Opini

Kembali ke Desa: Sebuah Renungan

Ahad, 3 September 2017 | 23:27 WIB

Kembali ke Desa: Sebuah Renungan

Ilustrasi desa (kompasiana).

Oleh Aswab Mahasin

Di awali dari Revolusi Industri, sebagian besar masyarakat negara maju/berkembang seakan-akan dipaksa untuk hijrah ke kota demi memenuhi kebutuhan hidupnya—dan desa ditinggalkan—hanya memiliki fungsi sebagai tempat pulang melepas rindu. Bagi para pengamat, ini merupakan bencana sosial, banyak efek ditimbulkan; urbanisasi menjadikan kota padat dan sebaliknyadesa menjadi sepi, otomatis pertanian dan peternakan kinerjanya mulai terpinggirkan.

Masyarakat lebih memilih bekerja dipabrik dan bentuk indutsri lainnya, daripada harus mengembangkan desa. Mungkin ini dikarenakan standar hidup semakin meningkat, dianggap hidup di desa tidak cukup memenuhi berbagai macam kebutuhan. 

Dalam struktur masyarakat demikian, akan terjadi proses relasi sosial tidak sehat, masyarakat menjadi kelompok “pesakitan”; individualisme, konsumtif, hedonis, dan sejenisnya. Namun, kita juga harus mengakui, di era sekarang ini, pancingan-pancingan yang dilemparkan atas restu pemerintah, seperti; produk tekhnologi, fashion, properti, dan kendaraan—sadar atau tidak sadar, menggoda kita. Dengan pendapatan terbatas, kita tidak mampu untuk membeli itu semua, akhirnya, kita mencari pendapatan yang lebih (demi gengsi sosial).

Pada kasus ini, tanggung jawab pemerintah sepertinya kurang maksimal. Apalagi iklim kesejahteraan di Indonesia belum merata, tapi pemerintah terus menerus ngiming-ngimingi masyarakat dengan berbagai hal menarik.

Sebagai orang desa, persepsi kita yang harus dirubah, membangun desa itu bukan dari kota, tapi kebalikannya “membangun kota dari desa” (jadi desa dulu yang harus kita bangun). Desa sudah menyediakan ladang kreativitas luar biasa, kadang kita ingin “instan”. Sehingga kita terhipnotis oleh angan-angan kebahagiaan semu. Padahal, daya tarik dari kota sebenarnya adalah “penindasan”, kita adalah orang-orang tertindas. Dan kita tidak sadar meng-“amini” ketertindasan kita dengan nilai-nilai semangat juang;nilai-nilai patuh, takut, malu, menerima, siap grak membuat kita hanya sebagai robot dari para penindas. 

Masyarakat kebanyakan tenggelam dalam situasi yang menindas, represif, dan tidak mampu lagi menyadari keberadaan dirinya. Mereka larut dalam iklim penindasan yang masif dan tidak mempunyai partisipasi aktif dalam tiap-tiap masalah yang muncul di tengah masyarakat (desa). Mereka terperangkap di dalam, menurut istilah Freire, “The Culture of Silence” atau kebudayaan bisu. (Siti Murtiningsih, “Pendidikan Alat Perlawanan”: 2004)

Dalam mengatasi masalah-masalah tersebut pemerintah memberikan solusi dengan mengglontorkan dana desa cukup banyak, desa setiap tahunnya bisa menerima 800 juta sampai 1 Miliar lebih, diharapkan desa mempunyai pembangunan infrastruktur memadai dan pendapatan masyarakatnya meningkat. 

Pada peristiwa ini, ada ketakutan Pak Luruh dan jajaranya, khususnya mengelola dana desa. Desa nampak hanya fokus dalam pembangunan infrastruktur; jalan, pasar, taman, dan sebagainya—Pak Lurah takut jika ada salah administrasi. Sehingga dana desa hanya difungsikan pada pembangunan yang sifatnya fisik semata, bukan mengedepankan pembangunan pada manusianya.

Padahal, salah satu yang membuat para pemuda desa merantau, penyebabnya adalah bukan karena jalan desa rusak dan pasarnya jelek/atau bangunan tamannya tidak bisa untuk selfi, melainkan minimnya pengetahuan mereka mengenai dunia kerja, minimnya pengetahuan mereka mengenai dunia kewirausahaan, dan miminmnya bimbingan/pendampingan usaha dari desa, karena desa tidak memfasilitasi demikian. 

Anehnya, masyarakat menerima itu sebagai kemajuan, dimana manipulasi pembangunan hanya sebagai pemanis bibir semata, supaya dianggap maju dan berkembang, dibalik itu semua ada tatanan yang tidak teratur, bahkan mungkin bobrok dalam pengelolaan dana desa, tidak menutup kemungkinan ketika pembangunan hanya fokus pada fisik (infrastruktur), gejela penggelapan dana desa lebih memungkinkan. 

Grabowski, dalam salah satu narasinya berpandangan, bahwa arti dan cita-cita pembangunan telah berubah menjadi medan konflik dalam tubuh masyarakat modern. Dari segi moralnya, sebagian besar pihak menerima pembangunan begitu saja sebagai mobilisasi berbagai daya dan potensi sosio-ekonomis. Pembangun dipercaya sebagai bentuk rekayasa sosial yang bermaksud mencapai suatu arah kehidupan yang lebih baik. Namun, sebagian lapisan sosial bersikap curiga dan resisten terhadap hal-hal yang serba modern. Artinya, pembangunan hanyalah kata pemanis saja untuk menutupi imperialisme kultural. (Siti Murtiningsih: 2004)

Dengan demikian, peran seluruh jajaran desa diharapkan mempunyai kecerdasan dalam membaca potensi masyarakat, agar pembangunan bisa mencapai cita-cita yang nyata, tidak hanya infrastruktur melainkan pembangun manusianya juga. Namun, tidak bisa dipungkiri, pembangunan yang merata dari segi fisik (infrastruktur) dan manusianya lebih diharapkan terjadi. Ini yang diinginkan pemerintah, supaya para pemuda desa tidak berduyun-duyun meninggalkan desanya. Semboyan, membangun negara dari desa, membangun bangsa dari desa, dan membangun kota dari desa, harus disemarakan sebagai kiprah perjuangan yang nyata.

Meninjau ulang kaderisasi

Kaderisasi merupakan pokok dari perputaran generasi, dianggap penting karena akan menggantikan generasi sebelumnya. Tanpa konsep kaderasi yang jelas, maka pembangunan sebuah organisasi ke depannya menjadi tidak stabil. 

Dalam hal ini, kita tidak hanya berbicarapada tataran teoritis, karena yang diharapkan dari sebuah proses kaderisasi adalah tindakan praktis, atau ide/konsep. Memang, bukan perkara sederhana membuat konsep untuk diterapkan pada ruang lingkup kompleks, khususnya desa. Namun, desa sudah kadung menjadi cita-cita kemajuan kota/bangsa, dengan itu mari kita bersama-sama merangkai ide dan gagasan, meninjau pada perspektif “kekinian” dan “kedisinian”. 

Di setiap desa, ada organisasi pemuda bernama “Karang Taruna”. Organisasi ini (menurut saya) menjadi agen terpenting dalam proses kaderisasi, dengan tidak mengesampingkan peran tokoh masyarakat dan perangkat-perangkat lainnya. Namun, fokus kita dalam hal ini adalah Karang Taruna. 

Saya sempat terkejut pada bulan puasa yang lalu, melihat siaran Youtube, yaitu kumpulan pemuda Karang Taruna membuat perlombaan—“lomba adzan bagi tukang ojeg/becak”. Tidak ada yang salah dalam aktifitas ini.Tapi cukup disayangkan,kebanyakan aktifitas-aktifitas yang dilakukan Karang Taruna lebih berbasis pada kemanfataan sementara, dan sebenarnya sama sekali tidak mempunyai nilai tambah. 

Lomba adzan memang mempunyai sisi spiritual yang tinggi, mengingatkan seseorang terhadap seruan kembali kepada Tuhan. Namun, pertanyaannya, apakah ini bagian dari proses kaderisasi yang ideial? Kenapa tidak lomba adzan untuk anak-anak, tidak lomba cerdas sekaligus cermat, tidak lomba menulis, tidak lomba-lomba lainnyadengan sasaran objek yang jelas. Dalam aktifitas kaderisasi ukurannya bukan “lain daripada yang lain”, melainkan harus dipikirkan juga ketepatan objeknya.

Perspektif “kekinian”, Karang Taruna juga harus membuka mata, khususnya mengenai kebutuhan masyarakat akan pemahaman zaman. Saya jarang sekali melihat program-program yang dilakukan Karang Taruna menyentuh inti kaderisasi. Saya teringat dengan konsep “intelektual organik” dari Gramsci sebagai basis gerakan, yaitu seorang penggerak harus bermanfaat terhadap masyarakat disekitarnya, ideologi kritis sebagai ideologi gerakan, dan militansi kuat terhadap intelektualitas atau kebenaran.

Oleh sebab itu, Karang Taruna sebagai wadah perkumpulan pemuda desa, lebih kreatif lagi dalam membangun paradigma berpikir masyarakat. Sasarannya adalah inti dari pembangunan itu sendiri, kemanfatan, daya kritis, intelektualitas, dan kebenaran.Hal-hal tersebut bisa ditempuh melalui perencanaan program Karang Taruna. Dalam perspektif “kedisinian”, untuk dapat menemukan konsep yang relevan bagi kebutuhan kaderisasi masyarakat, kita harus mengetahui terlebih dahulu garis besar yang dihadapi oleh masyarakat. 

Situasi psikologis dewasa ini adalah meluasnya keadaan yang tidak menentu, yang biasa disebut sebagai keadaan genting (galau), seperti; sedikitnya kesadaran untuk mengatasi masalah-masalah sosial (pergaulan bebas, dekadensi moral, dan ilmu pengetahuan dianggap tidak penting), sulitnya mengajak masyarakat kearah sikap hidup yang selaras, padahal sebuah program tidak akan berjalan jika tanpa restu masyarakat luas, dan minimnya fasilitas penunjang sarana-sarana kegiatan.

Keadaan ini kadang memotong semangat untuk terus bergerak. Namun, apakah merupakan sikap strategis jika kita hanya diam menunggu solusi ajaib? Kesadaran ini harus dibangun bersama, perilaku yang terus menerus akan menjadi contoh baik bagi pemahaman masyarakat yang belum seimbang. Mungkin dikarenakan hirarki rasionalitas di masyarakat. 

Karang Taruna harus mengambil langkah konkret dalam proses kaderisasi, pemuda membutuhkan kegiatan-kegiatan positif, jarang saya menemukan aktifitas seperti bedah buku, diskusi, dan pelatihan-pelatihan usaha yang dilakukan oleh Karang Taruna. 

Mungkin, setiap satu bulan sekali Karang Taruna dengan segenap jajarannya melakukan kegiatan-kegiatan yang menambah wawasan, seperti; menggelar diskusi ilmiah mengenai isu-isu terkini, pelatihan jurnalistik, manajemen usaha (manajemen restoran, pengelolaan usaha mikro – makro), dan Karang Taruna bisa juga membuat kelompok pembinaan ketrampilan bagi warga. Yang paling penting, saya tidak bosan-bosannya mengingatkan, jangan lupa dirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). 

Selain itu, kita juga bisa mengakomodir dan memfasilitasi potensi-potensi/bakat para pemuda, seperti; musik, melukis, menulis, dan sebagainya. Tidak menutup kemungkinan Karang Taruna membuat sebuah pageleran seni budaya desa.  

Mungkin yang akan muncul kemudian adalah masalah pendanaan, Karang Taruna bisa membuat divisi usaha, seperti bank sampah, atau membuat bisnis travel, atau membuat kelompok bisnis online (menjualkan dagangan dari masyarakat setempat melalui online). Yang pasti kreatifitas kalianlah yang akan menuntunmu pada kemajuan nyata. Bisa jadi, ide/gagasan/konsep di atas menurutmu adalah sesuatu yang susah direalisasikan, tapi sejatinya tidak demikian. Asalkan kita semua punya kemauan untuk membangun desa dengan serius, maka segala sesuatunya akan menjadi nyata, Kun Fayakun

Kata akhir, “Jangan tinggalkan desa, karena desa adalah penyangga peradaban bangsa”.

Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.


Terkait