Opini

Mengapa Jokowi Tidak Pernah Hadiri Acara Ormas Islam?

Jumat, 28 November 2014 | 08:01 WIB

Oleh Muhammad Ibrahim Hamdani 

--Sejak dilantik sebagai Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) terkesan “dingin” terhadap berbagai aktivitas organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam di tanah air. Sang Presiden belum pernah sekalipun menghadiri acara-acara besar Ormas Islam di Indonesia.<>

Presiden selalu diwakili oleh Wakil Presiden (Wapres) Muhammad Jusuf Kalla (JK). Hal ini wajar karena hingga detik ini, Wapres JK masih menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI).

Padahal kehadiran fisik seorang presiden di acara-acara besar umat Islam bermakna sangat penting dalam menjalin komunikasi politik dengan masyarakat Muslim Indonesia. Apalagi, Indonesia adalah negeri bependuduk Muslim terbsar di dunia.

Jadi, kehadiran RI 2 saja tidak cukup di perhelatan besar ormas-ormas Islam. Misalnya, dalam acara tasyakkuran dan dzikir bersama di Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK), Ahad, 20 Oktober 2014. Acara itu turut mengundang Presiden Jokowi hanya satu hari pasca pelantikan Presiden Jokowi dan Wapres JK.

Namun, acara yang dihadiri berbagai tokoh nasional dan para pendukung Presiden Jokowi itu, ternyata hanya dihadiri oleh Wapres JK. Padahal, tokoh-tokoh nasional pendukung pasangan Jokowi-JK turut hadir. Beberapa tokoh itu seperti KH. Achmad Hasyim Muzadi, KH. Quroish Shihab, Nusron Wahid, Khofifah Indar Parawansa, Imam Addaruqutni dan lain-lain.

Hal yang sama terjadi ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperingati peringatan Tahun Baru Islam 1436 Hijriah, 26 Oktober 2014. Presiden Jokowi lagi-lagi tidak datang dan hanya diwakili Wapres JK.

Peringatan tahun baru Islam 1 Muharam 1436 Hijriah ini baru pertama kali diperingati MUI secara besar-besaran. Apalagi, acara berlangsung di Istana Olah Raga (Istora) Gelora Bung Karno. Bahkan, berbagai tokoh dan ulama nasional serta internasional turut hadir dalam perhelatan akbar ini. Acara ini juga terkait erat dengan rencana Presiden Jokowi menjadikan tahun baru Islam 1 Muharam sebagai Hari Santri Nasional.

Tentu publik bertanya-tanya, mengapa Presiden Jokowi tidak hadir dalam acara yang sangat penting penting ini. Padahal, secara politis, kehadiran Presiden dalam acara ini tentu sangat penting makna, peran dan simbolnya sebagai pemimpin eksekutif tertinggi di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Peristiwa serupa terjadi ketika terjadi perhelatan Konferensi Besar (Konbes) dan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di kantor PBNU, 1 - 2 November 2014.

Dalam perhelatan besar yang dihadiri para ulama dan pengurus NU se-Indonesia itu, Presiden Jokowi juga tidak hadir dan hanya diwakili oleh Wapres JK. Selain sebagai Wapres, JK juga hadir selaku anggota Syuriah PBNU. Padahal, Pejabat Rais A'am Syuriyah PBNU, KH. Ahmad Mustofa Bisri, dan Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj, hadir dalam acara itu.

Hal serupa terjadi saat acara peringatan Milad Muhamadiyah, 20 November 2014. Presiden Jokowi yang diundang dan diharapkan hadir ternyata juga tidak hadir dalam perhelatan besar PP Muhammadiyah itu.

Bahkan di depan peserta Milad, tanpa tedeng aling-aling Ketua Umum PP. Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin, mengungkapkan kekecewaannya kepada Presiden Jokowi meskipun tetap memakluminya. Apalagi, Din Syamsuddin juga merangkap Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI Pusat.

Pasalnya, Presiden Jokowi tidak hadir secara fisik dalama acara itu dan hanya diwakili oleh Wapres JK. Hal ini dapat dipahami karena istri Wapres JK, Mufidah Jusuf Kalla, dan almarhumah ibunda JK merupakan aktivis Muhamadiyah.

Sekali lagi, Wapres JK menjadi tandem (pengganti) Presiden Jokowi untuk menghadiri acara-acara besar umat Islam.

Ketidakhadiran Presiden Jokowi ini, boleh jadi bagian dari implementasi politik netral Presiden terhadap Ormas dan umat Islam. Dalam konteks ini, politik netral dapat diartikan sebagai dukungan implisit Presiden Jokowi terhadap ormas-ormas Islam di Indonesia. Jadi, Presiden merasa tidak perlu menunjukkanya secara eksplisit kepada publik?

 

Muhammad Ibrahim Hamdani, Asisten Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia, Anggota Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)


Terkait