Opini

Ke(tidak)jelasan PB-PMII

Ahad, 9 Agustus 2015 | 19:00 WIB

Oleh: Abdul Rahman Wahid
Organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) baru saja menyelesaikan Muktamar yang ke-33 di Jombang. Pelaksanaan yang memakan waktu hingga enam hari itu menyita perhatian masyarakat luas. Di lokasi kita bisa menyaksikan bagaimana warga Nahdliyin dan warga sekitar berbondong-bondong turut serta meramaikan acara yang digelar setiap lima tahun sekali.<>

Muktamar ke-33 NU ini tidak hanya membahas persoalan siapa yang akan menjalankan kursi kepemimpinan NU lima tahun ke depan. Sebenarnya itu persoalan kecil, dan NU sudah begitu terbiasa menyelesaikan persoalan semacam itu. Beragam persoalan bangsa Indonesia, juga menjadi agenda penting dalam pelakasanaan Muktamar NU yang dilaksanakan di tanah kelahirannya tersebut. 

Sebagai kader PMII, penulis merasa penting membahas keputusan sidang komisi organisasi yang pada pelaksanaan Muktamar ke-33 NU bertempat di Pesantren Mambaul Ma'arif, Denanyar Jombang. Pada sidang komisi organisasi yang kemudian dilanjutkan pada sidang pleno itu, diputuskan bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kembali menjadi Badan Otonom (Banom) NU yang bergerak di lingkungan Perguaruan Tinggi menaungi mahasiswa NU. 

Rencana PMII hendak dijadikan Banom NU itu merupakan rekomendasi hasil Sidang Komisi Organisasi Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) yang dilaksanakan pada tanggal 1-4 November 2014 di Jakarta. Kala itu NU memberi tenggang waktu kepada PMII hingga pelaksanaan Muktamar ke-33 NU digelar.

Keputusan komisi organisasi tersebut ditentang keras oleh Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB-PMII). Ketua Umum PB-PMII, Aminudin Ma'ruf menganggap keputusan sidang komisi organisasi tersebut tidak aspiratif. Bahkan Ia menilai bahwa keputusan tersebut sangat sepihak. NU dianggap arogan dalam menyikapi. Sehingga, pihak PMII tidak mempunyai ruang untuk menyampaikan pandangannya. 

Menurut penulis, yang menjadi persoalan terkait keputusan sidang komisi organisasi itu bukanlah persoalan kembali atau tidak menjadi Banom NU. Akan tetapi sikap PB-PMII yang berada dalam ke(tidak)jelasan menanggapi persoalan rekomendasi hasil Munas-Konbes NU yang sembilan bulan sebelumnya sudah didengungkan. Ada beberapa hal yang membuat penulis penting menuangkannya. 

Pertama, persoalan tanggapan secara struktural. Sejak rekomendasi Munas-Konbes NU digulirkan, PB-PMII tidak memberi tanggapan serius secara struktural. Sebagai pimpinan tertinggi organisasi berlambang perisai, PB-PMII terlihat diam. Sudah terlampau banyak tulisan yang tercecer meminta PB-PMII agar memfasilitasi forum nasional untuk membicarakan persoalan ini. Bahkan setingkat Rayon, ada yang sampai mengadakan lomba kepenulisan dalam menyikapinya. Meskipun tidak sempurna, setidaknya ada upaya serius dari lapisan bawah untuk menjawab persoalan PMII akan ditarik kembali menjadi bagian struktural NU. Akan tetapi, semua itu tidak terjadi di PB-PMII. Tidak ada forum besar untuk menanggapi hasil rekomendasi Munas-Konbes NU tersebut. Hingga akhirnya, persoalan menjadi Banom atau tidak hanya menjadi perbincangan tanpa menemukan titik kesepakatan bersama. 

Kedua, sikap PB-PMII atas hasil keputusan sidang komisi keorganisasian pada Muktamar NU ke-33 di Jombang. Penolakan keras yang disampaikan ketua umum Aminuddin Ma'ruf dianggap mewakili suara PMII se-Indonesia. Penulis rasa, komentar itu lebih kepada suara kelompok saja. Bagaimana tidak, tanpa forum bersama statement semacam itu tidak pantas disampaikan. Meskipun sebelum melakukan jumpa pers ada pertemuan yang dikemas dengan halal bihalal. Bagi penulis, pertemuan itu tidak bisa dijadikan alasan bahwa PMII sudah melakukan musyawarah secara nasional. Walaupun dalam forum halal bihalal tersebut membicarakan persoalan PMII kembali ke NU, tetap saja tidak bisa dijadikan sebagai suara PMII secara keseluruhan. Bagaimanapun juga, PMII organisasi yang mempunyai aturan. Musyarawah sebagai fasilitas untuk membicarakan persoalan itu harus disediakan sebagaimana diatur dalam AD/ART PMII. Baru setelah itu apa yang dihasilkan di musyawarah bisa disampaikan oleh PB-PMII mewakili suara PMII se-Indonesia. Nah, itu sama sekali tidak telihat dan PB-PMII tidak berinisiatif untuk melakukan itu. 

Ketiga, PB-PMII meminta "Interdepedensi" agar dimasukkan ke AD/ART NU. Sedikit tergelitik mendengar komentar ini. Sepertinya PB-PMII kurang begitu mengerti apa itu interdepedensi. Secara teoritis, interdependensi lahir dari kajian hubungan internasional yang menekankan bahwa apapun dengan kelebihan dan kekurangan yang ada harus berinteraksi dengan yang lain. Itulah sikap interdepedensi yang dilakukan PMII sewaktu menekankan statusnya kembali melalui Kongres di Cibogo. Meskipun PMII menyuarakan interdependensi hanya sebatas historis dan visi keagamaan, pada kenyataannya PMII juga berbicara ke arah yang lain. 

Hal ini bisa dilihat pada hubungan yang sangat terbuka ini, kemungkinan PMII menerima banyak bantuan, inilah letak kesalahannya. Jika PMII semakin tergantung dengan NU, utamanya urusan finansial. Maka, PMII sudah seharusnya mampu memberikan apa yang diinginkan NU. Sebab, dalam interdependensi harus ada keuntungan yang bersifat feed-back. Artinya, antara satu dengan yang lain harus saling menguntungkan. Sudahkah yang semacam ini dilakukan keduanya? 

Menurut penulis sendiri kembalinya PMII menjadi Banom NU merupakan keputusan strategis. Ada beberapa alasan kenapa hari ini PMII penting menjadi penerus NU dan dikokohkan secara struktural. Pertama, jenjang kaderisasi. Dengan kembalinya PMII sebagai Banom NU, maka jenjang kaderisasi NU akan berjalan sebagai mana mestinya. Di ranah pelajar, IPNU-IPPNU menjadi kader NU yang akan melaksanakan agenda perjuangan di sekolah-sekolah. Selanjutnya, PMII yang akan menaungi Mahasiswa NU di ruang-ruang kampus. Begitupun Ansor menjadi komunitas dikalangan pemuda NU secara umum dan Fatayat menjadi komunitas di kalangan pemudi NU secara umum. Jika NU tidak mempunyai Banom yang bergerak khusus dikalangan mahasiswa, maka jenjang kaderisasi NU akan tumpang tindih. Seperti yang telah kita ketahui selama ini. Tentu ini tidak kita inginkan sebagai bagian dari keluarga besar NU. 

Kedua, kader PMII bisa berkontribusi secara nyata untuk membesarkan NU. Hal itu terjadi karena ada beban struktural yang harus disisihkan untuk membesarkan NU. Artinya, PMII benar-benar sebagai pewaris sah organisasai yang di pelopori Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy'ari tersebut. Dalam situasi dan kondisi apapun, PMII mempunyai kewajiban untuk membesarkan NU. Karena PMII lahir dari rahim NU.

Ketiga, mengawal kebijakan NU. Setiap kebijakan yang dikeluarkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menjadi agenda PMII diranah kampus. Semisal, kebijakan menentang ISIS. Maka, PMII punya kewajiban di kampus untuk menyampaikan bahwa ISIS adalah paham yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Singkatnya, ada kesinambungan antara PMII dan NU dalam menjalankan agenda sosial keagamaan maupun persoalan kebangsaan. 

Terakhir, alasan dan ketegasan dalam menanggapi ajakan ini menjadi sangat penting. Kalau memang menerima, PMII harus mampu memberi alasan kongkrit dan apa yang akan dilakukan setelahnya. Begitupun sebaliknya, jika tidak sepakat untuk kembali menjadi Banom NU. Semuanya harus dilandasi alasan dan argumentasi yang jelas. Tentunya, harus sesuai dengan agenda besar kaderisasi PMII sendiri. Dalam agenda kaderisasi yang telah dirumuskan pengurus besar melalui amanat Kongres, PMII ini mau dibawa ke mana? Ini harus disesuaikan. Jika tidak mampu memberi alasan, maka sangat disayangkan. Apalagi, selama ini PMII lantang berteriak sebagai market idea. Gudang gagasan itu harus dibuktikan bukan hanya menjadi warisan slogan dari generasi ke generasi. 

Penulis sendiri mengerti bahwa hal semacam ini harus ditentukan melalui Kongres. Namun, yang sangat disesalkan sikap PB-PMII selama ini yang berada dalam ke(tidak)jelasan. Kalau pertimbangannya hanya persoalan kemandirian organisasi seperti yang sering didengungkan. Kenapa tidak dirombak sekalian, jangan ada keterikatan sekecil apapun. Sebagai kader, penulis melihat selama ini sikap PB-PMII tidak tegas dan cenderung politis menanggapi semua ini. Hingga alasan yang dilontarkan hanya sebatas anggapan dan kecurigaan yang selalu dikedepankan. Bukan alasan riil yang sudah begitu matang dirumuskan bersama dengan sekian pertimbangan. 

Sepantasnya pula yang hendak disampaikan harus berada dalam koridor kesopanan. Jujur, penulis sedih geli mendengar komentar ketua umum PB-PMII. Penulis melihat, kadar kesopanan dalam statement ketua umum tidak nampak. Padahal yang dihadapi adalah kiai-kiai, mereka adalah sesepuh atau orang tua kita semua. Mereka semua punya andil kenapa PMII bisa bertahan sampai saat ini. Ingat keta'dziman salah satu pembeda PMII dengan organisasi yang lain. Karena PMII juga lahir dari ide-ide brilian para kiai, PMII lahir atas alasan rasional dan juga spiritual. Maka, sudah sepantasnya sepakat atau tidak, sampaikanlah dengan cara yang sopan. 

Habislah sudah masa yang suram. 
Selesai sudah derita yang lama.

*) Penulis adalah kader Rayon PMII Ashram Bangsa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Terkait