Oleh Achmad Marzuki
Intelektual organik merupakan sebutan bagi intelektual-akademisi yang mendedikasikan dirinya sebagai upaya membuka ruang atas terjadinya celah antara teori dan praktik. Bagi mereka, tidak cukup peran intelektual jika hanya diapresiasikan lewat buku semata. Lebih dari itu, perannya bagi pemberdayaan masyarakat adalah suatu kewajiban yang mutlak.
<>
Pendidikan menjadi tumpuan penting dalam membentuk suatu negara. Karena salah satu tujuan pendidikan adalah mencerdaskan anak bangsa. Soal mencerdaskan kiranya tidak terlalu rumit, yang sulit adalah mencetak moral anak bangsa agar tidak muncul koruptor-koruptor muda. Suri tauladan sangat berpengaruh di sini. Lagi-lagi yang menjadi sorotan dari masalah koruptor adalah pihak pemerintah yang nantinya tidak akan ada kejelasan dan penyelesaian kasus.
Dalam studi civil society, beberapa komponen masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai aktor Gerakan Masyarakat Sipil (GMS) di antaranya adalah cendikiawan, LSM, pers-media, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil (pesantren). Jika dari tiap golongan ini menyerukan suara dalam satu bentuk hal positif maka akan lahir peradaban yang luar biasa.
Intelektual Organik dan Kesejahteraan Masyarakat
Seirama dengan semangat intelektual organik adalah hadits Nabi Muhammad s.a.w. yang artinya “Sebaik-baik manusia adalah yang mampu memberikan manfaat bagi sesamanya”. Dari hadits tersebut sudah sangat jelas dan gamblang bahwa berbuat baik kepada sesama adalah hal yang sangat terpuji. Ketika kita berbuat baik kepada orang lain, pada dasarnya kita sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri.
Kata intelektual cenderung bertalian dengan kecerdasan dan ketepatan. Mereka mampu merasakan emosi semangat dan apa yang dirasakan masyarakat bawah. Memihak kepada mereka dan mengungkapkan apa yang dialami kecendrungan objektif masyarakat. Tugas seorang intelektual organik adalah menyelesaikan tantangan agar mampu menjadi masyarakat yang sejahtera, mandiri dan bermartabat dengan membentuk langkah penuh taktik jitu.
Mahasiswa santri didesak dan didesain menjadi insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Tujuan luhur inilah yang membakar semangat mahasiswa untuk menjadi sebuah perubahan yang besar, civil society-negara. Salah satu ciri terbentuknya civil society-negara adalah ranah publik yang terpenuhi, hilangnya ketimpangan sosial di tengah masyarakat, dan nilai-nilai positif selalu didengung-dengungkan.
Pemaknaan mahasiswa dinilai sebagai tatanan orang yang berintelektual. Sedangkan santri biasanya kerap dikenal sebagai manusia yang suci dan jauh dari dosa. Dengan menggabungkan keduanya maka akan muncul manusia sempurna yang berintelektual tinggi dan bertatakrama santun.
Masyarakat sejahtera bagi Quraisy Syihab memiliki dua komponen yang harus dipenuhi. Yaitu tidak adanya kelaparan dan ketakutan. Keduanya termasuk simbol bahwa sejahtera berisi dari dua ranah yaitu fisik dan psikis. Kesejahteraan fisil disimbolkan dengan kelaparan, jika manusia sudah tidak lapar menandakan orang itu sudah sejahtera. Begitu pula simbol yang kedua yaitu bebas dari ketakutan. Kedua pemaknaan Quraisy Syihab ini didasarkan pada al-Quran surat al-Quraisy ayat terakhir.
Tanggungjawab membentuk masyarakat sejahtera bukan hanya kewajiban pemerintah. Kita sebagai warga Negara yang baik harus berusaha pula mewujudkan masyarakat yang sentosa. Sikap dan prilaku tetap dalam tataran strata sosial tadi. Cara kita berkontribusi di dalamnya sesuai kemampuan diri. Bagi orang yang berkedudukan harus beraksi langsung (biyadihi) mengusung kesejahteraan. Jika tidak maka cukup dengan aspirasi (bilisanihi). Jika masih tidak mampu cukuplah optimis dan mendoakan dengan hati (biqolbihi).
Macam-Macam Intelektual
Emha Ainun Nadjib mengklasifikasikan intelektual ke dalam empat golongan, yaitu intelektual yang tahu banyak dari banyak hal, intelektual yang tahu sedikit dari banyak hal, intelektual yang tahu banyak dari sedikit hal, dan intelektual yang tahu sedikit dari sedikit hal.
Orang yang berada dalam kategori pertama ini adalah orang yang mampu menggunakan akalnya secara maksimal. Dalam Islam di sebut sebagai ulul albab. Ulul albab tidak membatasi dirinya dalam satu bidang keilmuan. Dia menggeluti semua bidang keilmuan tanpa membeda-bedakannya.
Kategori yang kedua ini merupakan kebalikan dari yang pertama. Orang yang di posisi ini hanya tahu sedikit dari sekian banyak ilmu, atau sarjana yang hanya tahu sedikit dari sekian banyak keilmuan. Dia hanya sebatas mengenal dan tau tetapi tidak sampai taraf memahamai secara mendalam terhadap keilmuan tersebut.
Ketiga, mereka yang benar-benar mempunyai spesialisasi atau spesifikasi keilmuan. Misalnya dokter spesialis syaraf, mata, gigi dan lain sebagainya. Dia benar-benar tahu banyak tentang syaraf, mata, gigi dan lain sebagainya, bahkan dia dikatakan sebagai ahli dalam bidang itu, akan tetapi dia tidak memahami bidang yang lainnya.
Yang terakhir adalah sarjana yang tahu sedikit dari sedikit ilmu. Karakter yang keempat ini merupakan orang yang sangat minimalis sekali. Kapasitas intelektualnya sangat minim. Dia hanya mengetahui sedikit dari sedikit bidang keilmuan. Terlebih kalau seorang sarjana menempati urutan yang keempat ini, betapa malunya seorang sarjana ini. Kiranya tidak pantas gelar intelektual melekat padanya. Adalah mereka yang memahami bidang keilmuan baik sedikit atau banyak secara menyeluruh dan mengamalkan apa yang ia ketahui, bermanfaat bagi dirinya dan orang lainlah yang pantas bergelar intelektual organik. “khairunnas anfa’uhum linnas”
* Alumni Ponpes Nurul Jadid Paiton Probolinggo, saat ini sedang melanjutkan studinya di IAIN Walisongo Semarang