16-12 bulan sebelum hijrah ke Madinah (Yatsrib), Nabi Muhammad SAW mengalami peristiwa dahsyat. Beliau diperjalankan (isra’) oleh Allah SWT dari Masjidil Haram di Makkah menuju Baitul Maqdis di Jerusalem, lalu naik (mi’raj) ke Sidratul Muntaha (akhir penggapaian), bahkan melampauinya, serta kembali lagi ke Makkah dalam waktu yang amat singkat.
Ini merupakan bukti bahwa 'ilm (ilmu) dan qudrat (kekuasaan) Allah meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa dipengaruhi oleh ruang dan waktu.<>
Ruang dan waktu adalah statistika manusia, perhitungan makhluk, sementara Tuhan adalah Sang Penguasa ruang yang tiada pernah dibatasi oleh ruang, Sang Penguasa waktu yang tiada pernah dipengaruhi oleh waktu.
Di tengah perdebatan tak berujung tentang segala hal yang menyelimuti Isra’ Mi’raj, pendekatan di atas mutlak dikedepankan untuk mendedah misteri perjalanan spektakuler Muhammad SAW dan meneguhkan keimanan umat Islam. Pendekatan imani ini telah dicontohkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq tatkala mendengar pengakuan langsung Isra’ Mi’raj dari bibir sang Nabi Agung.
Perdebatan tak berpungkasan tersebut biasanya seputar: apakah perjalanan Isra’ dan Mi’raj Muhammad itu dengan ruh saja, atau ruh dan jasad? Berapa kali Rasulullah Isra’ dan kapan waktu tepatnya? Mengapa pula perjalanan Isra’ mesti dilakukan ke Bait al-Maqdis?
Pun, tentang hakikat tujuh langit, Sidrat al-Muntaha, serta Buraq (kendaraan Muhammad ketika Mi’raj). Juga pertanyaan, bagaimana ihwal Rasulullah bertemu dan melihat Tuhannya (ru’yatullah) dalam mi’raj? Serta, masih banyak lagi sederet pertanyaan yang digulirkan untuk mendedah misteri perjalanan sakral-transendental Muhammad.
Al-Qur’an memang tidak pernah membeberkan peristiwa itu secara rinci dan sharih (gamblang). Al-Qur’an hanya mengisahkannya sekilas dan global. Sehingga, terbukalah ruang interpretasi yang luas bagi siapa pun yang ingin menguak misteri Peristiwa Agung itu.
Tak mengejutkan jika kemudian muncul kubu-kubu yang berseberangan: kubu doktrinal dan rasional, kubu literal dan liberal, serta kubu tekstual dan kontekstual. Semoga saja perbedaan ini hanyalah bagian dari dinamika wacana keilmuan, yang pada muaranya tetap bertujuan ke titik yang sama, yakni peneguhan iman.
Wahyu dan Akal
Kaum empirisis rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui Muhammad tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari gravitasi bumi?
Mengenai ini, acapkali kita (manusia) tidak bisa membedakan antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional. Mengapa demikian? Karena manusia adalah makhluk yang serba terbatas.
Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan: "Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Dan itu pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: "Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya."
Nilai Kepemimpinan
Isra’ dan Mi’raj sejatinya memuat pelajaran agung bagi siapa pun dan dalam konteks apa pun, termasuk bagi pemimpin dalam konteks keindonesiaan. Di antaranya: Pertama, purifikasi untuk mencapai integritas moral (akhlaqul karimah), sebagaimana tercermin dalam pembuka surat al-Isra', yang dimulai dengan ''tasbih'', juga peristiwa pembersihan dada Nabi dengan air zamzam dan disempurnakan dengan wudlu. Dalam konteks keindonesiaan, hal ini dapat diwujudkan dengan reformasi moral yang dimulai dari tingkat aparaturnya.
Kedua, yang tak kalah pentingnya adalah komunikasi yang harmonis dan menghargai sejarah. Ini terefleksi dalam singgahnya Rasulullah di tempat-tempat penting dan bersejarah, kemudian menemui para nabi pendahulunya. Dengan ini kontiunitas kesejarahan dan perjuangan dapat terus dipertahankan bahkan dikembangkan.
Dari hormonisasi kesejarahan inilah seorang pemimpin bisa belajar bagaimana menyikapi umatnya di masa sekarang agar lebih baik. Dalam ungkapan kaidah fiqh, ''Memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik'' (Al-muhafazatu 'alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah).
Ketiga, dengan dua bekal di atas (integritas moral dan belajar dari sejarah), diharapkan sebuah kepemimpinan dapat berjalan dengan benar dan tidak mudah terjerembab dalam godaan, sebagaimana teladan Nabi ketika menerima banyak godaan di waktu Mi'raj-nya.
Kepemimpinan seperti itu hanya bisa terwujud apabila seluruh aparaturnya tegak lurus, berkeadilan (al-'adalah), egaliter (al- musawah), konsisten dan disiplin (istiqamah), bertanggung jawab dan dapat dipercaya (amanah), serta mau merundingkan segala persoalan secara bersama (musyawarah).
Jangan sampai menjadi pemimpin yang berlagak sok pintar atau merasa paling tahu segala urusan (tanathu'). Pun, terhadap yang dipimpin jangan sampai mempersulit (tasydid), dan kebijakannya tidak melewati batas kemampuan yang ada (ghuluw) baik bagi yang dipimpin maupun sang pemimpin itu sendiri.
Keempat, merakyat (populis). Dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj, ajaran kerakyatan ini diteladankan Nabi melalui kerelaannya kembali (turun) ke bumi setelah liqa’ (bertemu) dan ru’yat (melihat) Allah. Padahal pertemuan dengan Allah adalah cita-cita dan tujuan akhir manusia. Mengapa sudi kembali ke bumi? Tak lain untuk menebar misi kesejahteraan dan kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin).
Dan kelima, perintah dari Allah untuk menegakkan shalat, pada dasarnya merupakan simbolisme yang mengajarkan prinsip kepemimpinan, yakni armonizáis hubungan antara hamba (manusia) dengan Tuhannya dan antara manusia dengan sesamanya.
Kepemimpinan dalam shalat tercermin dengan adanya seorang imam (jika berjama’ah). Apabila imam melakukan kekeliruan dalam kepemimpinannya, makmum (pengikut/rakyat) harus menegurnya (dengan cara tertentu yang arif).
Shalat yang diawali dengan takbir (mengagungkan Tuhan) dan dipungkasi dengan salam (kesejahteraan) juga mengandung arti, segala aktivitas kepemimpinan haruslah berlandaskan keagungan Tuhan (nilai-nilai keikhlasan lillah) dan disempurnakan dengan komitmen menyejahterakan umat/rakyat.
*Penulis adalah Kepala Pondok Pesantren Darul-Hikmah, Yogyakarta