Senin 17 Juli 2017 besok merupakan hari pertama masuk sekolah di seluruh peloksok negeri ini. Seluruh siswa baik pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar maupun pendidikan menengah kembali masuk sekolah untuk menimba ilmu pengetahuan. Tak terkecuali siswa lama, siswa baru pun pada masing-masing jenjang mulai beraktivitas belajar. Tetapi, di sebagian daerah akan diperoleh pengalaman yang berbeda, terutama pada beberapa daerah yang akan menerapkan kebijakan 5HS (Lima Hari Sekolah) pada layanan pendidikan sekolah (SD/SMP dan SMA/SMK), atas dasar Permendikbud 23/2017 tentang Hari Sekolah. Permendikbud ini berisi tentang penyelenggaraan 5HS, yakni sekolah selama 8 (delapan) sehari selama 5 (lima) hari dalam sepekan sehingga setidaknya 40 (empat puluh) jam aktivitas belajar di sekolah melalui kegiatan intra-kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra-kurikuler. Konon, Permendikbud ini didasarkan atas kepentingan untuk peningkatan pendidikan karakter siswa, di samping untuk memenuhi beban kerja guru.
Permendikbud 23/2017 ini telah menghabiskan energi seluruh komponen anak bangsa, mulai praktisi, pengamat, ulama, pimpinan ormas hingga pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini. Pro dan kontra di mana-mana. Hingga, tak tanggung-tanggung, Presiden RI pun telah turut serta mengambil bagian dari kebijakan ini. Permendikbud yang kurang aspiratif ini, baik pada proses penyusunan yang tidak banyak melibatkan Kementerian/Lembaga lain, lebih-lebih unsur masyarakat pendidikan keagamaan, maupun tidak dipedulikannya penolakan dari berbagai ormas dan lembaga, tampaknya akan “kekeh” dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai tahun ajaran baru 2017 ini. Tentu, ini merupakan sebuah kebijakan yang sama sekali tidak mencerminkan aspirasi banyak pihak. Sangat dipaksakan.
Jika pada pekan akhir Ramadan lalu, Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin yang didampingi Mendikbud, Muhadjir Effendy, di Istana Negara menyatakan bahwa akan dilakukan penataan regulasi atas Permendikbud ini dengan Peraturan Presiden, maka tampaknya itu tidak menyurutkan pemberlakuan kebijakan 5HS ini. Secara regulatif, Permendikbud 23/2017 tetap berlaku, sebab belum pernah ada pembatalan secara yuridis baik, misalnya, dengan adanya Permendikbud baru maupun Peraturan Presiden atau Keputusan lainnya yang menganulir Permendikbud 23/2017 tersebut. Pada posisi ini, tampaknya Mendikbud Muhadjir Effendy bersikeras dan belum ada tanda-tanda atau niatan untuk menerbitkan Permendikbud baru yang membatalkan Permendikbud 23/2017 ini, meski penolakan dari berbagai daerah, ormas, lembaga telah muncul di mana-mana. Sebagaimana diberitakan oleh beberapa media (semarak.news.com), hingga momentum silaturahmi di pondok pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang (27/6), Mendikbud ditengarai mengajak pimpinan pesantren dan lembaga pendi
dikan untuk mendukung kebijakan Permendikbud 23/2017 ini. Tetapi, pengasuh pesantren Denanyar KH Abdul Salam Shohib pun menolak kebijakan itu.
Berbagai pertimbangan atas penolakan Permendibud 23/2017 telah disampaikan dengan berbagai argumen dan alasan dari hal yang sangat fundamental hingga teknis-operasional. Tidak hanya faktor filosofi pendidikan dan kebijakan, tetapi juga pertimbangan faktor riil di lapangan dari berbagai daerah yang sangat tidak memungkinkannya penerapan kebijakan ini pun, telah disampaikan oleh khalayak. Sesungguhnya, penolakan ini bukan disebabkan karena Mendikbud Muhadjir Effendi itu merupakan kader Muhammadiyah sehingga NU atau ormas lainnya perlu menolak kebijakan ini. Sama sekali tidak. Akan tetapi, penolakan ini didasarkan atas implikasi kebijakan yang berdampak sangat luas bagi anak bangsa di negeri yang kita cintai ini, yang semestinya harus menjadi pertimbangan prinsip.
Gesekan waktu belajar siswa antara untuk sekolah dan layanan pendidikan keagamaan pun telah disampaikan secara terbuka, lengkap dengan data-data yang valid dan akurat. Penulis sendiri telah menyajikan sejumlah tulisan terkait ini, lengkap dengan data-datanya. Berdasarkan data EMIS Kementerian Agama RI, setidaknya ada 17.006.288 santri pada pendidikan keagamaan Islam yang akan terganggu dengan kebijakan Permendikbud ini. Mereka terdiri atas 3.649.396 santri pondok pesantren yang mengaji kitab kuning merangkap sebagai siswa pada sekolah (SD/SMP/SMA/SMK) dan madrasah (MI/MTs/MA); 6.000.062 santri pada Madrasah Diniyah Takmiliyah baik tingkat ula, wustha maupun ulya; dan 7.356.830 santri pada pendidikan Al-Quran (TKA, TPA, dan TQA). Pada aspek lembaga pendidikan keagamaan Islam, setidaknya ada 225.719 lembaga yang terkena imbas, yang terdiri atas 14.293 pondok pesantren yang menyelenggarakan kajian kitab kuning sekaligus melakukan layanan pendidikan sekolah (SD/SMP/SMA/SMK) dan madrasah (MI/MTs/MA); 76.566 Madras
ah Diniyah Takmiliyah baik tingkat ula, wustha maupun ulya; dan 134.860 pendidikan Al-Quran yang terdiri atas TKA (Taman Kanak-kanak Al Quran), TPA (Taman Pendidikan Al-Quran), dan TQA (Ta’limul Quran lil Awlad). Pada aspek pendidik pada layanan pendidikan keagamaan Islam setidaknya ada 1.386.426 orang, yang terdiri atas 322.328 pendidik pada pondok pesantren, 443.842 pendidik pada Madrasah Diniyah Takmiliyah baik tingkat ula, wustha maupun ulya; dan 620.256 pendidik pada pendidikan Al Quran yang terdiri atas TKA, TPA, dan TQA (Ta’limul Quran lil Awlad).
Demikian juga, kebijakan Permendikbud itu sangat mengganggu atas penyelenggaraan pendidikan umum berciri khas Islam, yakni Raudlatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Setidaknya terdapat 77.336 lembaga madrasah (RA: 27.999, MI: 24.560, MTs: 16.934 dan MA: 7.843), 820.839 guru madrasah (RA: 48.596, MI: 269.460, MTs: 265.784, MA: 236.999), dan 9.252.437 siswa madrasah (RA: 1.231.101, MI: 3.565.875, MTs: 3.160.685, dan MA: 1.294.776). Semua itu akan terkena dampak kontraproduktif atas kebijakan Permendikbud 23/2017. Kini dalam durasi 6 (enam) hari belajar dalam satu minggu, dengan menggunakan kurikulum 2013 siswa MI kelas 5-6 belajarnya hingga pukul 13.00; siswa MTs belajar hingga pukul 14.30; dan siswa MA belajar hingga pukul 17.00. Bahkan, siswa MA dengan peminatan keagamaan berada di madrasah hingga pukul 18.00-19.00. Pendidikan umum berciri khas Islam (RA, MI, MTs, MA) ini di samping menyelesaikan beban kurikulum mata-mata pelajaran pendidikan umum seb
agaimana sekolah, juga mengajarkan 5 (lima) mata pelajaran agama sebagai pengembangan ciri khas agama Islam, yakni Alquran-Hadits, Akidah-Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab. Jika layanan pendidikan madrasah ini diwajibkan dengan mengikuti kebijakan Permendikbud 23/2017, maka siswa yang mengikuti pendidikan madrasah ini akan semakin larut dan sama sekali tidak akan efektif.
Sebenarnya, menurut hemat penulis, ketidaksetujuan atas Permendikbud itu sama sekali bukan terkait dengan gagasan besar penguatan pendidikan karakter. Semua masyarakat menyetujui pendidikan karakter itu. Akan tetapi, masyarakat menolak atas kebijakan 5HS, karena itu bersinggungan dengan layanan pendidikan lain serta berbagai pertimbangan lainnya. Oleh karenanya, kebijakan 5HS itu tidak identik dengan isu Pendidikan Karakter; dan pendidikan karakter tidak mesti harus diselenggarakan dengan kebijakan 5HS. Menolak kebijakan 5HS bukan berarti menolak kebijakan pendidikan karakter. Demikian juga, menerima kebijakan pendidikan karakter bukan berarti menerima kebijakan 5HS. (bersambung…)
*) Pengurus Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPP FKDT)