Opini

Meng-Indonesiakan Manusia Indonesia

Kamis, 24 Agustus 2017 | 00:09 WIB

Meng-Indonesiakan Manusia Indonesia

Ilustrasi (foto: kompas)

Oleh Aswab Mahasin

Keanekaragaaman (pluralisme) budaya dan agama dalam sebuah bangsa adalah hal yang niscaya, khususnya di Indonesia. Akan tetapi, itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan dibanyak tempat juga. Hidup bersama menjadi bentuk alamiah, kondisi tersebut tidak diciptakan oleh manusia atau siapapun. Pluaralisme adalah “takdir pasti” dari Tuhan. Manusia tidak bisa merencakan perbedaan budaya dan agama, manusia hanya mampu merencakan perbedaan berpikir. Gaya berpikir juga seringkali dipengaruhi oleh identitas pribadi masing-masing.
 
Kecanggihan manusia mampu memahami hidup bersama, dan banyak dari mereka bisa menghormati satu sama lain, walaupun mereka berbeda agama dan budayanya. Hanya saja, perubahan zaman membentuk kondisi baru. Kondisi yang membuat manusia serasa tidak punya daya nalar yang baik (baca: Pemaknaan). Sehingga banyak dari mereka kehilangan arah makna hidup bersama. Nila-nilai kebersamaan serasa luntur oleh segala perkembangan yang ada, perkembangan tekhnologi, perkembangan berpikir, dan perkembangan berbagai aspek. 

Arus globalisasi ini menggusur pola nilai manusia untuk hidup secara individu saja. Yang nampak sekarang, manusia kehilangan nilai (dimensi) kemanusiannnya. Situasi tersebut membuat manusia tidak mentaati hukum yang berlaku, entah itu hukum Negara, hukum budaya, atau pun hukum agama. Aturan-aturan hanya dianggap sebagai jalur kusut yang tak punya makna.

Persoalan ini merupakan salah satu penyebab utama dari terjadinya berbagai katastropi sosial mengerikan. Di tingkat antar bangsa misalnya, Israel dengan Palestina, Amerika dengan Irak, Rusia dengan Checnya, serta Bosnia dengan Serbia, terus berperang untuk saling meniadakan, mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari kalangan sipil yang tak berdosa. Di tingkat Nasional (Indonesia) kasus Syiah di Madura, Ahmadiyah, serangan bom bali, Perang di Ambon, dan masih banyak lainnya.

Berbagai kenyataan pahit itu terlihat bahwa secara keseluruhan kita belum bisa belajar tentang bagaimana cara hidup bersama secara rukun. Kita telah kehilangan makna yang sesungguhnya dari pluralisme, sebab dalam tataran sosial ini “toleransi” saja tidak cukup untuk menjadi baik dengan sesama—kalau kita masih tetap ngegerutu. Jika terus berlarut-larut, Indonesia akan kehilangan harmonisasi sosial, tidak berhenti sampai di situ, sudah pasti disorganisasi dan disintegrasi pun akan menjadi tontonan yang nyata. 

Menyitir pendapat dari Marthin Luther King Jr., “Meskpiun secara fisik kita telah mampu tinggal bersama dalam masyarakat majemuk, namun secara sosiocultural-spiritual kita belum memahami makna sesungguhnya dari hidup bersama dengan orang yang memiliki perbedaan budaya, tingkat sosial, dan agama, yang antara lain mencakup perbedaan etnisitas”. (Yahyah Khisbiyah, Sebuah Pengantar, dalam buku “Pendidikan Apreasiasi Seni Untuk Pluralisme: Merayakan Keanekaragam Budaya Nusantarsa”)

Pendidikan pluralisme 

Menyadari pentingnya eksistensi pluralisme di tengah masyarakat Indonesia yang beragam, sejatinya pluralisme harus dilihat sebagai ekspresi politik persahabatan (politic of friendship), bukan sebagai persaingan sosial. Kadangkala konflik muncul disebabkan egosentris dari setiap kelompok. Yang mana setiap kelompok merasa memegang kebenarannya masing-masing. Apalagi Indonesia sebagai kesatuan regional memang mencakup suatu kompleksitas yang terdiri dari komunitas-komunitas etnik, di dalamnya memuat satuan-satuan kultural yang komprehensif meliputi unsur linguistik, sistem kekerabatan, hukum adat, foklor, adat istiadat, sistem kepercayaan, dan sebagainya.

Perbedaan itu, sebenarnya sudah terbungkus dalam satu konsep “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetap satu jua)—Yaitu sebuah prinsip nasionalisme yang berpacu pada kesatuan atau unity. Prinsip kesatuan seharusnya dengan sadar dan tulus berlaku toleransi dan apresiasi terhadap setiap perbedaan yang ada, terutama dari kelompok-kelompok lain yang dicerminkan melalui pandangan dan gaya hidup yang berbeda dengan kita (mungkin kita bisa berkaca pada sejarah sumpah pemuda). Sumpah itu menghantarkan bangsa Indonesia dalam gerbang perdamaian dan persatuan seluruh pemuda Indonesia. Mereka bersama-sama melantunkan ikrar untuk menyatakan bahwa kami adalah Indonesia yang satu, walaupun secara etnisitas mereka berbeda.

Secara struktural, sistem politik yang diskriminatif di banyak Negara, termasuk di Indonesia, telah mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan golongan etnis, agama, dan atau kelas sosialnya, lalu menyalahkan api konflik dan perang di antara berbagai kelompok tersebut. Secara kultural, agen-agen sosialisasi utama seperti keluarga dan lembaga pendidikan tampaknya tidak berhasil menanamkan sikap toleran-inklusif, gagal menumbuhkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai (nonviolent conflict resolution), dan tidak mampu mengajarkan hidup bersama secara harmonis dalam masyarakat plural. (Brewer, 1999; Coleman, 1966; Allport, 1954). 

Hal yang sama terjadi pada prasangka etnis yang mempunyai interplay. Pelajaran sejarah, IPS, dan PPKN yang mengacu pada kurikulum yang etnosentris juga turut memperkuat anggapan kaprah bahwa budaya “kami” adalah adiluhung dan mulia, sedangkan budaya “mereka” lebih rendah atau dekaden.

Sikap semacam ini tidak menyentuh pada makna pluralitas yang sesungguhnya. Semestinya, sistem pendidikan harus mengedepankan sikap moral yang objektif, tidak memberikan pengajaran yang sinis bagi para pelajarnya. Kesalahan dari pendidikan di Indonesia tidak lain lebih mengedepankan perkembangan intelektualitas saja, tidak mementingkan lagi perkembangan emosional, perkembangan spiritual yang cerdas, dan perkembangan sosial yang cerdas (Segala sesuatunya diukur dari tingkatan nilai). 

Seharusnya, dalam sebuah ruang lingkup pendidikan—selain cerdas intelektual, selain cerdas spiritual, harus didukung dengan kecerdesan-kecerdasan lainnya. Keseimbangan mental menjadi tolok ukur suksesnya sebuah pendidikan. Karena pengetahuan saja tidak cukup untuk membuat orang menjadi baik, dan agama juga tidak cukup membuat orang bisa sadar sosial. Dalam ranah sosial ada hukum pergaulannya sendiri. 

Ketika pendidikan mengedepankan empat bentuk kecerdasaan (cerdas intelektual, cerdas spiritual, cerdas sosial, dan cerdas emosional) tidak menutup kemungkinan makna pluralitas akan lebih dihayati oleh kebanyakan orang. Memang, Indonesia tidak menganut faham relativisme moral, tapi sistem pendidikan seperti ini tidak menutup kemungkinan semuanya akan terjadi. Pada akhirnya, setiap orang/kelompok akan memegang kebenarannya masing-masing. Di sinilah akan terjadi kehancuran sosial, orang tidak akan lagi menghormati perbedaan.

Titik temu perbedaan

Ketika perbedaan tidak lagi dihormati, otomatis konflik akan lahir sebelum takdirnya. Tidak sedikit yang menuding penyebab utama terjadinya konflik sosial itu diawali dari arogansi keyakinan, agama dituding sebagai dalang. Di Indonesia sering kali nampak dipermukaan sentimen-sentimen keagamaan yang berujung pada permusuhan. Seperti: penyerangan markas ahmadiyah, penghancuran makam Ndoro Purbo (keluarga Keraton Ngayogyakarto), pengeboman gereja-gereja, pengeboman di bali, dan sebagainya (contoh tersebut didasari atas suatu keyakinan tertentu). 

Di Indonesia, sudah mulai berkembang beberapa kelompok yang menyatakan, banyak budaya-budaya lokal yang dianggap menyimpang, dan harus dihancurkan rutinitasnya. Kondisi tersebut sedikit demi sedikit menggerus budaya-budaya Indonesia, anggapannya agama tidak bisa disandingkan dengan budaya. Sedangkan, pemahaman lebih luas—agama adalah bagian dari sebuah kebudayaan. Jadi bagaimana pun kita tidak bisa memisahkan agama dari rutinitas budaya—budaya bagian dari sejarah agama-agama.

Memang, tidak ada orang yang menyangkal apabila dikatakan bahwa konflik antaragama disebabkan karena bibit konflik itu memang sudah ada dalam gen manusia. Lebih masuk akal apabila konflik itu berakar pada kebudayaan pada umumnya dan tradisi lisan khususnya. Tradisi Perang Salib menonjolkan sikap pertentangan antara bangsa Eropa dan umat Islam di Timur Tengah dan daerah Magrib. Waktu bangsa Portugis muncul di kawasan Nusantara, mereka telah disambut dengan sikap bermusuhan. 

Konflik yang tak ada henti-hentinya di Irlandia Utara adalah pertentangan yang berakar pada permusuhan sejak abad ke-17. Permusuhan terus menerus disulut lewat tradisi lisan serta manifestasi kolektif berupa berbagai jenis demontrasi. Sudah sangat berakarlah rasa benci, prasangka, curiga, dan berbagai tindakan kekerasan. Salah satu usaha penyelesaiannya adalah “membangun kepercayaan” di antara golongan satu sama lain.

Bila kita amati gejolak-gejolak yang belum lama berselang meletus, pada umumnya dapat disimpulkan bahwa faktor agama bukan kausalitas pokok (kadang kala agama hanya dijadikan sebagai kedok untuk tindakan anarki dan penghancuran budaya). Tindakan-tindakan tersebut sering sekali berupa gerakan politik, kultural, dan ekonomi. 

Ada yang menggalangkannya sebagai bentuk gerakan protes (karena ketidakadilan), dan ada juga atas unsur kesengajaan untuk menghancurkan kerukunan bangsa (di mana pihak lain menunggangi kepentingan ini). Yang paling berbahaya adalah ketika provokator sudah bermain-main—pelaku provokasi sangat suka sekali memancing dalam air keruh. Pelaku ini bisa muncul dari kalangan manapun, terutama gerakan politik. Dalam hal ini, yang diperlukan hanya pemimpin yang mempunyai kebijaksanaan sejati, bukan pemimpin yang cuma mementingkan karir politiknya saja.

Apalagi budaya politik yang berkembang saat ini atau masa reformasi—adalah budaya politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan elit politik. Budaya seperti itu telah membuat struktur politik demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Walaupun struktur dan fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari era yang satu ke era selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya. 

Reformasi pada tahun 1998 telah memberikan sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan, namun kuatnya budaya politik patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih berkembang di kalangan elit politik dan penyelenggara pemerintahan sedikit menghambat laju perubahan budaya politik itu sendiri. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik, akan tetapi tidak diimbangi dengan para elit politik karena mereka masih memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga budaya politik yang berkembang cenderung merupakan budaya politik subjek-partisipan.

Ternyata reformasi masih belum cukup untuk mengembalikan mental bijak bangsa kita ini. Oleh karena itu, sepertinya gerakan nasional harus dibulatkan pada proses sosial-politik yang berorientasi kepada pembentukan Negara-kebangsaan yang merdeka, demokratis, serta berbentuk Negara kesatuan. Dengan demikian, sadar atau tidak, kaum protagonis nasionalisme telah menemukan modus yang tepat dalam beradaptasi dengan perkembangan tekhnologi khususnya dan modernisasi pada umumnya. Dua peristiwa penting dalam perkembangan kultur politik Indonesia ialah, pertama, seluruh pergerakan nasional merupakan manifestasi etos bangsa Indonesia yang menjiwai potensi bangsa memperjuangkan kemerdekaannya. Kedua, dengan manifesto politik tahun 1925, perhimpunan Indonesia berhasil mendeklarasikan konsep Negara-nasion seperti apa yang terwujud sekarang ini, Republik Indonesia. (Sartono Kartodirdjo, “Multi-Dimensi Pembangunan Bangsa: Etos Nasionalisme dan Negara Kesatuan”, (Yogyakarta: Kanisius, hlm. 84-85)

Intinya, baik pluralisasi tradisional maupun pluralisasi modern dapat diimbangi oleh ideologi nasionalisme lewat revolusi integratif. Proses melembagakan nasionalisme telah menciptakan Negara-nasion. Implikasi logisnya ialah bahwa Negara-kebangsaan itu perlu dipertahankan dan diusahakan kesinambungannya, tidak hanya dengan nasionalisme selaku etos kehidupan bangsa Indonesia. Ini berarti bahwa kebudyaan nasion perlu melandasi modernisasi kehidupan bangsa lebih lanjut, yang selanjutnya baik fisik maupun sosial—perlu dijiwai oleh ideologi kebangsaan. 

Tidak berhenti sampai di situ, permasahalan di Indonesia bukan hanya permasalahan sosial (konflik) atau politik saja. Melainkan masih banyak lagi permasalah yang lebih kompleks, seperti: benturan budaya, bergesernya bahasa Indonesia yang baik dan benar, media sebagai sumber adu domba bangsa, degradasi kesenian nusantara, pendidikan yang tidak humanistis (baca: Full Day School), dan sebagainya.

Dari wacana di atas bisa ditarik kesimpulan, Indonesia sudah kehilangan ke Indonesiaannya. Dimensi kemanusiaan di Indonesia secara sosiocultural-spiritual sudah luntur oleh hempasan kebencian. Maka dari itu, mengIndonesiakan Indonesia menjadi wacana utama dan agenda terpenting untuk mengembalikaan “Indonesia kita”, supaya Indonesia kembali kepada identitas kebhinekaannya. “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.

Penulis adalah Pimpinan Pusat Kajian Alam Darul Insan, Yogyakarta.


Terkait