Opini

Menguji Independensi IPNU dan IPPNU

Kamis, 5 November 2015 | 13:00 WIB

Oleh Ahmad Saifuddin
Akhir tahun 2015, tepatnya sepanjang bulan September sampai Desember 2015 nanti, akan menjadi bulan politik bagi bangsa Indonesia. Pada rentang bulan tersebut, sebagian besar bangsa Indonesia mengalami sebuah fenomena yang disebut dengan rangkaian Pilkada Serentak, yang puncaknya terjadi pada tanggal 9 Desember 2015. Setiap pasangan calon (paslon) <>kepala daerah mengerahkan semua sumber dayanya untuk meraih tampuk kepemimpinannya di daerahnya masing-masing. Sumber daya partai politik, uang, massa, semuanya dikerahkan untuk mencapai kepemimpinannya yang orientasinya sudah kabur untuk siapa, dari siapa, dan oleh siapa. Berbagai kepentingan pun berbicara di daerah masing-masing sehingga berpotensi mengakibatkan antipati massal bangsa Indonesia. Di sisi lain, sebagian masyarakat yang pragmatis kemudian secara terbuka memakai semboyan “ada suara ada uang” yang menambah peliknya masalah money politic di Indonesia.

Berdasarkan dinamika tersebut, maka setiap komponen masyarakat memiliki peran penting, terlebih lagi kategori pemilih adalah mereka yang sudah menikah atau minimal berusia 17 tahun. Artinya, komponen pelajar yang masih awam akan politik pun menjadi rentan untuk dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh tim sukses dan paslon. Kondisi ini tentu saja sama sekali tidak mencerminkan edukasi yang benar dan tepat dalam bidang politik. Namun, justru akan menjadi sarana mendidik masyarakat untuk menjadi pragmatis dan turut serta dalam politik transaksional dengan cara yang melanggar undang-undang. Dengan demikian, permasalahan tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja. Harus ada upaya konkrit, sinergi, dan berkesinambungan dari berbagai komponen masyarakat.

Adalah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), sebuah wadah pelajar yang harus berada di garda terdepan untuk menyelesaikan permasalahan politik transaksional. Sejak berdiri, IPNU dan IPPNU memiliki tujuan yang jelas, yaitu sebagai wadah bersatunya para pelajar, santri, dan mahasiswa untuk memberdayakan masyarakat, mempertahankan NKRI serta melestarikan implementasi nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Khittah yang dimiliki IPNU dan IPPNU ini akan menjadi kekuatan dan modal penting untuk membentuk kepribadian yang tidak mudah terpengaruh akan segala macam bentuk money politic. Selain itu, dengan modal khittah tersebut, IPNU dan IPPNU juga diharapkan untuk bersikap netral dalam setiap gelaran pemilihan pemimpin di Indonesia, mulai dari tingkat desa sampai tingkat tertinggi, yaitu presiden. Dengan demikian, dalam setiap gelaran pemilu, IPNU dan IPPNU tidak sepantasnya mengarahkan massa untuk memilih salah satu calon terlebih lagi jika ditunggangi kepentingan tertentu. Ini akan menjadi tanggung jawab keluarga besar NU. 

Nahdlatul Ulama sebagai “bapak” dari IPNU dan IPPNU memiliki peran penting untuk memberikan teladan dan arahan bagi setiap lembaga, lajnah, dan badan otonom, termasuk IPNU dan IPPNU. Teladan dalam bentuk keteguhan memegang prinsip dan khittah bahwa NU dan semua lembaga, lajnah, dan badan otonom adalah murni sebagai organisasi kemasyarakat dan keislaman sehingga tidak akan menyalahgunakan NU beserta lembaga, lajnah, dan badan otonom untuk kepentingan politik. Arahan dalam bentuk NU di setiap tingkatan harus tegas, teliti, dan jeli terhadap setiap jajarannya, termasuk kepada lembaga, lajnah, dan badan otonom khususnya di IPNU-IPPNU sehingga peluang untuk menjadikan NU sebagai tunggangan politik akan sangat kecil atau bahkan tidak ada.

IPNU dan IPPNU sebagai badan otonom dari NU akan menjadi sasaran yang menggiurkan untuk mengerahkan massa sehingga rentan dimanfaatkan oleh para paslon. Terlebih lagi, IPNU dan IPPNU memiliki bidang garap dan keanggotaan pelajar yang tergolong pemilih pemula. Kondisi ini harus menjadi perhatian bagi setiap komponen di dalam IPNU dan IPPNU pada setiap tingkatan. Jangan sampai IPNU dan IPPNU menggunakan kegiatan dan agenda kerjanya untuk mobilisasi massa dan mengarahkan pada salah satu paslon. IPNU dan IPPNU harus mampu menjaga integritas organisasi serta jangan sampai merendahkan martabat organisasi dengan bersedia membantu pemenangan salah satu paslon. Setiap orang yang menjadi anggota IPNU dan IPPNU memang wajib menyalurkan aspirasi politiknya dan diijinkan untuk mengarahkan kepada salah satu paslon, namun bukan dengan menggunakan nama IPNU dan IPPNU. Mereka harus menggunakan nama pribadi mereka sendiri karena jika mereka menggunakan nama dan agenda IPNU dan IPPNU untuk mengerahkan massa dan kemudian mengarahkannya kepada salah satu paslon, hal itu sudah termasuk penyalahgunaan terhadap organisasi IPNU dan IPPNU. Dalam hal ini, pemimpin IPNU dan IPPNU harus memiliki ketegasan. Jika ada pengurus dan anggota IPNU dan IPPNU yang menyalahgunakan IPNU dan IPPNU untuk kepentingan politik tertentu, ketua IPNU dan IPPNU di setiap tingkatan harus menjatuhkan teguran tegas dan sanksi seperti yang dicontohkan oleh KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh saat menjabat Rais Aam PBNU. Saat itu, beliau beserta jajaran pengurus syuriyah menerbitkan qarar syuriyah untuk memberhentikan sementara KH Hasyim Muzadi sebagai ketua umum PBNU dan KH Sholahuddin Wahid sebagai ketua PBNU karena mereka berdua menjadi calon wakil presiden pada gelaran pilpres tahun 2004. Begitu juga NU, mampu mencontoh sikap tersebut menggunakan wewenangnya sebagai pembina IPNU dan IPPNU untuk mengarahkan dan memastikan sikap IPNU dan IPPNU sesuai dengan khittah.

IPNU dan IPPNU justru diharapkan dapat memberikan pendidikan pemilih, bukan pendidikan politik, apalagi politik uang dan mengarahkan kepada salah satu calon pemimpin dengan memakai nama organisasi IPNU dan IPPNU. Peran itulah yang harus digarap dan ditunaikan oleh IPNU dan IPPNU sebagai penyeimbang terhadap kondisi pragmatis sebagian masyarakat Indonesia. IPNU dan IPPNU harus memberikan pendidikan pemilih, membantu KPU dalam mensosialisasikan semua calon pemimpin (ingat, mensosialisasikan semua calon pemimpin, bukan mengarahkan kepada salah satu calon pemimpin), membentuk kesadaran bahwa integritas politik itu ketika kita tidak dapat disuap, membentuk kesadaran bahwa memilih pemimpin bukan berdasarkan uang, menciptakan sikap berani menolak segala bentuk politik uang, dan menumbuhkan kepedulian akan adanya pelanggaran kampanye sehingga berani mencegah dan melaporkan pelanggaran tersebut. Sikap-sikap tersebut sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia di tengah krisis figur dan krisis moral, di tengah budaya pragmatisme sehingga memandang apapun dapat dilakukan dengan transaksi uang, termasuk gelaran pemilu. Ketika IPNU dan IPPNU mampu menjalankan perannya sebagai pelaku pendidikan pemilih, maka efeknya akan menjadi luar biasa. Selain sebagai penyeimbang dan lawan dari pragmatisme masyarakat, IPNU dan IPPNU akan mampu membentuk jaringan pemilih yang berkualitas dan berintegritas di kalangan pelajar dan pemilih pemula. Terlebih lagi, karakteristik pelajar adalah sangat erat dengan adanya faktor lingkungan termasuk peer group atau teman sepermainan. Dengan demikian, IPNU dan IPPNU akan dapat membumikan bahwa segala bentuk pelanggaran kampanye atau pemilu itu bukan hanya dosa, tetapi juga merendahkan integritas sebagai bangsa yang bermartabat. Serendah itukah bangsa Indonesia sehingga mudah terjebak dalam segala bentuk pelanggaran pemilu dan politik uang? 

* Wakil Sekretaris PW IPNU Jawa Tengah, Mantan Relawan Demokrasi KPU Klaten Pada Pemilihan Anggota Legislatif Tahun 2014


Terkait