Opini

Meletakkan Pondasi Pengelolaan Tanah Wakaf di Indonesia

Jumat, 29 September 2017 | 22:00 WIB

Oleh Ahmad Yahya

Wakaf merupakan perbuatan hukum yang suci dan mulia, artinya selama barang yang diwakafkan dapat dimanfaatkan, pahalanya akan tetap mengalir, meskipun si wakif  telah meninggal dunia. Wakaf secara signifikan menyumbangkan pertumbuhan budaya dan intelektual, dan berperan positif dalam menegakkan keadilan sosial, serta mendorong mereka yang kaya untuk mendirikan wakaf. 

Catatan sejarah, wakaf terbukti mampu menyejahterakan umat secara umum. Hanya saja perwakafan di Indonesia masih belum maksimal dalam mencapai spirit yang disyariatkan wakaf, padahal potensi wakaf di Indonesia luar biasa. Hal ini banyak faktor yang terdistorsi, diantaranya pemahaman masyarakat akan wakaf, manajeman wakaf, harta yang diwakafkan dan nadzir. 

Untuk itu perlu perubahan paradigma pengelolaaan wakaf secara profesional dan dapat dipertanggung jawabkan. Dalam UU No. 41 Tahun 2004 pasal 5 fungsi wakaf adalah mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis. Harta benda wakaf digunakan untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. 

Secara umum, ada beberapa macam sifat permasalahan yang berkaitan sengeketa tanah wakaf, antara lain; pertama masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya. 

Kedua, bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak. Ketiga, kekeliruan atau kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar. Keempat, sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial.
 
Konflik pertanahan sesungguhnya merupakan bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Secara makro, sumber konflik bersifat struktural misalnya beragam kesenjangan. Secara mikro, sumber koflik dapat timbul karena adanya perbedaan atau benturan nilai, perbedaan tafsir mengenai informasi, data atau gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat, atau benturan kepentingan ekonomi, yang terlihat pada kesenjangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah.

Dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, pada pasal 1 dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif, untuk memisahkan dan menyerahkan sebagian harta benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya, atau untuk jangka waktu tertentu, sesuai dengan kepentingannya, guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Adanya perkembangan lembaga perwakafan tanah milik, yang berkembang di Indonesia, mengilhami perancang UUPA di mana salah satu pasal dalam UUPA, yang mengatur khusus mengenai Perwakafan Tanah Milik ini, yaitu Pasal 49 yang berbunyi sebagai berikut: Pertama  Hak milik tanah benda-benda keagamaan dan sosial, sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan, dan sosial diakui dan dilindungi. 

Kedua Badan-badan tersebut dijamin pula, akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya, dalam bidang keagamaan dan sosial. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sebagai dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai. Ketiga Perwakafan tanah milik dilindungi, dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Mengacu pada ketentuan yang termaktub dalam Pasal 49 UUPA di atas. Maka, ini merupakan pengakuan secara yuridis formal keberadaan perwakafan tanah milik oleh negara sehingga telah disejajarkan dengan hak-hak yang terdapat dalam UUPA lainnya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.
 
Kegunaan tanah wakaf adalah sebagaimana fungsi wakaf pada umumnya, yaitu untuk kemaslahatan umat, namun secara khusus UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mengatur bahwa peruntukan tanah wakaf adalah tergantung pada ikrar wakaf yang dibuat. Ikrar wakaf merupakan pengucapan sah yang diucapkan secara ikhlas untuk menyerahkan hartanya yang akan dipergunakan di jalan Allah. 

Hal pokok yang sering menimbulkan permasalahan perwakafan dalam praktik adalah masih banyaknya wakaf tanah yang tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf. Pelaksanaan wakaf yang terjadi masih banyak yang dilakukan secara agamis atau mendasarkan pada rasa saling percaya. 

Kondisi ini, pada akhirnya menjadikan tanah yang diwakafkan tidak memiliki dasar hukum, sehingga apabila dikemudian hari terjadi permasalahan mengenai kepemilikan tanah wakaf penyelesaiannya akan menemui kesulitan, khususnya dalam hal pembuktian. 

Hal lain yang sering menimbulkan permasalahan dalam praktik wakaf di Indonesia adalah dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif dan tanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh Nadzir yang penggunaannya menyimpang dari akad wakaf.  Dalam praktik sering didengar dan dilihat adanya tanah wakaf yang diminta kembali oleh ahli waris wakif setelah wakif tersebut meninggal dunia. 

Dan lagi, salah satu penghambat pemberdayaan wakaf di Indonesia adalah pertama masalah pemahaman masyarakat tentang hukum wakaf, kedua pengelolaan dan manajemen wakaf setengah hati, ketiga benda yang diwakafkan dan nazhir. 

Kenyataan adanya berbagai problem terkait dengan sengketa dan pengelolaan tanah wakaf yang terjadi di tengah masyarakat harus di urus dan diselesaikan secara bijak dan benar. Agar supaya tujuan dari adanya wakaf itu sendiri dapat terjaga kesuciannya dan dapat digunakan sebagaimana mestinya. 

Beberapa solusi untuk meletakkan pondasi pengelolaan tanah wakaf dari berbagai hal yang tidak diinginkan adalah; pertama melakukan pemberdayaan wakaf secara produktif. Kedua, Badan Wakaf Indonesia melaksanakan pembinaaan dan pemberdayaan kepada para pengelola wakaf secara intens. 

Ketiga, melakukan penegakan hukum dalam pengelolaan wakaf secara prioritas. Keempat melakukan pengawasan dan pendataan terhadap harta wakaf. Kelima adanya i’tikad baik untuk memberi atau mengurus tanah wakaf. Keenam memaksimalkan peran dan fungsi KUA sebagai wakil pemerintah di daerah dalam pembinaan dan penyuluhan di bidang perwakafan. 

Memahamkan akan pentingya pengelolaan tanah wakaf secara profesional adalah sebuah cita-cita mulia yang harus selalu didengungkan, karena tanah wakaf merupakan aset untuk pemberdayakan dan pengembangan ummat dalam berbagai bidang, dan untuk itu tanah wakaf harus dimanfaatkan secara optimal, agar terwujud  masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan. Wallahu A’lam.

Penulis adalah Pegiat Lingkar Study Kajian Ilmu Hukum, tinggal di Kota Semarang.


Terkait