Opini

Memerdekakan Indonesia dengan Puisi

Ahad, 29 Juli 2012 | 11:28 WIB

Oleh Jamaluddin Mohammad

 Siang itu 25 Agustus 2005, pukul 15.00 WIB, saat terik matahari masih membakar, Baiquni, penyair santri dari Komunitas Seniman Santri, memulai aksinya di Plumbon, Kabupaten Cirebon. Ia berencana membacakan ‘puisi-puisi kemerdekaan’ sambil berjalan kaki sepanjang 17 kilometer menuju Kota Cirebon.
<>
Meski harus bergulat dengan panas, lapar dan dahaga, tetapi tak menciutkan niat Baiquni memperingati ulang tahun bangsa dan negaranya sendiri yang kebetulan jatuh di bulan suci Ramadhan. Tidak sekali penulis antologi puisi ‘Surat untuk Tuhan’ ini melakukan aksi-aksi ‘gila’, nekat, dan berjudi dengan tantangan. Lima tahun yang lalu di bulan yang sama, ia membaca puisi selama 48 jam nonstop hingga mendapat penghargaan dari MURI.

Kali ini, sambil membawa Sang Saka Merah Putih, megaphone, memakai kaos hitam bertuliskan Syair Indonesia, bersandal jepit, dikawal teman-temannya dari Komunitas Seniman Santri, Baiquni mewiridkan puisinya berjudul ‘Kepada Siapa Aku Bertanya’ di sepanjang jalan Pantura menuju Kota Cirebon:

Bertahun-tahun kita merayakan/berulang-ulang meritualkan panjat pinang/berkibar-kibar merah putih terpasang/di mana-mana kita lantunkan tujuh belasan/kawan/sebenarnya kita sedang memerdekakan apa?

Kebanyakan puisi-puisi Baiquni vulgar, langsung, tanpa basa-basi. Kelihatannya ia tidak begitu suka memoles-moles kata hingga mengkilap. Alasannya — seperti yang pernah ia katakan —sederhana: ia ingin puisi-puisinya mudah dinikmati dan dipahami oleh ‘orang awam’ sekalipun. Biarlah, itu pilihan dia. Setiap penyair punya pilihan dan alasan masing-masing terhadap puisinya. Tetapi mereka pasti sepakat: puisi itu indah!

Dalam puisinya itu, Baiquni mempertanyakan — bahkan menggugat — hakikat, makna dan arti kemerdekaan selama ini. Menurutnya, kemerdekaan saat ini hanya dirayakan, diseremonialkan, tetapi tidak pernah menyentuh hakikat kemerdekaan itu sendiri. Memang, bangsa ini sudah merdeka. Enam puluh lima tahun yang lalu, Soekarno-Hatta, memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Seluruh dunia mengetahui dan banyak yang mengakui.

Namun, realitas sesungguhnya, banyak masyarakat Indonesia yang belum ‘merdeka’. Bahkan, diakui atau tidak, secara politik, ekonomi, maupun budaya, Indonesia masih terjajah. Banyak kebijakan politik kita yang sama sekali tidak mencerminkan dan punya keberpihakan pada masyarakat, bahkan menjadi ‘bayang-bayang’ negara-negara besar. Kebijakan ekonomi kita masih didikte WTO, World Bank, IMF, dan koorporasi-koorporasi internasional.

Buktinya, setengah Abad lebih kita merdeka, tetapi tetap miskin, tetap tertinggal, tetap sengsara. Bukan karena negara kita miskin, melainkan karena kekayaan negara kita dirampok, dikuras, dan diangkut ke ‘negara-negara perampok’.

Sementara, yang lebih menyedihkan lagi, banyak pejabat-pejabat kita yang juga ikut-ikutan jadi perampok; membantu para perampok merampok. Akhirnya, kemerdekaan hanya dinikmati oleh ‘borjuis-borjuis kecil’ yang hidup dari penderitaan rakyatnya. Na’udzubillah min dzalik!

Puisi Baiquni di atas menyadarkan kita bahwa kemerdekaan itu bukan sekadar untuk dirayakan, dipidatokan, diritualkan berulang-ulang, tetapi untuk direbut dan diperjuangkan terus, hingga betul-betul merdeka, meraih kemerdekaan sejati dan seutuhnya. Karena kemerdekaan adalah sebuah proses, proses menjadi merdeka.

Dalam aksi itu, Baiquni tidak sedang mencari sensasi dan perhatian guna mendobrak popularitas. Penulis novel ‘Habib Palsu Tersandung Cinta’ ini hanya sedang mengisi kekosongan. Ketika pidato-pidato para pejabat dan politisi terasa ringan, kosong, dan tak bermakna lagi, Baiquni mencoba mengisinya dengan puisi, sebab puisi tidak pernah berbohong dan berpura-pura.

Puisi menyatakan yang seharusnya tidak dikatakan, mengungkap yang tersembunyi, menjelaskan yang masih samar-samar. Puisi muncul dari dasar hati yang paling dalam, mengatakan apa yang tak terkatakan mulut dan lidah.

Terbukti, masyarakat terlihat appreciate menyambut dan menonton aksi yang dilakukan Baiquni dan Komunitas Seniman Santri. Ketika memasuki Kota Cirebon, Baiquni harus berjejal dan berhimpitan dengan mobil dan motor, puisinya harus bersaing dengan deru dan bising kendaraan.

Minimal, bagi mereka yang menonton waku itu, mereka sadar dan mau memikirkan — setelah sebelumnya terserap rutinitas keseharian yang banal — bahwa hari itu hari kemerdekaan. Sayangnya, ketika Baiquni dan rombongan pengawalnya akan sampai ditujuan, mereka dihentikan seorang berperawakan tinggi besar berpakaian preman yang mengaku dari kepolisian.

Saat itu juga puluhan polisi berseragam lengkap muncul dan memaksa mereka membubarkan diri. Adu mulut pun terjadi.

“Kami ini tidak sedang demonstrasi Pak, tetapi sedang melakukan napak tilas kemerdekaan, dan sengaja mengambil angka tujuh belas kilo meter. Kalau dihentikan sampai sini, artinya belum sesuai dengan angka sakral yang kami maksudkan,” kata Baiquni  (PR 17/08).

Aparat Negara kita memang aneh, sungguh aneh sekali. Bayangkan, ada seorang warga negara yang mau merayakan hari kemerdekaannya di negaranya sendiri, tetapi harus izin dulu, melayangkan surat pemberitahuan ke pihak kepolisian. Seperti zaman Orba saja.

Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kita belum merdeka. Penjajahan itu masih terus berlangsung sampai hari ini. Hanya saja berganti aktor dan penampilan. Ibarat kita bercermin, bayangan penjajah itu akan selalu muncul dalam cermin itu.

 

JAMALUDDIN MOHAMMAD, Ketua Komunitas Seniman Santri (KSS) Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Masih "nyantri" di UIN Jakarta.


Terkait