Opini

Ki Hajar Dewantara, Pesantren, Budi Pekerti, hingga Ngaji Online

Kamis, 15 Juni 2017 | 07:00 WIB

Ki Hajar Dewantara, Pesantren, Budi Pekerti, hingga Ngaji Online

Ilustrasi (harian.analisadaily.com)

Oleh Hamzah Sahal

"Kesalahan bangsa ini adalah memfosilkan bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, dan itu sudah terlalu lama. Padahal, pendidikan itu penting untuk menanamkan budi pekerti bagi anak-anak." Demikian dikatakan sesepuh penyair Umbu Landu Paranggi seperti dikutip Kompas hari ini (16 Juni 2017).

Saya kira penting pernyataan di atas dikopi dihantarkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, agar menjadi bahan refleksi denyut nadi pendidikan kita. Refleksi pendidikan tidak harus berupa seminar atau kegiatan yang menghabiskan dana ratusan  atau milyaran rupiah.

NU dan pesantren juga sedih sekali Ki Hajar difosilkan begitu. Yang mengenalkan saya dengan Ki Hajar adalah orang pesantren, aktivis NU, dan sekarang sudah jadi kiai. KH Abdul Mun'im DZ namanya. Buku tebal karya Ki Hajar kugandakan banyak dan kuposting di FB.

Orang pesantren memang banyak cocok dengan Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar juga cocok dengan model pendidikan pesantren, terutama nilai ketauldanan dan sistem asramanya. 

Nah, hebatnya pesantren, pendidikan akhlak atau budi pekerti sudah menyatu dalam sistem kebudayaan, kultur. Sistem kurikulum, nilai-nilai, praktik dalam proses pendidikan, alumni, hingga menjadi komunitas di masyarakat, yang kita sebut sebagai masyakarat pesantren/santri, telah mapan.

Jika seorang Umbu Landu Paranggi resah dengan pendidikan budi pekerti, masyarakat pesantren adalah kekecualian dari keresahan penyair hebat ini. Tentu saja, saya tidak bermaksud mengglorifikasi pesantren, karena bagaimanapun, pesantren juga punya kelemahan.

Budi pekerti, akhlak, etika, telah mapan dan tersistem dalam proses pendidikan di pesantren. Tahukah Anda bahwa proses pendidikan di pesantren itu menerapkan sistem minal mahdi ilal lahdi (dari sejak dini hingga liang lahat)?

Secara singkat saya sampaikan di sini bahwa pendidikan model santri/pesantren tidak hanya berhenti saat lulus atau wisuda saja. Proses pendidikan, di dalamnya ada pengajaran, masih berlangsung hingga murid, santri, sudah boyong pulang kampung. 

Saat kelulusan, biasa disebut Khataman, seorang pengasuh atau kiai pesantren akan menyampaikan pesan-pesan penting untuk santri. Antara lain satu pesan ini:

"Seorang santri, alumni, akan bermanfaat ilmunya, berhasil dan sukses kehidupannya, jika saat menjadi bagian masyarakat, masih menjadi murid dan menjadi guru sekaligus." 

Menjadi murid artinya kita diharapkan terus belajar, terus mencari ilmu sampai mati. Menjadi guru adalah semangat menyampaikan dan menyebarkan ilmu, dalam kelas, ceramah, khotbah dan dalam praktik keseharian: menjadi tauladan.

Para alumni beragam dalam menafsirkan pesan kiai di atas. Di antara yang paling populer adalah, semangat mendirikan institusi pendidikan, antara lain populer dengan sebutan madrasah diniyah atau sekolah keagamaan, yang bersifat informal. Dulu, madrasah diniyah disebut dengan sekolah Arab.

Madrasah diniyah ini, dari mulai yang muridnya hanya belasan yang tempat ngajinya hanya di serambi mushala atau rumah, hingga yang muridnya mencapai seribu yang tempatnya hingga di gedung bertingkat. Jam pelajaran madrsah diniyah ini pukul dua hingga jelang Magrib atau pukul empat hingga malam. Hampir semua kampung di Indonesia ini memiliki madrasah diniyah dengan model yang berbeda-beda.

Selain madrasah diniyah, yang lazim juga, adalah komunitas alumni pesantren tertentu. Misalnya pesantren Tebuireng Jombang atau Krapyak Jogja, Lasem Rembang, Cipasung Tasikmalaya. Para alumni membuat komunitas di daerahnya masing-masing, yang salah satu kegiatannya adalah mengaji kitab favorit atau kitab lanjutan yang lebih tinggi, biasanya di bidang tasawuf atau tafsir. 

Di majlis itulah para alumni yang sudah jadi ustadz atau kiai berkumpul mendegarkan alumni yang senior atau dianggap ahli membaca dan mendiskusikan satu kitab yang telah disepakati. Mereka berkumpul tentu sambil silaturahim dan ngopi, yang merupakan tradisi pesantren juga.

Itu sekedar contoh kecil praktik pendidikan ala pesantren yang berkesinambungan, minal mahdi il lahdi. Hari ini, praktik ngaji kitab ala pesantren berkembang memanfaatkan teknologi. NUTIZEN, media Islam di lingkungan NU, mengkampanyekan pengajian secara daring (online), baik facebook, youtube hingga aplikasi yang dimiliki NUTIZEN sendiri. Dari mulai Kiai Mustofa Bisri dari Rembang, Kiai Said Aqil dari Jakarta, Gus Rozin dari Pati, Mas Ulil Abshar Abdallah dari Bekasi, Gus Yusuf dari Magelang, hingga ustadz muda yamg baru berumur 25 tahun, ngaji secara daring. Ratusaan orang dari berbagai daerah hingga luar negeri, menyimak melalui ponsel atau komputer. Ada ratusan pengajian daring saat bulan Ramadan ini.

Dan inilah --ini misi pesantren yang sangat penting-- dakwah pesantren dalam rangka menciptakan masyarakat Islam. 
Masyarakat Islam ala pesantren terbentuk secara kultural, yang sudah berlangsung puluhan tahun bahkan sudah berabad-abad. Orang sembayang lima waktu, perempuan berjilbab, zakat, tidak minum alkohal, dilakukan atas dasar kesadaran, bukan lewat Perda Syariah atau Khilafah Islamiyah.

Inilah jalan panjang dakwah pesantren dengan satu kata kuncinya, budaya atau kultural, yang sesuai dengan perjuangan Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan kita. Kata kunci tersebut berkontribusi besar dalam proses keberislaman dan keindonesiaan.

Penulis adalah Koordinator Divisi Media, Informasi dan Data, PP RMI NU


Terkait