Opini

Ketika Dengar NU, Sakit Mbah Muchit Sembuh

Selasa, 8 September 2015 | 11:01 WIB

Bagi banyak kalangan Nahdliyyin nama Kiai Muchit terkenal sebagai ensiklopedi hidup Nahdlatul Ulama. Namun, bagi saya secara pribadi namanya jauh lebih besar. Ia merupakan sosok yang sangat setia dengan kesetiaan sejati kepada Nahdlatul Ulama.

<>Wajarlah jika ketika pada sekitar tahun 2008 ia mendapatkan gelar Bintang Kesetiaan Nahdlatul Ulama dari PBNU yang ketika itu ketua umumnya adalah adiknya sendiri yakni Kiai Hasyim Muzadi.

Saya secara pribadi mempunyai kenangan cukup mendalam tentang kiai yang satu ini. Ketika itu, kami mengikuti sebuah kegiatan workshop kaderisasi Ahlussunnah wal Jamaah di Pondok Pesantren Al-Hikam Malang. Waktu itu seingat saya pada awal Februari tahun 2014 lalu. Di tengah-tengah tiba-tiba beliau datang ke arena acara yang dilaksanakan di Aula Pesantren Al-Hikam dengan menggunakan kursi roda dengan dibantu seorang santri. Memang sudah beberapa minggu lamanya ia tinggal di Al-Hikam.

Sontak saja para peserta banyak berhamburan berebut untuk mencium tangan beliau. Dan, yang membuat saya tidak bisa melupakan hal itu adalah karena ia berbisik pada semua hadirin yang mengikuti acara tersebut dengan bilang: “Sepurane rek yo, aku terlambat....” (Maaf nak ya, saya terlambat).

Saya jadi ingin menangis mengingatnya. Bayangkan, orang seuzur beliau yang telah kepala sembilan masih memperhatikan hal-hal seremeh itu. Ia kemudian duduk bersama para pemateri yang ketika itu hadir disana antara lain: Gus Ishraqun Najah (Ketua PCNU Kota Malang), Kiai Marzuqi Mustamar (Syuriah PWNU Jatim), dan Ustadz Idrus Ramli sebagai pemateri dalam acara tersebut.

Sebelum memulai pembicaraan, ia mengatakan bahwa sebelumnya ia sakit perut dan diare. Namun karena mendengar ada acara NU ia kemudian menjadi sehat kembali.

“Ini tadi saya lagi murus (diare) jadi tidak bisa kemana-mana. Tapi ketika mendengar bahwa ada acara NU, saya langsung sembuh. Memang saya biasanya demikian, kalau sakit dengar acara NU langsung sehat. Jadi NU adalah obat,” katanya, disambut tawa peserta yang hadir.

Saya sendiri Insya Allah tidak termasuk yang tertawa, karena justru merasa heran, kok ada kiai sampai seperti itu.

Ia kemudian diminta untuk memberikan sambutan. Dan jika saya perhatikan, saya melihat bahwa uraian-uraiannya adalah semua pokok-pokok bahasan dalam buku Khittah Nahdliyah yang ditulis Kiai Ahmad Shiddiq.

Setelah sekitar lima belas menit beliau sambutan, ia mengakhiri bahasannya dengan mengucapkan beberapa kalimat dengan nada hampir menangis. Kata-kata beliau kurang lebih seperti ini:

“Saudara-saudara, saya mohon maaf sebesar-besarnya kepa kalian semuanya. Karena tidak banyak mengambil peran dalam perjuangan kalian di masa ini. Apa yang bisa saya bantu untuk diberikan hanyalah hal-hal yang sifatnya sangat mendasar sekali,” katanya.

Selesai memberikan sambutan, ia tidak langsung turun meninggalkan arena. Bahkan salah seorang santri dan beberapa kiai mengajaknya untuk beristirahat, tapi tidak mau. Alih-alih ia justru minta makalah pemateri dan membaca serta menyimak sampai pemateri selesai. Wah, sampai segitunya.

Begitulah Kiai Muchit, betapa cintanya ia pada NU. Bukan cinta biasa tapi cinta yang penuh makna dan berlandaskan agama. Benar-benar setia, benar-benar istiqamah. Al-Fatihah.... (R Ahmad Nur Kholis)


Terkait