Ibnu Khaldun (1332 - 1406 M) menulis al-Muqaddimah. Kitab yang menjadi legendaris ini sebenarnya merupakan pengantar dari kitab al-'Ibar, tapi pengantarnya ini yang lebih terkenal sampai di masa sekarang --600 tahun setelah wafatnya Ibnu Khaldun. Kitab al-Muqaddimah ini isinya gado-gado membahas berbagai hal dengan pisau analisa sejarah sosial yang bernas.
Ibnu Khaldun yang enam kali bolak-balik diangkat-dipecat jadi Hakim untuk mazhab Maliki itu disebut-sebut sebagai peletak dasar ilmu sosiologi dan ekonomi. Membaca ulasannya di al-Muqaddimah seperti sedang ngaji dengan profesor yang menguasai berbagai disiplin ilmu sekaligus: penjelasannya padat bergizi dan juga orisinil.
Mungkin selain karena menguasai berbagai kajian berbeda, beliau juga punya pengalaman panjang bolak-balik masuk penjara dan jadi sekretaris negara, didera berbagai fitnah dan hinaan serta pujian. Komplet pengalaman hidupnya, komplet pula ilmunya.
Salah satu bahasan dalam al-Muqaddimah adalah tentang tasawuf. Ibnu Khaldun hidup sekitar 200 tahun setelah wafatnya Hujjatul Islam Imam al-Ghazali. Tidak heran Ibnu Khaldun terpengaruh dengan corak tasawuf al-Ghazali seperti yang bisa kita baca di sini:
"Imam al-Ghazali yang dirahmati Allah telah mengumpulkan pembahasan kedua masalah tersebut [Syari'ah dan Tasawuf] dalam kitab Ihya dimana beliau menulis tentang hukum al-wara' dan jalan petunjuk, lalu menjelaskan tata cara dan prilaku kaum sufi dan istilah yang mereka gunakan dan ungkapkan."
Ibnu Khaldun merujuk kepada Imam al-Ghazali ketika menjelaskan bahwa Syariat dan tasawuf itu tidak perlu dipertentangkan, bahkan menurut Ibnu Khaldun, ilmu tasawuf ini merupakan bagian dari ilmu Syari'at yang muncul di waktu belakangan. Aktivitas zuhud merupakan hal yang biasa dilakukan para sahabat Nabi. Baru pada masa selanjutnya menjadi bidang ilmu sendiri.
Ibnu Khaldun mengungkapkan:
"Ilmu Syariat menjadi dua bagian: ada bagian khusus untuk para ahli fiqh dan ahli fatwa, dan ini berkenaan dengan hukum umum dalam ibadah, tradisi dan muamalat. Bagian lainnya khusus untuk kaum sufi yang bermujahadah dan bermuhasabah, dimana bagian ini membahas tentang cita rasa (al-adzwaq) dan pengalaman spiritual, cara meningkatkan kualitas ibadah dari satu rasa ke rasa lainnya dan menjelaskan berbagai istilah yang dipakai kaum sufi."
Ibnu Khaldun mengakui adanya berbagai karamah yang dialami kaum sufi. Beliau bahkan membantah sementara ulama yang mengingkari karamah.
Namun demikian Ibnu Khaldun mengingatkan soal karamah ini:
"Pengungkapan rahasiaNya ini banyak diperoleh oleh mereka yang bermujahadah dan melakukan olah spiritual. Mereka dapat mengetahui hakikat sesuatu yang tidak diketahui orang lain, dan juga tahu peristiwa sebelum terjadi, dan menggerakkan orang lain mengikuti mereka. Namun para tokoh sufi tidak mau mengatakan ini sebagai pencapaian, mereka tidak mau melakukan tindakan apapun atau memberitahu sesuatu yang tidak ada perintahNya kepada mereka untuk mengungkapkannya. Ini semua dianggap sebagai ujian. Mereka senantiasa berlindung kepada Allah, seperti yang dilakukan oleh para sahabat Nabi radhiyallah anhum".
Jelaslah sudah bahwa bagi Ibnu Khaldun bukan saja tasawuf harus beriringan dengan Syariat tapi juga tasawuf itu berkenaan dengan mujahadah dan muhasabah.
Karamah itu cuma bonus, makanya aneh kalau ada yang malah mengejar karamah apalagi petantang-petenteng pamer kesaktian. Yakinlah orang seperti itu bukan Sufi yang dimaksud Ibnu Khaldun dan para ulama lainnya. Mungkin itu Sufi yang punya identitas lain, entah itu ngaku-ngaku Sufi padahal cuma Suka-Film atau Suka-Fitnah.
Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Ma'had Aly Raudhatul Muhibbin, Caringin Bogor pimpinan DR KH M Luqman Hakim.