang disebarkan secara massif melalui media sosial seperti yang dijelaskan di atas. Revolusi teknologi dan mudahnya akses media sosial ternyata menyimpan ruang gelap berupa kebencian dan isu-isu negatif yang dihembuskan oleh kelompok-kelompok tertentu.
Namun, di tengah perkembangannya, literasi digital ini juga harus menjadi media untuk generasi bangsa bahwa belajar langsung kepada seorang guru yang tepat juga menjadi bekal dalam mengarungi dunia digital. Karena, bekal ini akan bermanfaat bagi generasi milenial untuk mengisi dunia maya dengan konten-konten positif dalam rangka membangun Indonesia yang kuat dan agama yang lebih ramah untuk kehidupan bersama. Sehingga bahaya tersembunyi yang tertanam (laten) kebencian di media sosial bisa dicegah.
Penulis adalah Redaktur NU Online