Menegaskan Kembali Kiprah NU Sebagai Ormas Terdepan Pembela Negara
Kamis, 15 Oktober 2015 | 06:11 WIB
Oleh Miftahul Arifin*
Kontroversi mengenai pelaksanaan program bela negara perlu mendapat perhatian serius dari seluruh elemen warga negara Indonesia, dalam hal ini pemerintah pusat yang diwakili oleh lembaga eksekutif dan legislatif dan masyarakat Indonesia secara umum. Wacana baru yang digagas oleh Kementerian Pertahanan itu akan menjadi problem baru di tengah-tengah sederet persoalan <>yang kini sedang membelenggu bangsa jika tidak ditelaah secara matang, setidaknya mengenai proses, sasaran dan target yang hendak dicapai.
Sebagai pemangku kebijakan, pemerintah perlu mengkaji ulang mengenai dampak positif dan negatif yang kemungkinan akan muncul sebelum kemudian merealisasikan atau tidak program bela negara. Sedangkan masyarakat berperan penting menyuarakan gagasan untuk kemudian menjadi bahan pertimbangan bagi pemangku kebijakan.
Secara ontologis kegelisahan Kementerian Pertahanan perlu mendapat apresiasi karena gagasan ini lahir atas dasar kepedulian terhadap bangsa dan tanah air Indonesia. Sudah mejadi tugas bangsa Indonesia untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari segala macam ancaman yang datang datang dari luar.
Sayangnya, kebijakan ini lahir setelah lebih dari setengah abad bangsa ini memprolamasikan kemerdekaan. Kini, pelatihan bela negara secara meliter telah tidak menemukan ruang untuk mengatasi ancaman yang berpotensi untuk merusak kedaulatan NKRI. Di abad 21 ini, bangsa Indonesia menghadapi tantangan baru yang sama sekali berbeda dengan era penjajahan secara fisik. Bangsa Indoensia sedang dijajah secara kultur yang dapat merusak ideologi dan mengancam Pancasila sebagai ideologi negara. Maka cara yang paling tepat untuk mengatasi ancaman ini ialah dengan penanaman ideologi negara secara masif, melalui lembaga pendidikan sebagai pintu utama membangun watak dan karakter bangsa.
Maka, menjadi wajar kemudian jika program bela negara dianggap tidak rasional dan tidak kontekstual seperti diungkapan Wakil Ketua Setara Institute Bonar. Beberapa kelompok atau tokoh masyarakat yang tidak sepakat dengan program bela negara, irrasionalitas menjadi pertimbangan utama selain tujuan yang dianggap tidak jelas.
Bonar menganggap, selain program tersebut tidak sesuai dengan mandat konstitusi yang mendorong untuk diintegrasikan dengan pendidikan, program bela negara akan menyedot anggaran negara sangat besar yang kemungkinan tidak akan tercukupi (http://www.zonalima.com, 13/10/2015). Dan alangkah lebih baik jika anggaran program ini dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih penting seperti pembangunan daerah tertinggal, bantuan untuk warga miskin, dan optimalisasi pengembangan pendidikan. Ribuan buruh yang baru-baru ini kehilangan pekerjaan juga harus menjadi perhatian pemerintah.
Kewajiban seluruh bangsa
Program bela negara yang digagas Kementerian Pertahanan akan menargetkan 100 juta orang selama 10 tahun telah terdidik khusus untuk menjadi warga negara yang profesional untuk menjaga kesatuan NKRI. Angka yang cukup fantastis jika tolok ukur yang digunakan adalah pengeluaran keuangan negara. Di tengah-tengah ketidakpastian keberhasilan program ini negara akan bertaruh dana besar jika program ini akan tetap dilaksanakan. Namun, angka 100 juta selama 10 tahun menjadi tidak berharga jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai ratusan juta. Karena pada dasarnya, membela negara merupakan kewajiban dan tugas seluruh bangsa Indonesia sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, tidak hanya terbatas pada segelintir orang seperti yang direncanakan Kementerian Pertahanan.
Dalam situasi demikian, program bela negara menjadi semakin tidak masuk akal dan hanya membuang waktu dan anggran negara. Di samping itu, tantangan bangsa Indonesia saat ini yang mendesak untuk diselesaikan bersama berkaitan dengan ideologi, seperti liberalisme, radikalisme dan kultur Barat yang berseberangan dengan falsafah Pancasila dan kebudayaan Timur khususnya Indonesia.
Program bela negara seharusnya diarahkan pada kebutuhan itu. Setiap warga negara perlu ditanamkan nilai-nilai luhur yang sesuai dengan falsafah Pancasila dan budaya ketimuran. Pendidikan menjadi pintu utama menanamkan itu semua. Seluruh elemen masyarakat juga diharapkan menumbuhkan kesadaran bela negara sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.
Peran NU
Sebagai ormas terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran penting untuk menjaga keutuhan NKRI dari segala ancaman yang berpotensi muncul, baik secara eksternal maupun internal. Dulu, perjuangan warga NU yang diwakili kaum santri mengusir para penjajah. Meskipun tidak banyak sejarah yang menyebutkan, peran kaum santri waktu itu tidak dapat diremehkan. Kini, kiprah itu tertuang dalam prinsip-prinsip atau dasar berpikir NU yang sudah mendarah daging dan menjadi keyakinan warga NU dari generasi ke generasi.
Prinsip-prinsip itu menjadi dasar berfikir warga NU yang meliputi empat hal: pertama, fikrah nahdiyyah, yaitu cara berfikir dalam memahami nash Al-Qur’an dengan cara mencari prinsip nash, dan dasar hukum. Fikrah Nahdiyyah akan menjadi tameng di tengah-tengah gempuran faham radikalisme sebagai tantangan tersendiri bagi NKRI. Cara berfikir warga NU yang moderat selaras dengan falsafah Pancasila. Jadi, selama NU masih menjadi ormas terbesar di Indonesia, maka mustahil faham radikal akan merusak apalagi sampai menguasai NKRI.
Kedua, bermazhab. Salah satu tokoh NU KH Ma’ruf Amin mengatakan, tanpa adanya mazhab, maka NU tidak punya frame. Dalam hal ini pun NU hanya membatasi empat madzhab yang dianggap relevan dengan kultur keindonesiaan.
Ketiga, prinsip tatowwuriyah atau dinamis. Tidak seperti faham radikal yang cenderung tekstual, NU bersifat kontekstual. Namun, NU juga tidak liberal karena NU tidak pernah melepaskan diri dari tradisi klasik sebagai bahan atau cara berfikir dalam merumuskan hukum baru sesuai dengan perkembangan zaman. Indonesia adalah satu diantara banyak negera di dunia yang selalu mengalami perkembangan setiap waktu. Prinsip dinamis yang ada pada NU akan selalu menemukan ruang di Indonesia tanpa menghilangkan tradisi Islam dan tradisi lokal yang ada.
Keempat, prinsip islahiyyah. Yaitu, melakukan perbaikan terus-menerus. Perbaikan secara terus-menerus tidak cukup hanya dengan wacana, tetapi harus juga dengan tindakan yang konkrit seperti perbaikan akidah, ibadah, akhlak, muamalah. ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Salah satu peran NU dalam bidang ekonomi dapat kita lihat adanya sinergi antara ulama dengan pelaku ekonomi syariah dan regulator, dimana, keputusan yang dihasilkan berdasarkan pertimbangan dari berbagai aspek.
Maka sudah semestinya, lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan atau kelompok tertentu yang melibatkan setiap warga negara untuk menjaga keutuhan NKRI mendapat perhatian penuh dari pemerintah. Karena dengan itu, kesadaran membela negara akan tertanam dan menjadi keyakinan yang sulit untuk digoyahkan. Sebaliknya, ‘seremonial’ program bela negara hanya menyentuh bagian kecil kesadaran masyarakat dan tidak berbanding lurus dengan anggaran yang dikeluarkan.
* Peneliti di Idea Studies dan Warga NU asal Sumenep-Madura, tinggal Ngaliyan Semarang.