Oleh Muhamad Nurdin
Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam. Pada awal perkembangannya. sulit melakukan respon terhadap gebyar-gebyar perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat. Pesantren tempat dan sekaligus merupakan miniatur pendidikan Islam di Indonesia, dalam sejarahnya lahir dan berbasis di pedesaan, jauh dari gebyar dan hiruk pikuk perkotaan, terseok-seok di daerah pinggiran yang kelam.
Bangunan-bangunan tua nun jauh di pedalaman, para kyai dan santri yang hanya melangkah perlahan-lahan menapaki jalan di alam desa yang hening dan kelam bahkan nyaris diam.
Beruntung, pesantren menyadari perlunya perubahan, maka pada awal abad ke-20, pesantren memperkenalkan sistem klasikal yang disebut madrasah. Sistem ini dilengkapi dengan pengetahuan umum, walaupun masih sangat terbatas sebagai jawaban positip atas terjadinya perubahan-perubahan akibat politik etis kolonial.
Kalau saja rentang sejarah berlanjut, dan pesantren tanpa menyadari perubahan, barangkali kita hanya dapat menyaksikan gedung-gedung tua yang reot, reproduksi keulamaan dan keintelektualan Islam hanya akan berjalan tersendat-sendat.
Dan ketika telah begitu banyak fakta yang di produksi sejarah, maka berbagai bentuk pengandaian tinggalah sebuah pengandaian. Tapi dengan pengandaian seperti ini, kita akan merenung sejenak, betapa pentingnya perubahan atau modernisasi itu. Dengan metode klasikal atau sistem madrasah. Pesantren moderen, telah membuka kran tradisi dan mengalirkan anak santri “keatas” terlepas dari kenangan masa lampau yang kumuh dan jumud.
Dari rahim pesantren, lahirlah sejumlah nama, sebut saja, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Hasyim Muzadi, Dr. Nurcholish Madjid, Dr. Komarudin Hidayat, Lukman Hakim Saefuddin, Said Aqil Siroj, Quraish Shihab, Nazaruddin Umar, dan masih banyak yang lainnya. Mereka dinilai tangguh dan mampu mengembangkan dirinya dalam bidang ilmu agama Islam, juga memiliki kepekaan terhadap masalah sosial dan lingkungan. Itulah beberapa alumni pesantren yang mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai ulama atau cendekiawan.
Jauh sebelum itu, dari pesantren telah lahir juga tokoh-tokoh yang memainkan peran penting dalam khazanah intelektualisme Islam. Dalam sejarah intelektualisme pesantren, kita pernah mendengar tokoh bersarung, tapi intelektualnya tidak sarungan, bahkan merambah membahana semesta alam jagat mayapada keilmuan di seantero bumi. Sebut saja misalnya, Syekh Nawawi al-Bantany, Syekh Mahfudz al-Tirmasy, Sykeh Yasin al-Fadany, dan lain sebagainya.
Pesantren peka zaman
Kini, pesantren tidak hanya tumbuh di alam pedesaan, tapi juga sudah jauh merambah ke kota-kota besar. Bahkan, dulu anak-anak pesantren kudis dan korengan, sekarang mereka menjadi santri yang wangi, dengan semprotan parfum merek terkenal, clive christians, carons poivre, bulgari, dan lainnya. Belajarnya tidak hanya berkutat dengan kitab kuningan, yang khas pesantren. Tapi juga belajar Bahasa Inggris, kewirausahaan, dan ilmu-ilmu yang bersifat ke-dunia-wian. Ini penting mengingat zaman sudah berubah.
Di dalam pembabakan perkembangan pendidikan di Indonesia, lahirnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, dipandang sebagai saat simbolik yang mengukuhkan bahwa lembaga keagamaan seperti pesantren, sedang memasuki era baru dalam strategi pengembangan secara nasional.
Dengan masuknya lembaga pesantren dalam Undang-undang Sisdiknas, jelas ini merupakan langkah maju. Karena sudah terbukti dalam sejarah segala zaman, pesantren tetap eksis di tengah-tengah masyarakatnya, dari tahun ke tahun pesantren terus bertumbuh. Ini menandakan pesantren sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Disinilah pesantren berperan sebagai ”Center of excellence” pusat keunggulan. Karena pesantren memiliki keunggulan komperatif, yaitu penekanan yang signifikan pada pendidikan agama dan akhlak (moralitas). Inilah yang menjadi daya tarik para orang tua memasukan anaknya pada pesantren.
Untuk merespon dinamika zaman yang terus melaju dengan kencangnya, maka sangat dibutuhkan pesantren yang melongok pada desa global (gobal village), atau pesantren yang peka zaman. Artinya, bahwa pesantren dituntut untuk melayani masyarakat pengguna pendidikan. Hal tersebut dilakukan dengan tidak menghilangkan identitas dan ciri khas pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang bernuansa religius.
Minimal, ada tiga hal yang harus dilakukan pesantren agar menjadi lembaga pendidikan Islam yang peka zaman. Pertama, pengembangan kurikulum pesantren. Dalam kurikulum tersebut pesantren tidak hanya bergelut dengan kitab kuningan semata, tetapi juga mengajarkan ilmu yang dibutuhkan oleh masyarakat, supaya bisa berdaya saing.
Kedua, manajemen pengelola. Para pengelola tidak berdasarkan kekeluargaan semata, tapi dipilih sesuai dengan kualitas keilmuan. Pengelola dilakukan perperiodik, bisa tiga tahun atau lima tahun sekali dipilih oleh dewan pesantren.
Tujuannya yaitu, untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas kebijaksanaan pesantren, program, pelaksanaannya serta mutu lulusannya. diharapkan juga dapat menghasilkan suatu laporan yang membeberkan kelemahan-kelemahan, kekuatan-kekuatan dan prestasi pesantren serta memberikan rekomendasi untuk menyususn rencana strategis pengembangan pesantren pada masa yang akan datang.
Ketiga, kepemimpinan pesantren. Dalam menggapai keberhasilan pesantren peka zaman, dibutuhkan sosok pemimpin yang handal. Sehingga memiliki peran dan fungsi yang sangat potensial untuk menggerakan, menata, dan mengelola pesantren bersama para kiai atau ustadz yang lainnya, dengan asas saling bekerja sama dan saling bahu membahu untuk memanjukan pesantren.
Dengan kepemimpinan seperti itu, setidaknya dapat mengangkat citra, kualitas, dan gairah baru sebuah pesantren masa depan.
Zaman memang sudah berubah, para penghuninya pun sudah berubah. Akankah kita melihat lagi era keemasan, dimana pesantren yang telah mencetak para ulama sekelas Syekh Nawawi al-Bantany atau Syekh Yasin al-Fadany? Kita tunggu saja ledakan tradisi pemikiran intelektualisme pesantren di masa datang, tentunya harus dibarengi dengan kerja keras yang dahsyat. Mampuhkah itu?
Penulis adalah Ketua ISNU Kuningan, Kepala Seksi Penyelenggara Syariah Kemenag Kuningan, dan penulis beberapa buku yang diterbitkan secara nasional.