Oleh Lubabun Ni’am
Di tengah penggalangan aksi bertajuk Solidaritas Budaya untuk Masyarakat Urutsewu, koran Suara Merdeka edisi 9 April 2014 menerbitkan berita berjudul “Gerakan Didanai Rp 9 M”. Inti berita itu, menurut pembacaan saya, mengarahkan pembaca untuk mengetahui bahwa Solidaritas Budaya didanai oleh oknum tertentu sebesar “Rp 9 M”.
<>Silakan telusuri berita-berita Solidaritas Budaya di NU Online—untuk menyebut salah satu kanal, kita akan segera mengetahui: berita Suara Merdeka itu ngelindur dan sampah, terutama karena tidak berdasarkan fakta.
Perlu diketahui saja, bahkan sebelum penggalangan Solidaritas Budaya, sebagian masyarakat Urutsewu secara tegas sudah tidak percaya pada Suara Merdeka. Sudah bukan kali ini saja Suara Merdeka memuat berita-berita ngawur tentang konflik tanah di Urutsewu. Karena itu, ketika kemudian terbit berita “Gerakan Didanai Rp 9 M”, tak syak lagi, tidak ada media lokal yang lebih buruk nasib dan hasil pemberitaannya seperti terjadi pada Suara Merdeka di dan terhadap Urutsewu. Tak percaya?
Tiga dosa
Berita “Gerakan Didanai Rp 9 M” itu setidaknya “berdosa” pada tiga titik. Dosa ini dosa sosial terhadap masyarakat Urutsewu, yang takkan mudah terkikis dari ingatan sejarah kita. Pertama, penulis berita itu dan koran Suara Merdeka telah menyebarkan berita yang tidak benar bahwa Solidaritas Budaya didukung dengan dana “Rp 9 M”. Berita bohong tersebut tidak akan ditulis oleh seorang peliput yang mau berkeringat menghimpun informasi yang sesuai fakta, langsung kepada warga. Mahasiswa pers kampus angkatan pertama saja, atau malah seorang siswa majalah dinding SMA sekalipun, agaknya tak akan sepayah dan separah itu dalam menulis berita.
Kedua, penulis berita hanya bersandar pada satu sumber anonim dan dua sumber pajabat (Kapolres dan Bupati Kebumen). Ketiga narasumber itu tidak ada satu pun yang menjadi representasi kepentingan warga kelas bawah Urutsewu. Bagi saya, tak pantas kita menyebut penulis berita sejenis itu sebagai seorang wartawan. Di tengah situasi penggalangan aksi yang setubuh dengan perlawanan masyarakat Urutsewu memperjuangkan tanah, pemilihan narasumber yang terlalu bias penguasa itu sama dengan melecehkan perjuangan masyarakat Urutsewu atas tanahnya dan menghina aliansi gerakan. Berharap sang penulis membaca sejarah konflik tanah di Urutsewu pun, sepertinya, bisa-bisa malah kitalah yang salah menggantungkan harapan.
Ketiga, penulis berita memilah antara pihak yang pro dan pihak yang kontra atas penguasaan tanah di Urutsewu untuk latihan ujicoba senjata TNI Angkatan Darat, seolah-olah bersikap “objektif”. Aliansi dalam Solidaritas Budaya (Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam termasuk di dalamnya) ditulis sebagai pihak yang kontra penguasaan tanah di Urutsewu oleh TNI. Berita yang berlagak “objektif” seperti ini hanya kontraproduktif—kalau bukan kontrarevolusioner—dengan tujuan perubahan kebijakan sesuai perjuangan masyarakat Urutsewu. Ketahuilah, berita semacam itu hanya dapat dimuat (dikomodifikasi) oleh koran yang buta pada ketidakadilan dan ketertindasan yang terang-terang tak bisa ditoleransi lagi.
Berita “Gerakan Didanai Rp 9 M” itu segera “diserang” pegiat Solidaritas Budaya melalui media sosial. Kalau boleh disebut penghakiman, maka itulah penghakiman balasan terhadap sang pendosa. Yang jelas, berita itu bukan justru menggembosi aliansi, melainkan telah membakar “amarah” pendukung aliansi dan menabalkan ketidakpercayaan warga Urutsewu pada Suara Merdeka. Apalagi, berita Suara Merdeka yang lain, berjudul “Pelaku Pemerkosaan Terorganisasi” (8 April 2014), malah menyangkut-pautkan gosip yang tak benar bahwa Kiai Imam Zuhdi, tokoh pendukung masyarakat Urutsewu dalam memperjuangkan tanah yang diklaim TNI, disebut-sebut terlibat tindakan asusila yang terjadi di Pantai Setrojenar. Terlalu!
Kondisi umum
Dalam lingkup yang rada spesifik, yakni bagi kalangan Nahdliyin, kasus Suara Merdeka terhadap masyarakat Urutsewu ini semakin menambah panjang deret keterpisahan—kalau bukan pengkhianatan—media massa (arus utama) dengan arus perjuangan massa Nahdlatul Ulama (NU), terutama yang berkaitan dengan tanah dan serbuan industri ekstraktif. Keterpisahan itu tercatat dalam kasus yang beragam. Ada media yang samar-samar tak mampu membela kondisi warga Nahdliyin yang dikepung berbagai korporasi industri ekstraktif, ada media yang secara telanjang berada di seberang kubu dengan aliansi perlawanan memperjuangkan tanah.
Di Sidoarjo, korban lumpur Lapindo berhadapan dengan konglomerat media Grup Bakrie. Peneliti kasus Lapindo dari Universitas Brawijaya, Anton Novenanto, mencatat bahwa ANTeve, TVOne, dan Vivanews (Grup Bakrie) memberlakukan “perlakuan khusus” terhadap berita yang menyangkut lumpur Lapindo sehingga wartawannya tak mampu berbuat kritis. Selain mengelola media online (mudvolcano.com) yang lebih menarik secara tampilan daripada media alternatif yang dibikin korban lumpur Lapindo (korbanlumpur.info), Grup Bakrie juga melakukan okupasi terhadap salah satu media lokal Jawa Timur, Surabaya Post. Pada titik ini, Grup Bakrie memenangi pertarungan ranah media karena mereka adalah konglomerat media arus utama.
Di Tuban, Jawa Timur, meski sejauh ini letupan kekecewaan oleh massa Nahdliyin baru mengemuka secara sporadis, tapi kehadiran berbagai industri ekstraktif makin merajalela. Tidak hanya berhadapan dengan produksi Semen Indonesia yang sudah beroperasi sejak masa Orde Baru, tapi juga ditambah dengan kehadiran perusahaan Holcim dan berbagai industri petroleum dan aromatik serta minyak bumi. Sementara itu, media cetak lokal yang ada hanyalah Radar Bojonegoro (Grup Jawa Pos). Media online setempat, kalau tidak salah merupakan satu-satunya kanal berita online yang mengkaver berita-berita seputar Tuban, yakni kotatuban.com, sayangnya sangat terbuka terhadap dana Corporate Social Responsibility dari perusahan semen.
Kesimpulannya, di berbagai daerah basis massa NU, sebagaimana tercermin di Kabumen, Sidoarjo, dan Tuban, terpampang kondisi umum mereka: kelas bawah dikepung media arus utama yang tidak bisa diandalkan untuk beraliansi dalam perlawanan memperjuangkan tanah dan membentengi diri dari serbuan industri ekstraktif. Tidak semua media arus utama lokal, memang, tak bersahabat dengan berbagai aksi perlawanan. Tetapi, berharap pada pemberitaan yang bersandar pada peristiwa (event) bentrok semata adalah aksi pendiaman yang lain. Berharap pada personal-personal jurnalis yang masih bisa digiring untuk memuat misi dan aksi perjuangan juga bukan persekutuan yang strategis dan kuat. Lalu bagaimana?
Perang posisi
Media memegang peran signifikan dalam gerakan perlawanan rakyat. Media, terlebih media arus utama, sejatinya merupakan penyampai pesan perlawanan. Tetapi, media arus utama terbukti tidak bisa diperkuda oleh gerakan. Sudah lazim diketahui, posisi media sebagai perusahaan bisnis kerap memaksa wartawannya untuk tunduk pada kapital dan segelintir pemiliknya, bukan pada elemen jurnalisme seperti keberpihakan pada kaum tertindas. Kapitalisme media menyebabkan kita, khususnya kaum Nahdliyin, harus memikir ulang untuk menggantungkan harapan pada media arus utama sebagai aliansi “perang posisi” dalam arus perlawanan.
Dengan sedikit melakukan penyederhanaan dari konsep yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci, perang posisi (war position) di sini pertama-tama harus didaratkan pada pendekatan kelas. Di mana pun, kelompok yang paling rentan tersingkir oleh kuasa senjata, negara, dan kapital adalah kelas terbawah dalam masyarakat. Ya, wong cilik dalam bahasa Jawa. Perang posisi, menurut salah satu pengkaji pemikiran Gramsci dari York University, Robert W. Cox, merupakan proses di mana kekuatan yang menjadi fondasi sosial dibangun secara pelan-pelan, dengan cara menciptakan institusi alternatif dan kelompok intelektual alternatif di tengah-tengah masyarakat.
Dalam kasus pemberitaan Suara Merdeka terhadap masyarakat Urutsewu, aliansi dalam perang posisi itu sedang dibangun bersama elemen pers mahasiswa. Aliansi ini adalah sarana konsolidasi untuk menggelorakan kegelisahan universal bahwa kaum Nahdliyin kelas bawah tengah dikepung oleh industri ekstraktif dan transaksi-transaksi untuk pelepasan tanah. Aliansi ini adalah gugatan balik terhadap Suara Merdeka. Sebuah aliansi yang mengubah institusi media kita menjadi struktur media kooperatif, masih ditunggu. Dari Urutsewu, “perang” itu tampaknya akan dimulai.
Lubabun Ni’am, anggota Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)