Opini

Kiai Warson Munawwir dan Politik Bahasa

Sabtu, 4 April 2015 | 20:01 WIB

Mutimmatun Nadhifah* Kamus Al-Munawwir adalah hasil dari kerja mengumpulkan kata yang kemudian menjadi ribuan lembar halaman, menemani masyarakat pesantren selama bertahun-tahun, bergulat dengan bahasa Arab. Keinginan untuk menemukan kata Arab dan artinya atau  juga untuk menemukan bentuk kata apakah itu tunggal atau pun jamak telah memperkaya masyarakat Indonesia dalam pergulatan kata bahasa Arab. 
<>
Kemapanan seorang santri di pesantren atau mahasiswa di  perguruan tinggi dalam memaknai dan memahami kitab-kitab bahasa Arab ternyata tidaklah cukup jika hanya melakukan pergulatan terus dengan ilmu nahwu dan sharraf. Harus ada kamus yang menghimpun pembendaharaan kata dalam hal menguasai kata Arab dari berbagai bentuk dan maknanya. 

Kehadiran kamus Arab yang mumpuni menjadi keniscayaan untuk para pembelajar yang bergelut dengan bahasa Arab.Dan inilah sumbangan tak ternilai Kamus Al-Munawwir yang disusun Kiai Warson, yang meninggal pada tanggal 18 April 2013, adalah sosok ulama yang bekerja untuk sejarah. Ulama ini adalah ulama yang paling berpengaruh dalam bahasa dan sastra bahasa Arab di Indonesia. Karya monumentalnya telah menemani masyarakat Indonesia baik itu di kalangan kampus lebih-lebih masyarakat pesantren. Mereka merujuk pada karya ulama kelahiran Yogyakarta ini. 

Kiai Warson adalah ulama yang hanya mengurusi kata, tidak pernah terlibat dalam politik. Dia adalah ulama yang ingin menunaikan misi suci untuk memakmurkan masyarakat kaya kata. Sumbangsih yang diberikan Kiai Warson tak bisa dilupakan dalam sejarah perkamusan di Indonesia. Kamus Al-Munawwir menjadi kamus Arab-Indonesia terlengkap di Indonesia dan negeri-negeri pengguna bahasa Melayu (Hamzah Sahal, 2013).

Politik bahasa
Dengan penyebutan atau penyusunan kamus Arab-Indonesia bukan Indonesia-Arab ini menunjukkan bahwa bagi Kiai Warson Munawwir, atau kalangan umat Islam Indonesia, bahasa yang menjadi sumber ilmu pengetahuan agama adalah bahasa Arab bukan bahasa Indonesia. Dan ini juga berarti bahwa rujukan bahasa pengetahuan adalah yang berbahasa Arab, dalam hal ini bisa dimaknai sebagai Timur Tengah. 

Dan ini juga menunjukkan bahwa yang menggunakan bahasa Arab adalah kalangan tradisionalis. Ini menunjukkan bahwa tipologi pengguna Kamus Al-Munawwir kebanyakan adalah kalangan pesantren yang masih begitu kokoh memegang tradisi kitab kuning yang berbahasa Arab. Keberadaan kamus yang paling mendapat ruang dan waktu di tengah-tengah masyarakat Indonesia ini tak bisa dilepaskan dari latar belakang pendidikan pesantren. Majalah Tempo edisi 13-19 Mei 2013 memuat tentang betapa besarnya kamus Al-Munawwir dalam kehidupan masyarakat santri, dalam penerjemahan kitab kuning dan naskah akademis. Bahkan, buah karya Kiai Warson ini digunakan hingga Malaysia dan Brunei Darussalam. 

Dan kita juga harus mengakui bahwa Kamus Al-Munawwir ini menjadi paradoks politik bahasa kalangan tradisionalis. Kemunculan dan cetak ulang Kamus Al-Munawwir yang terus berlangsung tidak sebanding dengan karya ulama (Indonesia) yang terus bermunculan. Kamus ini tetap hadir diperuntukkan untuk memahami kitab-kitab ulama yang sudah terbit berabad-abad lalu, bukan kitab-kitab berbahasa Arab ulama Indonesia apalagi yang mutakhir. 

Kamus Al-Munawwir yang terus mengalami cetak ulang tak sebanding atau bahkan berbanding terbalik dengan karya ulama yang ada di Indonesia pada saat ini. Dengan kata lain, jika Kamus Al-Munawwir mengalami masa-masa produktif yang masih akan terus berlanjut, produktivitas kepenulisan ulama-ulama Indonesia dalam bentuk kitab kuning berbahasa Arab sudah, sedang, dan akan terus mengalami krisis dan kelangkaan.   

Kehadiran Kamus Al-Munawwir menunjukkan bahwa buku-buku yang bukan berbahasa Arab menjadi hal yang sekunder atau bahkan tidak bisa diandalkan bahkan dipertanyakan keabsahan dan otoritasnya. Tapi, hal ini semakin tersaingi oleh produktivitas buku-buku islami yang bukan berbahasa Arab yang produktivitasnya semakin tinggi. Dan buku-buku inilah yang semakin akrab di kalangan pemuda Islam Indonesia. Bukan saja karena bahasanya adalah Bahasa Indonesia, tapi juga karena buku-buku ini menantang dan menarik perhatian mereka dalam segi pemikiran dan aktualitas yang melingkupi kehidupan aktual mereka. 

Tanpa hendak mempertentangkan dua kecenderungan ini, permasalahan ini semakin mendapatkan perhatian. Bukan karena kecenderungan beberapa pesantren yang mendapatkan perhatian dunia internasional, baik dalam segi politik atau akademis, karena isu terorisme. Tapi juga karena kecenderungan ulama mutakhir yang hampir semuanya menulis bukan dalam bahasa Arab yang bisa  diperantarai Kamus Al-Munawwir, tapi dalam bahasa Indonesia yang bisa diperantarai kamus berbahasa Indonesia.    

Maka, jika kita mengimpikan ulama yang tak hanya dakwah dari mimbar ke mimbar, kita juga mengimpikan ulama yang mempunyai sekarung kata atau setidaknya sejilid kitab berbahasa Arab. Ulama yang mempunyai kedekatan dengan Alqur’an dan Hadits, yang berbahasa Arab, yang menjadi sumber utama kitab-kitab klasik. Namun, bukan hanya kedekatan saja tapi kemampuan untuk mendekati Alquran dengan penerjemahan dan penafsiran, dalam bentuk penulisan kitab, sehingga dengan begitu Alquran dan Hadits menjadi membumi dalam kehidupan umat.

Tentu peran Kiai Warson tak hanya menyentuh sebagian lapisan masyarakat saja melainkan kalangan akademis pun juga turut ada di bawah dalam tuntunannya. Inilah ulama yang kita rindukan untuk masa kini, masa ulama yang sudah menghilangkan kepeduliannya terhadap pergaulan dan kehidupannya dengan dunia kata. Dengan demikian, karya Kiai Warson yang fenomenal itu adalah undangan bagi para ulama untuk menulis!  

Mutimmatun Nadhifah, Mahasiswa Tafsir Hadis IAIN Surakarta


Terkait