Setahun silam, sepanjang tahun 2012 rasanya pantas jika dianggap sebagai tahun kenestapaan sekaligus raport merah bagi kehidupan berbangsa dan beragama Indonesia.
<>
Betapa tidak, berbagai insiden kekerasan dan intoleransi yang berujung pada radikalisme dan terorisme mewabah dimana-mana. Belum lagi berbagai polemik sosial-politik-ekonomi lain; korupsi, kapitalisasi, eksploitasi, dan bentuk tindak destruktif lainnya seakan menambah suram wajah kebangsaan Indonesia.
The Wahid Institute misalnya, dalam laporan akhir tahunannya menyebutkan bahwa wajah kekerasan dan intoleransi dalam kehidupan berbangsa dan beragama di Indonesia semakin tinggi. The Wahid Institute mencatat, telah terjadi 274 kasus pelanggaran sepanjang tahun 2012 jauh melesat ketimbang tahun 2011 yang hanya mencapai 184 kasus, dengan rincian; pelanggaran dengan bentuk pembiaran atau kelalaian dari aparat terjadi 33 kasus, pelarangan rumah ibadah terjadi 26 kasus, pelarangan aktivitas keagamaan terjadi 18 kasus, kriminalisasi keyakinan terjadi 17 kasus, pemaksaan keyakinan terjadi 12 kasus, intimidasi terjadi 4 kasus, dan lain-lain.
Dan yang paling menyakitkan adalah bahwa Jawa Barat merupakan provinsi yang mendapat ranking pertama sebagai provinsi yang paling banyak melakukan kasus pelanggaran yakni sebanyak 43 kasus, capaian angka yang fantastis ketimbang provinsi lain seperti Aceh 22 kasus, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebanyak 15 kasus. Fakta ini adalah cambuk pedas bagi kita semua, bangsa Indonesia, untuk dapat meneguhkan kembali visi kebangsaan sebagai bangsa yang ber-bhineka tunggal ika, berbeda tetapi tetap satu, yang kini semakin tercerai-berai.
Sementara itu, kalau kita telusuri terma bangsa sebagai akar kata dari kebangsaan dalam bahasa Arab sepadan dengan kata qaum, syu’ub, dan ummat. Oleh sebab itu, makna bangsa setidaknya akan mengarah kepada beberapa pengertian berikut ini. Pertama, bangsa (umat) dengan pengertian sebagai individu semata, lihat misalnya ayat dalam QS. An-Nahl [16]: 120. Kedua, bangsa dengan pengertian hanya sebatas kelompok umat Muslim belaka, lihat misalnya ayat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 143. Ketiga, bangsa dengan pengertian seluruh jenis komunitas manusia, lihat misalnya ayat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 213. Dan keempat, bangsa dengan pengertian seluruh makhluk di dunia, lihat misalnya ayat dalam QS. al-An’am [6]: 38.
Dari berbagai pengertian bangsa di atas, ini menunjukkan bahwa kebangsaan itu pada hakikatnya adalah ragam komunitas manusia dan segala isinya di dunia. Kalau kita runut rekam jejak historisnya, kehidupan di dunia ini bermula dari Adam sebagai manusia pertama. Oleh sebab itu sebetulnya awal mula manusia itu satu umat, satu bangsa, satu garis keturunan yakni dari Adam. Tetapi memang pada akhirnya perselisihan tetap tak terhindarkan. Perselisihan pun jika dirunut, masih berkisar pada saat Adam hidup yakni ketika terjadi perselisihan di antara anaknya Qabil dan Habil. Perselisihan itu terus berkembang seiring dinamika zaman dengan banyak modus yang mengemuka, mulai dari egosentrisme, eksklusivisme, fanatisme, sampai pada otoritarianisme.
Dari sejarah lama umat manusia itulah, kalau kita sinergikan dengan kelahiran Nahdlatul Ulama—selanjutnya NU—akan begitu terasa nyata, bahwa NU begitu andil dalam menjaga keterutuhan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Ini bisa kita lacak dari embrio berdirinya NU, dimulai dengan munculnya komunitas kajian pencerahan “Tashwirul Afkar” (1914), yang kemudian bermetamorfosis menjadi komunitas yang semakin peduli akan kebangkitan bangsa “Nahdlatul Wathan” (1916), lalu lebih fokus kepada nasib para pedagang rakyat jelata “Nahdlatut Tujjar” (1918), sampai pada berdiri kokohnya Nahdlatul Ulama (1926) adalah bukti adanya dinamika dan kepedulian tinggi para Kiai, santri, dan rakyat jelata akan kebangkitan Indonesia, menuju Indonesia yang berdaulat dan berkeadilan.
Dalam skala internasional, NU juga telah memberikan andil sebagai ormas Islam paling berpengaruh. NU sebagaimana sejarah mencatat, adalah ormas yang memiliki daya kritisisme tinggi terhadap kebijakan penguasa Jazirah Arab, Ibn Sa’ud, saat itu yang berfaham Wahabi dan hendak melarang aktivitas bermazhab ala empat imam (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali). Berkat NU-lah sampai hari ini kebebasan bermazhab itu masih terbuka.
Tak hanya itu, andil NU dalam skala nasional, ini dibuktikan dengan senantiasa istiqamah berpijak kepada empat pilar kebangsaan; UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Dan NU—melalui alm. KH. Wahid Hasyim—adalah salah satu pemrakarsa disusunnya landasan idiil Pancasila. Bukti lainnya adalah ketika Muktamar NU pada tahun 1935 di Banjarmasin yang memutuskan bahwa sungguhpun berada di bawah kekuasaan Pemerintah Belanda, NU tetap komitmen menganggap bahwa Indonesia saat itu adalah Dar al-Salam bukan Dar al-Harb, sehingga konsekuensinya adalah seluruh masyarakat Indonesia wajib mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa.
Tentu saja keputusan ini bukan tanpa pikir yang mendalam, para Kiai dari pesantren tahu betul bahwa persatuan dan kesatuan lebih utama dari apapun, apalagi hanya soal formalisme Islam dalam konteks hubungan negara dan agama. Menyikapi hal itu, Gus Dur (alm. KH. Abdurrahman Wahid) memberikan dua alasan. Sebab pertama, karena kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam, di samping sebab kedua, karena dahulu di kawasan tersebut telah ada Kerajaan Islam. Jawaban kedua itu, diambilkan dari karya hukum agama di masa lampau, berjudul "Bughyah al-Mustarsyidin".
Membincangkan pola hubungan negara dan agama, menarik apa yang dikonsepsikan oleh Philip Buckley dari McGill University, ia menyebut ada tiga model di dunia dalam hal hubungan negara dan agama. Pertama, model Perancis. Di sana perihal memilih agama dan keyakinan sangat dilindungi dan dijunjung tinggi, tetapi di saat yang sama melarang pemunculan simbol-simbol agama di ruang publik, seperti pemakaian salib ala Nasrani, kopiah ala Yahudi, ataupun jilbab ala Muslimah. Kedua, model Kanada. Negara ini mencantumkan nama Tuhan dalam konstitusinya, namun kebebasan beragama tetap menjadi prioritas terutama pemenuhan hak bagi kaum minoritas. Dan ketiga, model Amerika Serikat. Di negara ini menitik-tekankan adanya pemisahan agama dan negara, sementara untuk urusan agama diserahkan pada civil society.
Lalu pertanyaannya adalah, termasuk model manakah Indonesia? Saya tidak hendak menjustifikasi Indonesia pada model tertentu, namun yang jelas—meminjam istilah Philip Buckley—menyebut Indonesia sebagai constitusional monoteism. Sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memberikan keleluasaan kepada warganya untuk memilih ragam agama dan keyakinan, meskipun tetap menolak penerapan syariat Islam secara legal-formal. Mungkin inilah maksud dari H. A. R. Gibb ketika menyebut Islam sebagai “not only religion, but a complet civilization” dalam kesatuan.
Akhirnya, saya ingin menutup tulisan sederhana ini dengan mengutip pandangan KH. Said Aqiel Siradj—Ketua Umum PBNU—bahwa kebangsaan Indonesia merupakan anugerah Tuhan yang harus disyukuri dan dibina. Mengingkari Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah panji luhur Pancasila dan UUD 1945 sama halnya mencampakkan pesan-pesan yang telah diwariskan Nabi Saw. Inilah keteguhan NU terhadap visi kebangsaan. Selamat harlah yang ke 87 (31 Januari 1926-31 Januari 2013) untuk Nahdlatul Ulama, semoga semakin teguh dan berkah!
*Penulis adalah Nahdliyin dan Ketua LP3M STID Al-Biruni Cirebon