Oleh Ahmad Yahya
Keresahan ummat semakin menjadi, ketika umat selalu ditabrakkan dengan berbagai macam isu yang mengancam perpecahan tata sendi kerukunan ditengah hajatan Pilkada. Politik selalu menjadi alat pembajak untuk menghalalkan segala cara untuk memenangkan pasangan tertentu dan menjegal pasangan yang lain.
Agama terlalu suci untuk dibajak demi memuluskan kepentingan syahwat politik sesaat, dan agama selalu menjadi sasaran empuk untuk diseret ke gelanggang politik praktis. Seharusnya agama diletakkan secara luhur dan ditempatkan pada posisi yang tepat dan benar, tidak dengan sebaliknya agama diacak-acak dengan cara-cara kurang terpuji.
Ujaran kebencian selalu menjadi urutan nomor wahid untuk mempengaruhi seseorang dalam membelah identitas seseorang: Muslim-Kristen; pribumi-Tionghoa; antek Zionis-bukan; dan seterusnya, terkhusus dalam percakapan di media sosial dan media sejenis lainnya.
Berbagai macam ancaman dan konflik sosial harus terus diredam, beberapa riset menunjukkan bahwa munculnya konflik sudah hadir sebelum adanya hajatan Pilkada bahkan jauh sebelumnya.
Aktor politik, birokrasi, tokoh agama, tokoh masyarakat selalu mengangkat sentimen intoleransi keagamaan yang sudah ada untuk mobilisasi elektoral, misalnya isu penganut agama, aliran sesat, stigma kafir, ateis, atau komunis. Inilah yang menjadi akar masalah sesungguhnya perpecahan tata sendi kerukunan beragama.
Eksploitasi isu SARA dalam setiap proses politik akan melumpuhkan akal sehat publik untuk berpikir merdeka dan merampas kebebasan setiap ummat manusia. Diskriminasi atas dasar SARA adalah bentuk kejahatan tertua sepanjang sejarah perjalanan ummat manusia. Larangan diskriminasi atas dasar SARA juga tercantum dalam UUD Negara RI 1945 dan berbagai dokumen internasional hak asasi manusia. Dan intoleransi memiliki daya rusak yang paling serius bagi bangsa Indonesia.
Setiap orang memiliki tugas yang sama untuk menjaga dan mempertahankan keberagaman bangsa Indonesia sebagai bentuk ekspresi kenegarawanan atau sekurang-kurangnya sebagai bentuk kepedulian pada kenegarawanan.
Munculnya berbagai macam isu anyar terkait SARA saat ini yang paling mencolok adalah ancaman tidak akan mengurus jenazah muslim yang memilih pasangan nomor 2 dalam Pilkada Jakarta.
Benar terbukti Jenazah nenek 78 tahun, bernama Hindun bin Raisman ditelantarkan oleh warga Karet Raya II, Setiabudi, Jakarta Selatan. Penyebabnya, semasa hidup Nenek Hindun mencoblos Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Djarot Saiful Hidayat di Pilkada DKI putaran pertama. (liputan6.com, 11/3/2017).
Peristiwa tersebut sungguh miris dan memprihatinkan, seharusnya kewajiban umat Islam untuk mengurus jenazah sesama umat muslim, mulai memandikan, mengafani, menshalatkan dan menguburkan. Tidak sampai di situ, sebagian besar masyarakat tetap berusaha mengirimkan doa dan menghadiahkan pahala baca Alquran, zikir, dan amalan lainnya untuk kebahagiaan mayat di alam kubur.
Selama jenazah masih berstatus Muslim pada akhir hayatnya, seluruh umat Islam dituntut untuk mengurusi jenazah mereka. Meskipun semasa hidupnya dikenal sebagai pendosa dan suka berbuat maksiat. Seyogyanya umat Islam tidak boleh pilih kasih dalam mengurusi jenazah. Jangan sampai yang diurusi hanya Muslim yang rajin salat, sering ke masjid, dan dekat dengan masyarakat, sementara Muslim yang berprilaku buruk tidak diurusi. Andaikan ada jenazah Muslim yang tidak disalatkan, misalnya, tentu seluruh umat Islam yang mengetahui kematiannya akan menanggung dosanya.
Islam agama rahmatan lil’alamain, namun banyak orang menyimpangkan pernyataan ini kepada pemahaman-pemahaman yang salah kaprah. Sehingga menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat fundamental, yaitu dalam masalah aqidah.
Firman Allah SWT, “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.” (QS. Al Anbiya: 107). Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba. Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
Kedewasaan beragama, berbangsa, bernegara dan berpolitik adalah satu rentetan yang tidak terpisahkan dari wujud adanya kebhinekaan kita hidup di negara yang kita cintai ini yaitu Indonesia. Keragaman suku, agama, ras dan golongan adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang Maha Esa yang harus kita syukuri.
Perbedaan pilihan politik tidak menjadikan kita terjebak dalam kehancuran kerukunan yang selama ini terjaga. Isu-isu SARA harus dihadapi dan dinetralisir secara bersama-sama dengan memegang erat tali persaudaraan kita sebagai bangsa Indonesia yang satu dan utuh. Memahami dan memahamkan agama secara benar. Memperkokoh dan mengedepankan politik toleransi yang berkeadaban serta menghargai atas keragaman agama dan keyakinan, bukan penyeragaman. Wallahu A’lam.
Penulis adalah Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Sosial Masyarakat IMAN Institute, Tinggal di Kota Semarang, Jawa Tengah.