Sekitar tahun 1990-an, Indonesia termasuk dalam kategori wilayah penghasil pangan yang berhasil. Sawah-sawah di pulau Jawa menghampar dengan subur dan alamiah. Tetapi seiring berjalannya kemajuan teknologi serta pembangunan, lahan pertanian yang dulu subur itu, kini berubah menjadi gedung-gedung pabrik, supermarket dan swalayan. Sangat disayangkan, ternyata dibalik majunya teknologi pembangunan di negara ini, ada sebentuk kebudayaan yang hampir tenggelam, salah satunya Wiwit.
Wiwit adalah bancakan sebelum panen padi. Termasuk salah satu bentuk tradisi yang penting untuk dilestarikan dalam dunia agraris. Karena tradisi ini mengandung makna estetika kebudayaan yang sangat tinggi. Lebih spesifik pada masyarakat agraria Indonesia yang berkebudayaan tinggi ini. Entah bagaimana saat ini, sebagai warisan kebudayaan, upacara Wiwit kini sangat sulit ditemui di belahan wilayah Indonesia. Saya membaca surutnya tradisi ini disebabkan oleh beberapa faktor yang amat mempengaruhi. Faktor itu diantaranya adalah menyempitnya lahan untuk bertani, yang dikalahkan proyek perumahan-perumahan dan perusahaan tempat investasi negara luar dengan begitu pesatnya bermunculan. Menyempitnya area persawahan itu mampu menyurutkan kesatuan minat petani untuk melanggengkan tradisi ini.<>
Dari banyaknya bangunan yang menggantikan hijaunya area persawahan tersebut, adalah suatu ‘beban berat’ bangsa untuk mengembalikan sebuah tradisi kultural dan kebudayaan luhur yang tersimpan dalam bingkai pertanian. Pasalnya bisa ditebak. Yakni kurang adanya ‘dana kehidupan’ dari para petani kecil untuk menghidupi keluarga dan mempertahankan sawahnya dari kaum pemodal (kapitalis). Dengan tawaran harga yang relatif tinggi, ahirnya banyak dari mereka dengan terpaksa menjual tanah persawahannya. Fenomena macam ini, bisa dideteksi melalui identifikasi masalah. Mengapa para petani menjual tanah persawahan mereka pada kaum kapitalis?
Jawabanya sangat sederhana. Salah satu alasan yang tepat adalah kemiskinan yang masih massif di Indonesia. Diakui atau tidak para petani kecil yang mempunyai sawah, mempunyai beban tanggung jawab memberi nafkah kepada keluarga. Dengan hanya mencangkul seharian di sawah, dengan perolehan penghasilan kurang memadahi, akhirnya mereka pun tidak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan hidup. Utang pun mereka lakukan. Maka dari itu, tidak ada pilihan lain bagi “pak tani” untuk tidak menjual tanah persawahannya, lebih-lebih dengan harga tawar dari kaum kapitalis yang cukup menggiurkan, bisa ditebak mereka akan melepas sawahnya, dan tradisi yang diwariskan secara turun temurun dalam bertani itu, secara tak langsung pasti juga akan ‘terjual’.
Alternatif
Menyikapi masalah ini, sebagai langkah alternatif untuk mengembalikan tradisi warisan kebudayaan dalam himpitan ekonomi, sangat tepat bila meminjam istilah Nico L. Kana (kongres kebudayaan 1991), yaitu perlu adanya penghidupan kembali melalui penyadaran bagi para petani, memberikan hak-hak petani dengan benar. Kekuatan untuk bisa menghidupkan kembali tradisi semisal Wiwit itu, akan timbul karena adanya penyatuan ideologi para petani, dengan menghidupkan nilai-nilai luhur dari apa yang terkandunag dalam sebuah tradisi. Jika masyarakat tani sudah bisa memberikan nilai betapa pentingnya melestarikan tradisi dan kebudayaan, maka akan timbul kembali ‘kebangkitan budaya’. Dan yang lebih signifikan dari sebuah tradisi adalah persatuan dan kesatuan masyarakat dalam menjalin hubungan sosial yang yang berimplikasi sebagai ‘resistansi’ Neokolonialsme. Itu yang pertama.
Alternatif kedua, disamping penyadaran, bisa ditempuh dengan meminimalisir area persawahan yang menjadi bangunan. Setidaknya itu bisa distrukturalisasi pemerintah setempat dengan membuat batasan-batasan pembangunan. Jika tidak ada peraturan yang dilegalkan pemerintah untuk mengantisipasi hilangnya area persawahan, maka Indonesia akan segera kehilangan “harta-harta” yang berharga, sawah-sawah yang hijau itu akan kian menyempit dan menyempit, dan konsekwensinya adalah turunya kuantitas padi yang dihasilkan. Lebih tragisnya, Indonesia akan mudah kehabisan beras yang menjadi makanan pokok mayoritas warga.
Jika lahan petani di Indonesia jadi dibeli oleh kaum kapitalis, maka yang terjadi sama dengan kasus di wilayah Jepara, Jateng. Seperti yang dikatakan Muhibbudin, Direktur Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY, 2009), bahwa selama tahun 2005-2008, orang-orang kapitalis dari mancanegara setidaknya sudah mempunyai tanah seluas 30 hektar di bumi Jepara. Mereka bisa bebas dengan tanah itu karena sudah menjadi haknya. Mau didirikan pabrik, Supermarket, bahkan tempat dugem, pelacuran itu tergantung mereka. Jika itu terjadi maka negara yang penuh kebudayaan ini akan banyak kehilanagan jati diri.
Semisal tradisi Wiwit, sebenarnya para leluhur telah mengajari kita, bahwa begitu pentingnya melestarikan persawahan dengan menanam padi. Terbukti ketika satu daerah sebut saja Yogyakarta, mengadakan tradisi ritual Wiwit, masyarakat baik petani maupun non-petani berduyung-duyung berangkat kesawah dalam rangka syukur pada sang pencipta, karena masih diberikan kesempatan untuk menikmati hasil tanam padi. Masyarakat seakan mempunyai jiwa yang sama ketika Wiwit digelar. Rasa semangat akan muncul pada petani dalam mengelola sawah, akibatnya sawah senantiasa hidup dan lahan pertanian pun bisa semakin meluas.
Sebagai wilayah agraris dan kebudayaan tinggi, Indonesia perlu mengidupakan kembali tradisi-tradisi yang diwariskan oleh pendahulu. Jangan sampai kapitalisme, noekolonialisme memberondong tubuh Indonesia terlalu parah dan membuatnya kehilangan kontrol diri yang berakibat hilangnya kekuatan kebudayaan bahkan ruh-ruh kebudayaan. Sekarang peduli kebudayaan atau kapitalismekah orientasi kita ke depan?
*) Penulis adalah Ketua Pusat Pemerhati Kebudayaan pada The Institute of Cabean Center (TICC), Yogyakarta