Opini

Mengamputasi Kebijakan 5 Hari Sekolah (2)

Jumat, 30 Juni 2017 | 23:05 WIB

Mengamputasi Kebijakan 5 Hari Sekolah (2)

Foto: Ilustrasi

Oleh Suwendi
Atas dasar itu, terdapat sejumlah hal yang harus dilakukan untuk membendung Permendikbud 23/2017 dilaksaakan. Pertama, perlu ada desakan untuk pembatalan secara yuridis atas Permendikbud 23/2017 ini. Pembatalan ini harus dikukuhkan dengan sebuah keputusan yang bersifat regulatif, baik berupa Keputusan dan/atau Peraturan Presiden, atau setidak-tidaknya Permendikbud baru yang menganulir Permendikbud 23/2017. Sebab, Permendikbud hanya bisa dicabut oleh keputusan di atasnya atau setidak-tidaknya oleh keputusan dalam tingkat yang sama.

Sebaiknya, pembatalan ini harus diterbitkan sebelum dimulainya tahun ajaran baru, yakni tanggal 17 Juli 2017 mendatang. Jika telah terbit keputusan pembatalan secara yuridis ini, sesungguhnya tidak diperlukan lagi langkah-langkah berikutnya. Akan tetapi, jika tidak juga diterbitkan maka perlu dilakukan langkah berikutnya.

Kedua, mendesak kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota untuk tidak menerapkan kebijakan Permendikbud 23/2017. Kemendikbud hanya berada di tingkat pusat. Ia tidak memiliki layanan pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Layanan-layanan pendidikan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota merupakan otoritasnya Pemerintah Daerah.

Untuk itu, forum-forum semisal FKDT (Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah), FKPP (Forum Komunikasi Pondok Pesantren) atau RMI (Rabithah Ma’ahidil Islamiyah), LP-Maarif (Lembaga Pendidikan Ma’arif), FKPQ (Forum Komunikasi Pendidikan Al-Quran), dan forum-forum kekuatan civil society lainnya segera bergerak untuk mendialogkan dan meyakinkan Pemerintah Daerah melakukan penolakan atau setidak-tidaknya penangguhan atas berlakunya Permendikbud 23/2017 itu. Dalam konteks ini, kita patut mengapresiasi kepada Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur dan sejumlah Pemerintah Daerah lainnya yang telah mengeluarkan kebijakan penangguhan atas pelaksanaan Permendikbud 23/2017 ini.

Ketiga, melakukan judical review atas Permendikbud 23/2017. Judical review ini didasarkan atas ketidaksinkronan antara Permendikbud dengan sejumlah regulasi atasannya. Pertama, UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terutama pasal 51 yang menyatakan bahwa pengelolaan satuan pendidikan itu dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Manajemen berbasis sekolah/madrasah ini menegaskan bahwa proses pendidikan didasarkan atas otonomi pendidikan pada satuan pendidikan.

Dalam konteks ini, Permendikbud 23/2017 pasal 9 yang menyatakan bahwa bagi daerah-daerah tertentu yang belum siap atas kebijakan Permendikbud 23/2017 dapat dilakukan secara bertahap. Terminologi “bertahap” sama sekali berbeda maknanya dengan “boleh memilih”. “Bertahap” memiliki makna sebuah keharusan yang pada akhirnya benar-benar terpenuhi dan mesti dijalankan, bukan boleh atau tidak boleh dilakukan sebagaimana pengertian “boleh memilih”. Dalam hal ini, satuan pendidikan dipaksa harus mengikuti Permendikbud 23/2017, bukan atas dasar prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah lagi. Kedua, PP 19/2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2oo8 Tentang Guru, terutama Pasal 52 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Beban kerja Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memenuhi 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam I (satu) minggu”. Kebijakan 23/2017 itu memaksa guru untuk dapat memenuhi beban kerjanya di tingkat maksimal, yakni 40 jam tatap muka dalam satu pekan.

Ketiga, Keputusan Presiden  Nomor 68 Tahun 1995 tentang Hari Kerja di Lingkungan Lembaga Pemerintah. Pada Pasal 1 ayat (1) disebutkan “Hari kerja bagi seluruh lembaga Pemerintah Tingkat Pusat dan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya ditetapkan lima hari kerja mulai hari Senin sampai dengan hari Jumat”. Sementara Pasal (3) ayat (1) menyatakan “Dikecualikan dari ketentuan tentang hari dan jam kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah: [a]. Unit-unit di lingkungan lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang tugasnya bersifat pemberian pelayanan kepada masyarakat; [b] Lembaga Pendidikan mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP), dan Sekolah Lanjutan Atas (SLTA)”; Sementara di ayat (2) dinyatakan    bahwa “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah dengan koordinasi dan setelah mendapat persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara”.

Menurut hemat Penulis, pelaksanaan lima hari kerja tidak boleh diselenggarakan bagi unit lembaga pemerintah yang tugasnya bersifat pemberian layanan kepada masyarakat dan lembaga pendidikan mulai SD hingga SLTA. Untuk itu, Mendikbud, sebagai leading sector pendidikan, harus bisa memastikan agar dapat membuat aturan agar proses pendidikan di luar DKI Jakarta tidak berjalan selama 5 (lima) hari. Atas dasar UU 20/2003, PP 19/2017, dan Keppres 68/1995, dan bisa jadi dengan sejumlah regulasi lainnya, maka Permendikbud 23/2017 ini cacat demi hukum.

Keempat, penulis mendorong kepada Kementerian Agama untuk tidak ikut-ikutan melaksanakan Permendikbud 23/2017 di lingkungan pendidikan Madrasah (RA/MI/MTs/MA). Kementerian Agama memiliki otoritasnya sendiri dalam melakukan aturan atas layanan pendidikan madrasah, sekalipun sama-sama layanan pendidikan. Toh, Kementerian Agama tetap menerapkan kebijakan Kurikulum 2013, padahal Kemendikbud tidak memberlakukannya lagi. Kementerian Agama memiliki kemandirian dan otoritas dalam layanan pendidikan agama dan keagamaan, sebagaimana diatur oleh PP 55/2007. Di samping tidak memungkinkannya pelaksanaan 5HS untuk madrasah, karena beban kurikuler yang jauh lebih banyak dibanding sekolah, juga kebijakan 5HS berpotensi kuat akan mematikan layanan pendidikan keagamaan Islam, yang juga menjadi bagian dari tugas dan tanggung jawab Kementerian Agama.


Kelima, jika kekuatan secara soft-power telah dilaksanakan, seperti langkah pertama hingga keempat di atas, namun tidak juga berhasil, maka sebagai hak warga negara memungkinkan untuk seluruh komponen masyarakat pendidikan bergerak menyuarakan aspirasinya secara terbuka, dalam koridor hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Langkah ini perlu dikonsolidasi dan dimatangkan betul serta patut bergerak secara bersama-sama sehingga masyarakat luas mengetahui dengan kasat mata bahwa memang Permendikbud 23/2017 itu sangat problematis.

Demikian, semoga manfaat. (habis...)


*) Pengurus Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPP FKDT)


Terkait