Opini

Ketika Bendera Fiksi Jadi Alarm Sosial

Sabtu, 9 Agustus 2025 | 07:34 WIB

Ketika Bendera Fiksi Jadi Alarm Sosial

Ilustrasi bendera One Piece. Sumber: Canva/NU Online.

Menjelang peringatan HUT ke-80 RI, marak aksi pengibaran bendera One Piece di sejumlah tempat oleh kalangan muda. Fenomena ini memancing tanggapan dari berbagai pihak. Sejumlah pejabat menyuarakan kekhawatiran bahwa simbol fiksi ini bisa mengaburkan identitas nasional dan dianggap tak layak disejajarkan dengan simbol negara.


Namun, pendekatan yang semata-mata represif tampaknya tidak menyentuh akar persoalan. Sebab pengibaran bendera One Piece itu tetap berlangsung berdampingan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Fenomena ini lebih tepat dibaca sebagai ekspresi simbolik generasi muda—sebuah bentuk komunikasi sosial yang perlu didengar, bukan dituduh.


Bonus Demografi: Krisis Regenerasi atau Harapan Rusak?
Generasi muda kita disebut sebagai bonus demografi, tetapi realitasnya menohok: data BPS (Februari 2025) menyebut 16,16% pengangguran pada usia 15–24 tahun—jauh melampaui rata-rata nasional 4,76%. Ini bukan angka kosong, tetapi cermin kegagalan merawat generasi.


Alih-alih memanen bonus demografi, kita justru terjebak pada jebakan demografi: sebuah situasi ketika usia produktif tidak bisa diberdayakan, lalu pelan-pelan kehilangan harapan. Dan ketika harapan tak mendapat ruang, maka simbol alternatif pun bermunculan—bukan untuk memberontak, melainkan untuk mengabarkan sesuatu yang luput didengar.


Simbol Fiksi sebagai Bahasa Protes
One Piece bukan sekadar simbol fandom. Dalam konteks pengibaran lambang bajak laut itu, ia menjadi metafora moral: tentang pemberontakan terhadap sistem yang tak lagi mewakili keadilan. Ketika simbol resmi tak lagi resonan, muncul simbol alternatif yang terasa lebih jujur, lebih inklusif, dan lebih menggambarkan keresahan.


Simbol alternatif seperti ini muncul bukan karena anak muda benci Merah Putih, melainkan karena mereka ingin bicara—dengan bahasa yang mereka pahami dan dengan simbol yang mereka akrabi. Dan jika negara terlalu cepat melabeli itu sebagai ancaman, yang terjadi adalah jurang komunikasi yang makin lebar.


Bendera bajak laut yang dikibarkan itu berasal dari anime dan manga Jepang berjudul One Piece, karya Eiichiro Oda, yang sangat populer di kalangan anak muda dunia, termasuk Indonesia. Dalam kisahnya, simbol tengkorak bertopi jerami tersebut adalah lambang kelompok bajak laut Topi Jerami (Straw Hat Pirates) yang dipimpin oleh tokoh utama bernama Monkey D. Luffy.

 

Ia digambarkan sebagai anak muda yang berani, polos, dan idealis, dengan satu cita-cita besar: menjadi Raja Bajak Laut yang membebaskan laut dari kekuasaan sewenang-wenang dan korupsi kekuasaan dunia.


Makna simbolik dari bendera tersebut tidak berakar pada kekerasan atau kriminalitas, melainkan pada semangat perlawanan terhadap ketidakadilan global, solidaritas antarteman, dan kebebasan berekspresi. Itulah sebabnya banyak anak muda hari ini merasa lebih terwakili oleh simbol fiksi seperti bendera Luffy ketimbang simbol formal negara yang kadang terasa asing dan terlalu birokratis.


Negara Harus Mendengar, Bukan Membungkam
Negara yang demokratis bukanlah yang paling represif terhadap simbol, melainkan yang paling dewasa dalam menyikapinya. Ketika simbol seperti bendera bajak laut muncul, negara harus memilih membuka dialog daripada sekadar menindas. Dialog bukan kelemahan, tetapi fondasi bagi identitas kebangsaan yang inklusif dan responsif.


Apa gunanya kemerdekaan jika negara justru takut pada suara warganya yang paling muda? Demokrasi yang sehat bukan berarti semua orang setuju pada satu bentuk ekspresi, tapi justru terbuka pada keberagaman bentuk dan cara dalam menyampaikan gagasan.


Kanal Ekspresi Simbolik yang Sah
Negara yang besar tidak menutup semua ekspresi alternatif—ia malah mengelolanya sebagai bagian dari percakapan publik. Simbol seperti bendera fiksi bisa menjadi jembatan kesadaran kalau dibangun dalam kanal inklusif: forum dialog pemuda, kebijakan sipil kreatif, dan perebutan narasi yang terbuka terhadap bentuk berbeda dari kebangsaan.


Jika simbol itu menyampaikan keresahan, negara yang bijak tidak alergi terhadap suara baru; justru ia merayakannya sebagai bahan penyempurnaan identitas nasional. Bukankah bangsa besar justru ditempa oleh benturan ide, bukan keseragaman buatan?


Lebih jauh dari sekadar perdebatan visual, simbol-simbol ini adalah wujud komunikasi yang muncul dari ruang kosong representasi. Maka, tanggung jawab negara bukan menutup ruang tersebut, melainkan memastikan setiap warga punya cara untuk menyampaikan isi hati dan pikirannya—dengan aman, setara, dan bermartabat.


Bendera One Piece di Negara Jepang dan Lainnya
Jepang Mendukung dan Melestarikan Bendera Topi Jerami (Jolly Roger) bukan hanya diterima, tapi dianggap simbol kebebasan, impian, dan perlawanan terhadap ketidakadilan.


Pemerintah Jepang tidak pernah melarang atau menganggapnya kontroversial. Merchandise resmi dan replika bendera dijual bebas.


Kadang dipakai dalam parade budaya, taman hiburan, atau kolaborasi resmi. Bahkan kapal Thousand Sunny (replika) pernah digunakan dalam promosi pariwisata Jepang.


Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Filipina, dan sebagian besar negara Asia melihatnya sebagai bagian dari budaya pop, bukan simbol ancaman. Dalam konvensi anime atau cosplay, bendera ini populer dan bebas digunakan.


Catatan Penting
Bendera One Piece adalah simbol kebebasan imajinatif dalam budaya pop Jepang dan diterima positif di banyak negara. Namun, pemakaiannya tetap harus mempertimbangkan konteks sosial-politik dan aturan hukum setempat.


Pengibaran bendera One Piece oleh sebagian anak muda di negeri ini tidak dapat serta-merta dimaknai sebagai pelanggaran hukum, apalagi dianggap sebagai tindakan makar. Tidak ada satu pun pasal dalam perundang-undangan Indonesia yang secara eksplisit melarang penggunaan simbol budaya populer dalam ruang ekspresi non-formal selama tidak menggantikan atau merendahkan simbol negara.


Dalam kasus ini, bendera Merah Putih tetap dikibarkan secara sah. Pengibaran simbol fiksi seperti bendera bajak laut Straw Hat Pirates bukan bentuk pelecehan terhadap negara, melainkan ekspresi simbolik yang menyuarakan keresahan sosial. Ia hadir bukan untuk menandingi, melainkan untuk memperlihatkan adanya jarak antara generasi muda dan kanal resmi representasi nasional.


Dari Alarm Simbolik ke Dialog Nyata
Pengibaran bendera One Piece bukan provokasi terhadap republik, tapi alarm sosial yang menandakan generasi muda sedang berbicara dengan cara kreatif karena ruang dialog resmi terlalu sempit. 


Bukan hukum yang semestinya jadi reaksi pertama, tetapi keinginan untuk mendengar. Karena jika negara gagal membaca bahasa simbolik anak muda, maka generasi ini bisa memilih jalan lain: menciptakan ruang baru yang lebih mengerti mereka, lebih terbuka, dan lebih siap menyambut cara pikir baru.


Jika simbol fiksi digunakan sebagai bentuk komunikasi damai, maka negara yang demokratis justru harus menanggapinya dengan pendekatan dialog, bukan represi. Di sinilah alarm simbolik memainkan perannya: ia tidak menggugat fondasi republik, tetapi mengetuk pintu kesadaran agar negara lebih peka terhadap suara-suara baru dari generasi muda.


Kita buka telinga dan mata batin kita: anak muda kita sedang membunyikan alarm protes. Mari kita dengar. 

 

KH Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Pondok Pesantren Al‑Amin Mojowuku, Kedamean Gresik, Anggota Komisi Fatwa, Hukum & Pengkajian MUI Kabupaten Gresik, Pemerhati Isu Kebangsaan dan Pemikiran Keislaman Inklusif