Opini

Membumikan Humor

Selasa, 7 November 2017 | 23:01 WIB

Membumikan Humor

Ilustrasi.

Oleh Aswab Mahasin

Masyarakat kita sebenarnya mempunyai selera tinggi dalam “humor”. Buktinya, acara-acara humor di televisi seringkali booming, seperti: Extravaganza, Opera Van Java, dan Lenong. Selain itu, kebanyakan acara sekarang, musik, talk show, dan sejenisnya dikemas dengan selingan humor. Humor di Indonesia merupakan pasar yang menarik, buktinya film dengan penonton terbanyak adalah Warkop DKI Reborn.

Dalam hal acara tv saya tidak akan membahas acara tv itu bermutu atau tidak dan humornya cerdas atau tidak. Yang ingin saya munculkan dalam tulisan iniialah humor itu penting bagi kesehatan politik kita, humor penting bagi kesehatan kesatuan kita, dan humor juga penting untuk mendidik pegiat Medsos agar tidak spaneng.

Sesungguhnya Presiden Joko Widodo sudah memancing-mancing masyarakatnya untuk membumikan humor sebagai salah satu alat komunikasi dari kegetiran zaman medsos ini. Pak Jokowi pada salah satu sesi sudah mencontohkannya dengan mengeluarkan kata-kata, “Dua aset berharga kita telah diambil oleh Asing”. Maksud dari Pak Jokowi adalah dua artis cantik Indonesia telah dinikahi oleh pria keturunan Asing (bukan Indonesia).

Selain itu, kalau kita mau memaknainya lebih rilek lagi, ujaran-ujaran di Medsos itu humor, seperti; golongan satu memberi label pada kelompok yang cepat terbakar amarah dengan sebutan “sumbu pendek”. Yang katanya ‘sumbu pendek’ membalasnya dengan kata-kata “masih mending ana punya sumbu, daripada antum sumbu pun tak punya, langsung kompor bledug”. Kalau kita cermati, bahasa-bahasa tersebut bahasa humor, coba deh liat bagaimana orang guyonan, mirip seperti itu.

Lain lagi, belum lama ini Ustadz Arifin Ilham yang ramai di Medsos, gara-gara mem-posting istri ke-tiga-nya, yang konon belum lama dinikahi. Orang-orang ramai menceramahi, menghujat, bahkan menanggapinya dengan serius, sampai jadi viral. Sebenarnya, yang harus di viralkan bukanlah Ustadz Arifin, tetapi mereka para jomblo, yang sama sekali belum dapat satu pun. Kasihan para jomblo (kaum proletar asmara), harus meratapi efek dari borjuis asmara, ini jelas penindasan terhadap kaum jomblo. Ya, ini hanya sekedar humor.
 
Mengutip Anis Sholeh Baasyin, “Bangsa ini hilang selera humor, makanya sering berselisih, lanjut Habib Anis, orang suka humor adalah orang bijak, mampu melihat dari luar realitas. Dengan begitu orang yang penuh humor menyadari tidak ada orang yang sempurna. Hal itu kemudian yang membuatnya tidak mudah marah apalagi sampai terjadi perselisihan. Karena sadar sama lemahnya, akhirnya perlu saling menguatkan”. 


Benar kata Habib Anis, hilangnya humor jaman now, menjadi susah memaknai humor di jaman now. Humor jaman now itu sepihak, bukan bertujuan saling menguatkan, akan tetapi menunjukan kekuatan, yang tertawa hanya menertawakan, Anda bisa memaknainya sendiri bagaimana kondisi politik kita sekarang, siapa yang menang ia yang tertawa dan menertawakan, dan yang ditertawakan mencari celah untuk menertawakan, begitu seterusnya, satu sama lain ingin menertawakan, alias menjatuhkan.

Di sinilah membumikan humor dirasa penting, humor jangan hanya dimaknai sebagai aktivitas cengengesan belaka, tidak. Humor sebagai sifat lain dalam diri manusia agar tidak kaku dalam menerima hal apapun. Entah itu berupa informasi yang menjatuhkan, berita yang menyulut kebencian, atau bahkan dituding kafir.

Anda pasti sering mendengar Cak Nun selalu menanggapi tudingan-tudingan kafirnya dengan nyeleneh, “Cak Nun, kafir!” Cak Nun menanggapinya, “Lho, kamu baru tahu kalau saya kafir?” dan Cak Nun juga sering ditanya, “Cak, kalau habis sholat salaman boleh apa tidak?” dan Cak Nun menjawab, “bukan hanya salaman, langsung ngising (BAB) saja boleh.” Kemudian Gus Dur selalu menyatakan, “Gitu aja kog repot”.

Kita sering mendengung-dengungkan “Islam ramah bukan Islam marah”—definisi lain dari Islam ramah itu Islam humor, seperti dalam salah satu riwayat Rasulullah Saw pernah bergurau dengan Nenek yang datang kepadanya, dan berkata, “Doakan aku kepada Allah supaya aku dimasukkan ke surga”.

Nabi Saw berkata kepadanya, “Wahai Ummu Fulan, sesungguhnya surga itu tidak dimasuki orang yang sudah tua.” Maksudnya, ketika nenek itu masuk surga, tidak sebagai nenek-nenek, melainkan berubah menjadi muda belia dan cantik. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (wanita-wanita surga) itu dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya”. (QS: Al-Waqiah: 35-37)

Kita juga bisa mengambil kisah humor hikmah dari dua orang sufi yang masyhur di Media Online, kedua sufi itu bertukar fikiran, satu menyatakan, “semoga majelis kita ini banyak berkahnya.” Namun, satu-nya lagi berpandangan lain, “saya malah takut, kalau majelis kita tidak berkah dan banyak dosa.” “Lho kenapa?” Ia pun menerangkan, “karena pembicaraan kita berdua satu sama lain saling menghias kata-kata, dan saling menunjukan ke-aku-an, saya dan Anda sama-sama menunjukan diri dan saling berbasa-basi, apalagi kalau di depan banyak orang, kita semua saling unjuk gigi. Sungguh ini hakikat riya dan bagian dari kemunafikan.”

Dalam dunia yang semakin menegang sekarang, humor itu memiliki fungsi untuk mengendorkan saraf dan otot yang kaku, fungsi humor sebagai kritik terhadap mundurnya dunia pendidikan kita, yang disampaikan sama sekali tidak menyinggung siapapun namun ‘nonjok’ seperti yang dipernah dikatakan Cak Lontong, “Dulu Indonesia banyak mengirim guru untuk Malaysia, namun sekarang Indonesia lebih banyak mengirim Pembantu ke Malaysia. Ini bukan karena pendidikan Indonesia yang tidak berkembang, melainkan selera Malaysia yang turun, dulu sukanya guru, sekarang sukanya pembantu.”

Ada juga kritik mengenai praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat, “Sebenarnya koruptor itu tidak ada. Lho kog bisa? Koruptor itu ada kalau ada yang ketangkap korupsi, kalau tidak ada yang ketangkap, tidak mungkin ada koruptor.”

Begitupun dengan kebiasaan kita dalam menanggapi tudingan-tudingan bid’ah, “Ini-itu di zaman Rasulullah tidak ada.” Dan kita sering menjawab, “Sendok, garpu di zaman Rasul juga tidak ada, makan bakso yang panas itu harus pakai tangan. Zaman Rasul tidak ada pesawat, naik haji pakai onta.”

Sering juga kita mendengar, “Ziarah kubur itu haram hukumnya, karena punya “potensi” syirik, karena itu makam-makam harus dihancurkan. Pihak lain menanggapinya dengan santai dan lucu, kamu punya kelamin bukan? Dia menjawab, “Iya”. “Sini, kelamin kamu saya potong, karena kelamin kamu itu punya “potensi” maksiat.” Bukankah keduanya sama-sama punya potensi buruk? Kalau kita hanya memandang buruk terhadap sesuatu.

Itu hanya beberapa contoh saja, masih banyak pemahaman-pemahaman lain di luar realitas ini, yang sejatinya memiliki nilai lebih dari sekedar realitas. Karena itu humor harus dibumikan di Indonesia, karena humor sekarang sudah terlalu tinggi untuk digapai, mungkin sudah berada di awang-awang, kita bumikan lagi, kita pulangkan ke tempat asalnya, yaitu bumi pertiwi.

Anda pasti ingat juga, bagaimana cara Gus Dur membangun komunikasinya dengan pendekatan humor dan anekdot yang berwawasan, sampai-sampai Mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton tertawa lebar saat ngobrol berduaan bersama Gus Dur. Begitupun dengan Raja Arab Saudi, Raja Fahd sampai ngakak gara-gara gaya komunikasi Gus Dur dan itu baru pertama kali Raja Arab tertangkap ketawa terbahak-bahak. Dan Gus Dur berhasil juga melepaskan TKI yang akan dihukum pancung.

Gaya komunikasi seperti itulah yang harus dimiliki oleh para pemimpin kita, entah itu pemimpin negara, pemimpin agama, pemimpin organisasi, dan pemimpin dalam level/kategori apapun—sebagai carabergaul akrab dengan rakyatnya, massa-nya, dan anggotanya. Yang harus digarisbawahi adalah humor berbeda dengan ngelawak. Humor itu penuh wawasan dan kecerdasan.

Perdana Mentri Indira Gandhi, pernah ditanya mengapa dia tidak mau bertemu dengan Presiden Pakistan Yahya Khan. Gandhi Menjawab, “Kita kan tidak bisa bersalaman dengan tangan terkepal.” Khan yang kerap mengirimkan isyarat perang, memang seringkali menunjukkan perilaku bermusuhan. Namun tanggapan Gandhi yang selalu ‘asyik’ membuat emosi Pakistan turun, sehingga terjadi pertemuan antara Pakistan dan India—merundingkan perdamaian. Dalam berbagai era sejarah, humor sering dilakukan sebagai cara pemimpin melakukan pendekatan dengan pemimpin lain untuk mengurai hal-hal yang sulit diurai. 

Maka, inilah kesempatan kita bertanya dan mecoba menjawab kembali: mengapa disetiap tradisi keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan kita selalu ada humor? Apa hubungannya dengan realitas komunikasi sosial kita? lantas kenapa kita sekarang menjadi gagap untuk memaknai perbedaan kita sebagai humor, demi pendekataan persatuan? Padahal hidup kita sendiri adalah humor, Tuhan menyuruh Anda untuk menggoda dan menertawakan hidup Anda sendiri, karena Tuhan menyuruh Anda untuk selalu bersyukur dan ikhlas. 

Penulis adalah Pembaca Setia NU Online.


Terkait