Opini

Meneguhkan Peran IPNU sebagai Peredam Anarkisme

Kamis, 22 Agustus 2013 | 05:45 WIB

Permasalahan Pendidikan di Indonesia

Jika melihat dunia pendidikan, seharusnya seorang pelajar atau akademisi memiliki nilai-nilai luhur yang termanifestasikan di dalam perilaku dan sikapnya. Pelajar inilah yang kemudian membedakannya dengan kalangan atau lapisan masyarakat yang lain serta memiliki nilai prestise tersendiri.
<>
Ditambah lagi dengan kondisi masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang religius, dengan ditandai mayoritas beragama Islam, seharusnya lebih tidak pantas lagi ketika seorang pelajar yang merupakan bagian dari masyarakat yang religius menyelesaikan masalah dengan proses perkelahian dan kekerasan. Lebih ironis lagi, kualitas pendidikan di Indonesia juga tidak meningkat secara signifikan dan masih banyaknya masalah pelajar di Indonesia selain kekerasan, seperti pergaulan bebas, narkoba, dan tindak kriminal lain.

Jika demikian, berarti ada banyak pekerjaan rumah untuk dunia pendidikan di Indonesia secara khusus dan masyarakat Indonesia secara luas, yang tidak hanya melibatkan sistem pendidikan itu sendiri, tetapi juga melibatkan banyak hal, misalkan pola pengajaran, kandungan nilai dan moral, dan internalisasi nilai dan moral itu sendiri. Bisa saja ada berbagai kelemahan di dunia pendidikan di Indonesia ini terkait berbagai hal tersebut.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius. Kebebasan beragama dipandang sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) dan hak asasi yang paling asasi. Hak beragama juga diatur dalam undang-undang dan hukum. Selain itu, tercatat bahwa mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, yang notabene adalah agama yang damai dan menjamin keselamatan.

Begitu pula di dunia pendidikan, agama diberi kedudukan yang tinggi. Buktinya, adanya kewajiban berdoa sebelum dan sesudah melaksanakan proses belajar dan mengajar, adanya organisasi kerohanian, adanya pelajaran agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum, dan sebagainya. Bukti lain bahwa banyak sekali terdapat berbagai organisasi kepemudaan dan pelajar (OKP) di Indonesia yang merupakan perlebaran sayap dari beberapa organisasi kemasyarakatan Islam. Hal ini mestinya sudah cukup untuk menangkal adanya probabilitas perilaku pelajar yang merusak.

Meskipun demikian, desain pendidikan di atas akan menjadi sebuah omong kosong belaka jika tidak ditunjang dengan beberapa hal, salah satunya proses internalisasi nilai dan moral keagamaan. Semakin hari, semakin banyak pelajar yang semakin tergerus nilai keagamaannya. Di jaman yang penuh tantangan ini, banyak pelajar yang semakin memandang remeh agama dan moral. Sehingga, desain adanya pendidikan moral dan pendidikan agama di sekolah saja, tidak akan cukup untuk menangkal bahaya polusi di dunia pendidikan. Harus ada desain yang lebih efektif, yaitu dengan cara internalisasi moral dan nilai keagamaan. Banyak proses belajar mengajar yang kurang di dalam internalisasi nilai tersebut. Akibatnya, pelajaran agama dan pelajaran moral hanya sebatas kurikulum belaka, bukan sebagai proses internalisasi nilai yang seharusnya mampu mencetak pelajar yang bermoral dan berkarakter.

Peran IPNU Menghadapi Anarkisme Pendidikan

IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul ‘Ulama) memiliki tugas dan peran besar di dalam problem solving terkait permasalahan pelajar, seperti tawuran dan kekerasan atau anarkisme tersebut. Peran IPNU adalah sebagai internalisator nilai atau penanam nilai. IPNU tentu saja memiliki nilai-nilai luhur karena lahir dari organisasi Islam Nahdlatul Ulama yang berasaskan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, dimana Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dikenal sebagai firqah Islam yang mampu menampilkan Islam yang sebenarnya, yaitu salah satunya bersifat moderat. IPNU dapat menjalankan perannya dengan berbagai banyak kegiatan, misalkan role play kegiatan keagamaan, pendampingan keagamaan, seminar, berdakwah, mendekatkan pelajar dengan tokoh-tokoh sejarah Islam (Nabi), dan sebagainya. Ada beberpa hal yang harus diperhatikan oleh IPNU di dalam proses internalisasi nilai keagamaan.

Proses internalisasi nilai sebaiknya disesuaikan dengan kondisi pelajar, apakah masih termasuk anak-anak, remaja, atau sudah dewasa. Karena di setiap fase perkembangan hidup manusia, manusia memiliki pola berpikir yang berbeda-beda yang mengakibatkan pada perbedaan internalisasi nilai ini. Bagaimana harus menginternalisasi nilai pada anak-anak, berbeda dengan bagaimana harus menginternalisasi nilai pada remaja dan dewasa.

Satu hal lagi yang juga harus diperhatikan adalah bahwa proses internalisasi nilai moral dan keagamaan ini harus berlangsung secara kontinyu dan berkesinambungan. Artinya jangan sampai terputus pada salah satu fase, atau bahkan berhenti di tempat. Karena jika berhenti di salah satu fase kehidupan manusia atau bahkan berhenti di tempat, maka proses kognisi, afeksi, dan psimotor seorang pelajar akan hampa dari nilai moral dan keagamaan ini. Selain itu, kondisi ini juga berkaitan dengan proses kondisioning atau pembiasaan dengan desain dan time schedule yang disesuaikan, sehingga jika proses kondisioning ini berhenti di tengah jalan padahal belum cukup di dalam proses pembentukan kepribadian dan internalisasi moral dan nilai keagamaan, maka hasil yang diharapkan akan tidak terjadi. Kondisi ini menuntut adanya kontinuitas dan konsistensi peran dalam IPNU sebagai penanam nilai. Artinya, peran ini tidak akan pernah selesai dijalankan oleh IPNU. 

Proses internalisasi nilai juga seharusnya tidak hanya menyentuh ranah kognisi saja, tetapi juga ranah afeksi sehingga dapat termanifestasikan ke dalam ranah psikomotor dengan baik. Pada saat ini, banyak desain yang hanya menyentuh ranah kognisi atau pengetahuan saja ketika proses belajar mengajar berlangsung, terutama pelajaran moral dan keagamaan. Banyak pelajar yang bisa menyebutkan tentang akhlaq terpuji dan tercela, tetapi mereka tidak diperintahkan untuk memahami makna di balik akhlaq terpuji dan tercela tersebut. Banyak pelajar yang paham tentang kewajibannya sebagai manusia beragama, tetapi mereka tidak dituntun untuk menemukan apa makna di balik itu semua. Banyak pelajar yang paham akan rukun shalat, puasa, zakat, tetapi tidak dibimbing untuk memahami makna tentang berbagai ibadah tersebut. Pemahaman makna saja juga tidak seharusnya hanya bersifat pengetahuan saja. Misalkan, banyak siswa yang paham tentang manfaat shalat, yaitu mencegah perbuatan keji dan munkar. Tetapi mereka hanya sebatas menyerap secara kognisi saja.

Desain lain yang diperlukan di dalam proses internalisasi nilai moral dan keagamaan adalah bimbingan implementasi dari pemahaman makna tentang setiap nilai moral dan keagamaan. Contoh salah satunya adalah pelajar dibimbing untuk melaksanakan shalat yang khusyu’, dibimbing di dalam kegiatan keagamaan lain, seperti pengajian, membaca Al Quran, melaksanakan zakat dan qurban. Banyak pelajar yang sampai sekarang masih melakukan kegiatan kerohanian tersebut, tetapi bisa saja bimbingan dari guru atau pengajar di dalam proses implementasi ini kurang intensif yang kemudian membuat pelajar hanya mengikutinya sebagai kegiatan rutin saja tanpa pemaknaan. Maka dari itu, IPNU harus mampu membimbing kegiatan-kegiatan keagamaan tersebut dan mampu mentransfer nilai-nilai moral yang terdapat di dalam setiap kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh pelajar tersebut. Konsekuensinya, IPNU harus mampu menemukan desain yang tepat di dalam proses internalisasi makna ibadah dan transfer nilai dan moral tersebut.

Seharusnya ada desain di setiap pengajaran dan proses internalisasi nilai sehingga pelajar dibimbing secara beruntun untuk memahami manfaat shalat, mengapa shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, shalat yang bagaimana yang dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, bagaimana caranya di dalam mengimplementasikan shalat yang dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Karena ada juga shalat yang tidak dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Bukan soal shalatnya yang tidak dapat memberi manfaat itu, tetapi persoalan terletak pada desain di dalam melaksanakan shalat tersebut, termasuk salah satunya adalah penghayatan makna tentang shalat itu sendiri.

Contoh lain, banyak pelajar yang paham tentang kewajibannya sebagai pelajar Islam, tetapi tidak banyak dari mereka yang paham apa makna Islam itu sebenarnya, bagaimana Islam diturunkan secara damai dan menjamin keselamatan karena Islam bermakna selamat, mengapa terjadi kekerasan dan pertumpahan darah di dalam sejarah turunnya Islam yang sebenarnya bukan desain yang dirancang secara sengaja untuk menyebarkan Islam dan juga bukan solusi utama dalam proses penyebaran Islam.  Inilah peran IPNU yang lain, yaitu selain sebagai penanam nilai, tetapi juga harus mampu memberikan pemahaman nilai dan moral dalam tataran afeksi dan psikomotor, bukan hanya kognisi. Konsekuensinya adalah IPNU harus mampu merekayasa desain penanaman nilai dan moral tersebut sehingga bisa tepat sasaran, yaitu di ranah kognisi, afeksi, dan psikomotor.

Kaitannya dengan religiusitas, IPNU harus mampu mencetak pelajar yang tidak hanya memenuhi aspek religious knowledge (dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab suci) saja, tetapi juga religious practice (tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya, seperti shalat, puasa, zakat, haji, mengaji), religious feeling (perasaan-perasaan atau pengalaman yang pernah dialami dan dirasakan, misalnya merasa tawakkal, merasa Tuhan selalu melihat perbuatannya, perasaan khusyu’ ketika beribadah), religious belief (atau disebut juga dimensi keyakinan adalah tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, misalnya kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, surga dan neraka), religious effect (sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan sosial, misalnya apakah ia mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan hartanya, dan sebagainya), dan community dimension (terlibat di dalam komunitas dan kehidupan sosial keagamaaan yaitu dengan sikap mengikuti kegiatan sosial, mengajar mengaji, mengikuti ta’mir masjid, turut serta di dalam organisasi keagamaan, dan sebagainya).

Pengaruh media juga harus dikendalikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa media seperti televisi, lagu, gaya hidup, tren, mode, dan modernisasi berpengaruh besar dan kuat terhadap perkembangan sikap pelajar. Tidak banyak pelajar yang dapat memilah dan memilih acara televisi dan media. Tidak banyak pelajar yang memahami hikmah acara televisi. Kondisi inilah yang jelas perlu dikendalikan oleh berbagai pihak. IPNU harus mampu meneguhkan perannya di dalam media. IPNU harus mampu menyadarkan kepada para pelajar tentang manfaat dan madlarat dari media tersebut. IPNU juga harus dapat mengalihkan perhatian pelajar dari media kepada hal lain yang bermanfaat, misalkan dengan mengadakan kegiatan yang bermanfaat dan menyenangkan (seperti outbond). Selain itu, IPNU juga berperan sebagai wadah bagi para pelajar agar pelajar bersedia “menghabiskan waktunya” bersama IPNU sehingga tidak akan terpengaruh oleh media. IPNU juga dapat mengubah “standart gaul” yang salah yang banyak dipersepsi oleh para pelajar (misalkan, gaul itu kalau sering main, gaul itu kalau punya geng, gaul itu kalau berani berkelahi) dengan “standart gaul” yang baik.

Selain itu, IPNU harus melaksanakan reorientasi pelajar. Reorientasi pelajar juga perlu dipertegas kembali agar setiap pelajar benar-benar menyadari orientasinya, apakah pelajar hanya sebagai proses untuk menghasilkan manusia yang bekerja mendapatkan uang, ataukah pelajar merupakan proses untuk menghasilkan manusia cerdas tanpa nilai, ataukah pelajar merupakan proses untuk menghasilkan tidak hanya sebagai kaum terpelajar, tetapi juga manusia berkarakter dan bernilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan beragama. IPNU tidak hanya berperan sebagai organisasi pelajar saja, tetapi lebih dari itu. 

Menurut Caswiyono Rusydie Cw (2007), IPNU memiliki peran sebagai second school dan agenda pendidikan pembebasan. Artinya, IPNU dapat menjadi wadah belajar bagi pelajar selain sekolah di dalam mengembangkan keterampilannya sehingga mencetak generasi pelajar yang terampil dan akhirnya tidak berorientasi kerja sebagai “budak”, tetapi kerja secara mandiri dan bebas. Ketika seorang pelajar memahami sungguh-sungguh orientasinya sebagai pelajar adalah tidak sebagai manusia pekerja seperti budak, maka pelajar akan berusaha untuk menginternalisasikan nilai dan moralnya secara baik ke dalam kepribadiannya. Hal ini disebabkan karena pelajar akan menyadari bahwa yang dibutuhkan di dalam dunia kerja bukan hanya ilmu, tetapi juga keterampilan dan moral serta karakter karena setiap pekerjaan memerlukan itu semua. Pada akhirnya, pelajar akan menjadi manusia yang berkarakter dan bermoral yang mampu memberikan manfaat dan perannya terhadap masyarakat, agama, bangsa, dan negara.

Satu hal lagi yang tidak boleh ditinggalkan adalah pengajaran dan pengukuhan kembali mengenai budaya Indonesia yang tidak mengenal kekerasan tetapi kehidupan yang harmoni serta pengajaran mengenai tata krama dan etika pergaulan dan problem solving serta decision making ketika menghadapi permasalahan, baik permasalahan pribadi maupun permasalahan dengan orang lain dan lingkungan. Proses pembinaan dan pengembangan kepribadian dalam dunia pendidikan selayaknya dilaksanakan secara terprogram dan kontinyu karena pada hakekatnya pendidikan adalah sistem yang terprogram. IPNU lahir di Indonesia, sehingga tidak hanya menganut nilai-nilai Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah saja, tetapi juga menganut nilai-nilai budaya Indonesia yang dikenal santun dan tidak mengenal kekerasan. Orientasi nilai ini perlu diteguhkan kembali oleh IPNU. IPNU juga harus mampu memberikan pengarahan terhadap implementasi nilai-nilai tersebut.

Menurut Agus Yahya (2007), keberadaan IPNU sebagai sayap Nahdlatul ‘Ulama pada kalangan pelajar, memiliki tiga peran utama. Pertama, pengembang nilai-nilai. Tradisi yang dibangun adalah mengembangkan nilai-nilai yang kemudian mentransformasikan dan memformulasikan pemikiran pada persoalan yang melingkupinya, baik pada tataran ide maupun tataran realita. IPNU yang lahir dari rahim NU memiliki banyak nilai, terutama nilai-nilai dalam prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti tawasuth, tawazun, i’tidal, tasamuh. Nilai-nilai tersebut harus dapat dikembangkan dalam ranah permasalahan apapun sehingga nilai-nilai tersebut tidak bersifat rigid.

Kedua, penerapan nilai-nilai. IPNU harus dapat menerapkan nilai-nilai yang dianutnya dalam aktivitas kerja nyata. Setelah nilai-nilai yang dianut dapat dikembangkan sehingga bersifat fleksibel di setiap permasalahan yang ada, maka IPNU masih memiliki peran sebagai penerap nilai-nilai tersebut. Bagaimana nilai-nilai tasamuh (toleransi), tawasuth (jalan tengah), I’tidal (tegak lurus), dapat menyelesaikan permasalahan pelajar terkait anarkisme dan tawuran. Bagaimana seorang pelajar harus bersikap toleransi terhadap setiap orang. Bagaimana seorang pelajar harus bersikap adil dan tegak lurus dalam setiap persoalan. Bagaimana seorang pelajar harus bersikap mengambil jalan tengah dan dapat menyelesaikan permasalahannya dengan baik. Peran ini harus dapat dijalankan oleh IPNU.

Ketiga, pendukung nilai-nilai. Artinya adalah IPNU harus senantiasa berada dalam garda terdepan di dalam mendukung nilai-nilai yang dianut dan diterapkannya. Jangan sampai nilai-nilai yang sudah dianutnya dan diterapkan tersebut tidak didukung sendiri dan akhirnya punah. IPNU harus dihiasi oleh nilai-nilai yang dianutnya sendiri. IPNU hadir sebagai suri tauladan yang baik (uswatun hasanah) sehingga dapat menjadi role model di dalam setiap kehidupan pelajar, terutama kaitannya dengan proses problem solving dan decision making tanpa kekerasan dan tawuran.

IPNU lahir bukan tanpa tujuan, bukan tanpa visi, juga bukan tanpa cita-cita. IPNU lahir dengan tujuan yang pasti, visi dan misi yang terang, prinsip yang jelas, dan cita-cita yang mulia. Dengan banyaknya peran IPNU yang harus dijalankan di dalam meredam anarkisme pelajar (seperti tawuran, perkelahian, bentrokan, demonstrasi yang anarkis), maka IPNU harus memiliki jaringan yang luas demi terlaksanaknya peran tersebut. IPNU harus mampu melebarkan sayapnya selebar mungkin, sehingga IPNU ada di setiap wilayah dan daerah di Indonesia. IPNU juga harus mampu memetakan kondisi, permasalahan, potensi, dan kekurangan pelajar di setiap daerahnya sehingga mampu menyusun grand design  di dalam menjalankan perannya secara nyata. Wallâhu a’lam bish shawâb.

 


* Penulis adalah Ketua PC IPNU Kabupaten Klaten


Terkait