Opini

Mari Berkenalan dengan Dua Kiai

Sabtu, 11 Januari 2014 | 05:00 WIB

Dua kiai. Kiai Guntur Madu namanya. Ia berada di bangsal Pradangga, tepatnya di sebelah kanan selatan Masjid Agung Kasunanan Surakarta. Satu lagi, Kiai Guntur Sari berada bangsal Pragangga, letaknya di sebelah kiri utara Masjid Agung Kasunanan Surakarta.
<>
Keduanya merupakan nama gamelan Sekaten ditabuh mulai dari 5 sampai 11 Maulid atau 7-13 Januari 2014. Kemudian pada tanggal 12-nya diadakan Grebeg Mulud, yaitu puncak perayaan Sekaten.

Dua kiai itu ditabuh bergantian dari dari pagi sampai menjelang Maghrib setiap hari. Kecuali pada hari Kamis sampai waktu Ashar dan hari Jumat setelah shalat Jumat.

Para pengrawit (penabuh gamelan), sebelumnya harus melakukan persiapan khusus dengan berpuasa dan gamelannya sendiri juga harus dihiasi seperti kembang setaman, kemenyan, buah pisang. Satu lagi ciri khas pengrawit dari Kasunanan adalah menggunakan samir, kain kuning yang dipakai di leher.

Penamaan dua kiai tersebut, nunggak semi atau meniru penamaan gamelan pusaka milik Kasultanan Demak Bintoro, kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa pada awal abad 15 M silam.

Konon saat itu, gamelan Kiai Guntur Madu, dan Kiai Guntur Sari digunakan sebagai sarana dakwah syiar agama Islam para Wali Songo. Dan pada saat itu gamelan ditabuh tidak hanya sewaktu menjelang Grebeg Mulud, tapi juga setiap pagi menjelang shalat Jumat.

Di situlah dakwah dan syiar Islam berlangsung. Karena salah satu syarat yang harus dilakukan untuk bisa menyaksikan tabuhan kedua gamelan tersebut, yaitu dengan membaca dua kalimat syahadat, yang merupakan tanda seseorang resmi memeluk agama Islam. Makanya diberi nama Guntur Madu dan Guntur Sari, yang berarti inti sarinya madu kehidupan yang berwujud keimanan dan ketakwaan.

Kemudian dari situlah akhirnya istilah Sekaten muncul, yang sebenarnya berasal dari kata syahadatain, atau dua kalimat syahadat itu sendiri. Sebagai inti sarinya madu kehidupan, dengan membaca dua kalimat Syahadat dan memeluk Islam.

Untuk itulah, ketika dua gamelan itu ditabuh maka ada tradisi nginang atau mengunyah sirih lengkap, dan memakan telur asin. Hal itu sebagai bentuk ajaran jika dalam hidup ini, selain manis pasti ada juga pahit getirnya, seperti halnya rasa sirih ketika dikunyah. Untuk itulah harus dilengkapi dengan memakan telur asin, atau juga disebut tigan kamal dalam bahasa Jawanya. Artinya orang hidup harus banyak beramal baik sehingga mencapai kebahagiaan dunia dan akherat.

Jadi perayaan Sekaten sebenarnya bukan hanya hiburan, tapi ritual tradisi yang penuh nilai-nilai religi Islami itu sendiri. Ini yang harus dipahami, dan jangan sampai disalah tafsirkan.


Terkait