Opini

Menghidupkan Spirit Nahdlatut Tujjar via Vokasi

Selasa, 17 September 2024 | 13:30 WIB

Menghidupkan Spirit Nahdlatut Tujjar via Vokasi

Panji Nahdlatul Ulama (NU Online)

Salah satu pilar dari tiga pilar pendirian Nahdlatul Ulama adalah Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang). Lembaga yang berfokus pada pengembangan ekonomi rakyat ini memiliki jargon menarik, yaitu “Mencegah kemaksiatan melalui pengentasan kemiskinan”.


Pendirian Nahdlatut Tujjar tidak bisa lepas dari kondisi sosial di saat itu di mana bumiputra yang diiming-imingi oleh Belanda akan dimakmurkan melalui Politik Etis, rupanya hanya isapan jempol belaka.


Justru sebaliknya, Politik Etis tidak memberikan kemakmuran merata pada mayoritas rakyat, malah hanya bermanfaat besar bagi pihak Belanda dan segelintir orang bumiputra yang memiliki pengaruh dan kuasa di tanah Jawa.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Keterpurukan ekonomi yang dialami oleh bumiputra itu kemudian berimbas buruk pada tatanan sosial. Mereka melakukan segala cara dan upaya untuk bisa mendapatkan uang meski harus melakukan pelanggaran syariat (kemaksiatan).


Dalam kondisi seperti itu, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan kiai-kiai pesantren yang lain melakukan terobosan dengan mendirikan Nahdlatut Tujjar. Sebuah harapan yang terorganisasi untuk menanggulangi maraknya kemaksiatan di tengah masyarakat dengan cara meningkatkan kemakmuran rakyat.


Namun sayang, Nahdlatut Tujjar berumur tidak lebih dari 8 tahun sejak pendiriannya (1918 - 1926). Semangat Nahdlatut Tujjar ini mesti dibangkitkan kembali oleh pesantren-pesantren di Indonesia, untuk menyongsong Indonesia emas tahun 2045.


Vokasi di Pesantren
Vokasi atau kejuruan sebetulnya sudah ada sejak zaman pemerintahan VOC. Akademi Pelayaran (Academie der Marine) adalah vokasi pertama kali yang didirikan pada tahun 1743. Meski pada tahun 1755 sekolah itu ditutup kembali.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Kemudian muncul sekolah kejuruan pada tahun 1853, yaitu Ambacht School van Soerabaia (Sekolah Pertukangan Surabaya) yang diperuntukkan untuk anak-anak Indo dan Belanda.


Vokasi sendiri adalah pendidikan yang difokuskan untuk mempersiapkan dan membekali lulusannya agar langsung siap bekerja, sesuai jenis bidang keahlian. Pendidikan yang diberikan adalah pelatihan kompetensi dan bersifat praktikal.


Vokasi ini sebetulnya juga mewujud dalam dunia pesantren. Yang dilatih tidak hanya anak sekolah, lebih luas lagi adalah masyarakat. Yaitu Nahdlatut Tujjar. Saat itu, kompetensi Nahdlatut Tujjar mengarah pada pertanian dan perkebunan. Hasil dari kompetensi itu akan memunculkan bahan kebutuhan pokok seperti padi,  tebu, kacang-kacangan, sayur, gula, buah, kopi, minyak goreng, dan sabun.


Nahdlatut Tujjar adalah bentuk perlawanan atas sistem ekonomi kolonial Belanda. Lebih dari itu, masyarakat diajarkan agar bisa mandiri dalam perekonomian. Jalur kemitraan dan operasional Nahdlatut Tujjar dikenal dengan “segitiga emas”. Yaitu daerah Surabaya, Kediri, dan Jombang.


Disebut sebagai segitiga emas, pertama, karena Surabaya adalah kota industri, pusat perdagangan dunia dan kaya minyak pada saat itu. Dan penerapan teknologi canggih dari produk revolusi industri ada di sana.


Kemudian Kediri, masyarakat kediri dikenal religius dan punya hubungan emosional yang cukup kuat dengan para ulama di daerah itu. Sehingga memudahkan pengorganisasian jalur perdagangan.


Terakhir, adalah Jombang. Selain memiliki banyak pesantren dan kiai besar (penggagas Nahdlut Tujjar), perekonomian Jombang ditopang oleh pertanian dan perkebunan. Komoditas utama Nahdlatut Tujjar. Selain itu, industri Tebu juga berjalan masif di Jombang.


Namun sangat disayangkan, Nahdlatut Tujjar mengalami kemunduran hingga akhirnya tutup usia. Beberapa sebab di antaranya adalah perubahan orientasi gerakannya yang tidak bisa lepas dari upaya meraih kemerdekaan. Selain itu, kendala manajerial adalah salah satu penyebab utama lembaga ini harus tiada. 


Fokus Vokasi dan Manajerial
Vokasi dan Nahdlatut Tujjar punya irisan tujuan yang identik. Sama-sama memiliki Impian mengentas kemiskinan masyarakat. Selain itu semangat kemandirian ekonomi juga terwujud dalam vokasi. Ketika banyak tenaga kerja yang terampil dan terserap lapangan kerja, angka pengangguran akan turun. Dan ketika angka pengangguran berhasil ditekan, perekonomian rakyat “setidaknya” lebih baik.


Perwujudan semangat Nahdlatut Tujjar bisa diwujudkan melalui kolaborasi dengan kebijakan pemerintah Indonesia. Salah satunya adalah vokasi. Indonesia memiliki pendidikan vokasi yang dituangkan dalam 3 program pendidikan lanjutan, yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Balai Latihan Kerja (BLK), dan Politeknik.


Berdasarkan rencana strategis Kementerian Pendidikan, proporsi SMK dan SMA direncanakan menjadi 70:30. Artinya SMK akan menjadi tulang punggung industri di Indonesia. Sekarang banyak pesantren yang sudah memiliki unit SMK dan BLK.


Dalam program kerja Kementerian Ketenagakerjaan ada BLK komunitas yang diperuntukkan untuk lembaga keagamaan non pemerintah, seperti pesantren. Namun sejauh 2023 sudah ada BLK komunitas yang terbangun mencapai 4.282 unit. Jumlah ini tidak semuanya bagus. Ada 2.432 unit berada di level tumbuh, 1.403 unit di level berkembang, dan 444 unit di level mandiri.


Level tumbuh berarti BLK tersebut berizin dan menjadi penyelenggara pelatihan. Lalu level berkembang artinya BLK berizin, menyelenggarakan pelatihan, dan mampu mengembangkan jaringan kemitraan. Dan level mandiri, BLK berizin, menyelenggarakan pelatihan, mampu mengembangkan jaringan, dan memproduksi barang/jasa.


Sebetulnya Kemenaker sudah mengupayakan transformasi BLK agar bisa berada di level mandiri. Namun upaya itu memerlukan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang cukup panjang. 


Kemenaker bilang, untuk biaya pelatihan calon pekerja migran Indonesia (CPMI) membutuhkan anggaran kisaran Rp 10 juta/orang. Dan sudah ada permintaan pekerja migran sebanyak 1,2 juta orang. Artinya jumlah dana yang dibutuhkan sekitar 10 triliun. Padahal, dana yang tersedia di Kemenaker saat ini sekitar 1,6 triliun.


Pesantren punya potensi untuk mencoba mengembangkan vokasinya sendiri sembari menunggu kendala pemerintah selesai. Pada semester II tahun 2023 pesantren di Indonesia mencapai 39.167 unit dengan total santri sebanyak 4,85 juta orang. Dan masih data dari Kemenag, untuk Jawa Timur saja, jumlah santri mencapai 995.300 orang.


Salah satu masalah BLK komunitas menurut Gobel Djoko Wahyudi, Presiden Federasi Serikat Pekerja Panasonic (Dikutip dari Kompas.id pada 21/5/2024) adalah tiada perencanaan bisnis yang jelas dari BLK komunitas, menurutnya tidak bisa terus mengandalkan bantuan anggaran apalagi dari pemerintah.


Maksud saya begini, pesantren dengan perputaran ekonomi yang besar di dalamnya, perlu membuat perencanaan bisnis terkait program vokasi ini. Ditata sedimikian rupa untuk mencapai tata kelola yang baik (Good Corporate Governance) atau manajerial yang bagus.


Kemudian melakukan pengembangan kemitraan dengan pesantren-pesantren lain. Jika terlalu sulit untuk seluruh Indonesia, kita bisa melanjutkan jalur yang pernah dibuat oleh Nahdlatut Tujjar, segitiga emas (Surabaya, Kediri, dan Jombang).


Kita perlu mengupayakan dan terbuka pada sekian banyak peluang untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Setidaknya masih ada waktu 21 tahun sebelum bonus demografi di tahun 2045 terjadi. 


Dan keberhasilan Indonesia Emas tidak hanya ditentukan oleh masyarakat luar. Dengan  jumlah santri yang begitu banyak, pesantren punya andil besar untuk menyukseskan Indonesia Emas 2045. Ya salah satunya pemberdayaan ekonomi melalui vokasi.


Spirit kelahiran pesantren bersama kiai di dalamnya tidak boleh hanya menjadi sumber pengetahuan ilmu agama saja. Tapi harus terlibat menyelesaikan problem keumatan. Khususnya ekonomi. Masyarakat yang miskin, akan berdampak buruk yaitu menuju kekufuran dan kemaksiatan merajalela. Hal yang tidak boleh terulang seperti masa Nahdlatut Tujjar berdiri.


Memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin, bukan?

 

Septian Pribadi adalah peneliti di Badan Litbang dan Inovasi di Tebuireng Media Group