Opini

Indonesia di Tengah Perjumpaan Serba Budaya

Ahad, 1 Oktober 2017 | 22:01 WIB

Indonesia di Tengah Perjumpaan Serba Budaya

Ilustrasi (foto: kompas)

Oleh Aswab Mahasin

Di dalam perjumpaan kebudayaan, seperti di tulis oleh Kuntowijoyo, “selalu ada kemungkinan bahwa kebudayaan atau ideologi yang lebih tinggi akan memengaruhi kebudayaan atau ideologi yang kurang kuat. Ideologi yang kuat akan mengubah ideologi yang lemah”. Pertanyaannya apakah selalu demikian?

Ini adalah kelanjutan dari tulisan saya di opini NU Online dengan judul Meng-Indonesiakan Manusia Indonesia. Selain itu, merupakan momen tepat berbicara masalah ini, Indonesia sedang memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Tulisan ini akan memberikan wacana, bagaimana Indonesia dengan PBNU-nya (Pancasila, Bhineka, NKRI, dan UUD 45) mengurai benang kusut toleransi di tengah masyarakat multikulturalisme.

Makna yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah, perbedaan budaya, adat, kebiasaan, suku, ras, agama, dan sebagainya (multikulturalisme) di Indonesia—jangan dianggap sebagai pertentangan untuk saling merendahkan, mengunggulkan, atau bahkan merubah. Pertemuan kebudayaan di Indonesia sangat kompleks, tidak hanya sebatas satu atau dua golongan saja.

Rumusunnya begini, dalam kebudayaan tidak ada yang lebih unggul, semuanya setara. Mengaji budaya berbeda dengan mengaji ekonomi, politik, dan ilmu lainnya. Ketika kita berbicara ekonomi perbandingannya akan kentara antara bagian Afrika dan Amerika, Indonesia dan China, sedangkan dalamkebudayaan tidak ada standar mana lebih hebat. 

Semua kebudayaan luar biasa, karena setiap peradaban manusia selalu membawa kebudayaan.Di sini batasannya adalah akhlak/moral/etika, artinya, siapa saja yang bisa bergaul dengan berbagai golongan manusia, maka ia merupakan manusia berbudaya. 

Melihat dinamika Indonesia kini, pembentukan masyarakat multikurtural sepertinya kurang sehat. Gejolak di sana-sini tumbuh dengan berbagai “wajahnya”. Ada yang mengatasnamakan agama, tidak sedikit juga mengatasnamakan kesukuan. 

Berkaca pada sejarah, banyak kasus penderitaan (memakan korban) gara-gara “gagal paham” memaknai keberagamaan (pluralisme dan multikulturalisme). Pada tahun 2012 pernah terjadi konflik antar suku di Sigi, pada tahun 2013 perang suku di Papua, dan pada tahun 1996 perang suku di Sampit. Dan sekarang ini, gesekan agama sering muncul, sebagai proses perlawanan terhadap masyarakat yang dianggap kurang Islami dan kafir. 

Tidak hanya itu, ditingkat dunia—India siklus pergaulan sangat terganggu oleh perbedaan norma-norma kasta, perbedaan bahasa dan agama. Sedangkan kesatuan di tingkat Nasional terganggu juga oleh masalah kebijaksanaan bahasa nasional. Suatu masalah bahasa nasional ada juga seperti di Filipina. Dasar dari persaingan bahasa itu yakni bahasa Taglok dan bahasa Bisayan. Ilustrasi lagi negara Federasi Nigeria di Afrika Barat menggambarkan bagaimana suatu perbedaan kebudayaan antara suku-suku bangsa dan permusuhan yang bersumber kepada alasan sosial-ekonomis antara suku-suku bangsa di negara itu, dapat menjerumuskannya ke dalam suatu perang saudara (pembrontakan Biafra yang hendak memisahkan diri dari Federasi Nigeria), kejadian itu menghambat pembangunan negara Nigeria. (Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, 2007)

Dunia sedang termakan oleh buah pikiran penghuninya sendiri, posisi dunia bertarung dengan serba ideologi dan serba identitas. Anehnya, fenomena ini terlahir di dunia yang dianggap modern, di mana dunia telah melawati aura kegelapannya, dan berada pada zaman pencerahan. 

Saya sendiri lebih sepakat mengatakan bahwa pertentangan-pertentangan yang ada sekarang lebih kepada respon ideologi yang terus menerus diperdebatkan dan dianggap tidak ideal. Terlahirnya komunisme didasari atas kritik Marx terhadap kapitalisme, lahirnya demokrasi liberal didasari atas ketidakpuasan pikiran terhadap sistem yang menekan dan sistem-sistem lainnya yang dianggap tidak memberi kebebasan, dan begitupun seterusnya. Apalagi respon budaya, tentu lebih sensitif. Begitupun pertentanagan dalam agama, sama.

Di satu sisi saya meng-“amini” kekacauan dunia dilatarbelakangi atas ideologi tanpa ide, namun di sisi lain kehadiran hal tersebut wajib sebagai keniscayaan yang tidak bisa kita sumbat. Ini adalah narasi-narasi zaman yang harus kita terima.

Dinamika tersebut merupakan proses yang wajar, dan semua berhak hadir. Hanya saja, perjumpaan itu harus kita tangkap tidak hanya sebagai efek politik belaka, atau ideologi yang kaku/normatif. Melainkan sebagai pijakan ide untuk mengisi nilai tambah dalam transformasi kebudayaan dunia, khususnya Indonesia. 

Akar masalah

Kenyataan yang tidak bisa ditolak, negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok, etnis, budaya, agama dan lain-lain. Hal itu menjadi takdir pasti bagi manusia Indonesia. Kelahiran manusia ke dunia adalah keterlemparan, manusia semenjak berada di dalam perut Ibunya sudah terbeli oleh fakta-fakta, khususnya fakta yang melingkari dirinya; identitas keluarga, lingkungan, budaya, agama, dan kebiasaan.

Setiap fakta yang kita terima adalah nilai tersendiri. Pasti, standar nilai antara satu fakta dengan fakta lainnya berbeda. Dari situ tidak menutup kemungkinan ada perbedaan curam yang membuat gesekan antar setiap nilai. 

Namun, Indonesia sebagai negara-bangsa telah membangun kesepakatan objektif, dikibarkannya bendera Merah-Putih sebagai simbol jati diri bangsa, dipilihnya Pancasila sebagai filosofi, dan ditetapkannya Bhineka Tunggal Ika adalah perlambang “keperbedaan kita bagian dari kesatuan kita”, serta Undang-undang Dasar 45 merupakan tanda kemerdekaan Indonesia.

Hanya saja, keterbukaan segala rupanya pada saat ini menjadi titik tolak percampuran serba ideologi dan serba budaya. Kita tidak bisa membendung itu semua, memfilter pun kadang susah. Pada akhirnya, standar nilai yang kita miliki serasa kabur; gaya berpakaian, cara berbahasa, cara menghormati orang, dan cara mengartikan kesatuan. Efeknya, masyarakat lebih acuh dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar, didukung dengan era industri berkembang cepat. 

Pertarungan serba budaya ini menyerang dari berbagai sudut, tidak hanya kesatuan dalam arti multikulturalisme, ketahanan kebangsaan kita juga diuji oleh serentetan intimidasi kebudayaan baru yang datang, seperti; fenomena demam korea (melalui film/musik), fenomena barang bajakan (melalui tekhnologi), fenomena konspirasi pecah-belah (melalui media), fenomena pertentangan agama (melalui politik), dan masih banyak lainnya. 

Hal tersebut mungkin terlihat sepele, tapi dampak yang ditimbulkan tidak sesederhana kesan. Apalagi bagi manusia Indonesia yang kagetan. Di sini saya teringat kata-kata nyelenehseorang Penyair Ahmad Adib Amrullah mengatakan, “Indonesia tetap nomer satu, tetapi orang Indonesia entah nomer berapa”. Pesan itu menyiratkan ada salah instal budaya baru di Indonesia.

Mengakibatkan manusia Indonesia kehilangan nilai-nilai kebangsaannya, seperti apa yang dikatakan oleh Yudi Latif dalam salah satu pemberitaan NU Online yang bertajuk “Benarkah Peradaban Maju Dilihat dari Perkembangan Teknologi?”, dituliskan; salah, jika tekhnologi menjadi mercusuar dalam mengukur kemajuan sebuah bangsa, justru tidak banyak yang memahami bahwa inti dari kemajuan sebuah negara adalah bagaimana mereka mampu mempertahankan identitas kebangsaannya”. 

Terlihat jelas akar masalah dari ini semua, yaitu masyarakat Indonesia terjebak oleh gesekan serba budaya, sehingga mereka menjadi lupa untuk mempertahankan identitas dan nilai-nilai kebangsaaan. Sehingga kerusakan mental manusia-manusia Indonesia terus menjalar, sampai pada tatanan yang rapuh,  kalau kita gambarkan alurnya sebagai berikut; 

Pertama, disnilia, dalam hal ini kita telah kehilangan pijakan dasar, nilai-nilai yang kita anut sebagai cara hidup bermasyarakat sedikit demi sedikit mulai luntur, dan kehilangan nilai adalah tanda dari hilangnya identitas bangsa. Efeknya ketataan terhadap hukum, penghormatan terhadap perbedaan, kedamaian hidup berdampingan, akan terganggu.

Kedua, disorder, diawali dari hilangnya nilai, orang akhirnya tidak taat terhadap hukum. Melanggar hukum menjadi kelumrahan bagi kita, Ketiga, disharmonisasi, ketika tidak ada ketaatan terhadap hukum. Untuk merajut masyarakat yang harmoni tentu susah, masyarakat menjadi acuh.

Keempat, disorganisasi, ketidak harmonisan masyarakat, punya potensi besar untuk meruntuhkan bangunan besar perbedaan, seperti perbedaan agama, suku, ras, budaya, kebiasaan, adat, dan sebagainya, Kelima, disintegrasi. Nilai hilang, tidak taat terhadap hukum, keharmonisan sirna, kesatuan luntur, maka puncak dari semuanya adalah kehancuran, ketegangan-ketegangan akan nampak terus mengisi ruang publik. Konflik mudah terlahir. Keutuhan bangsa kita menjadi taruhannya.

Pendidikan sebagai titik temu

Memberikan penawaran solusi untuk melahirkan kehidupan selaras dalam berbangsa dan bernegara tidaklah mudah (apalagi multikulturalisme), meminjam istilah Koentjaraningrat, “Secara logika, memakan waktu banyak, dan membutuhkan perpindahan satu generasi”.

Jika kita tinjau kabar bangsa kita sekarang ini, ditingkat agama banyak pergesekan antar agama dan perbedaan pandangan (potensi gesekannya cukup lumayan), namun yang mengakibatkan hal ini menjadi masalah adalah mulai tersebarnya paham radikal dengan mengusung model dakwah arogan.

Di tingkat desa, kota, dan negara, potensi terpendam untuk konflik karena hubungan antar suku, seperti orang Jawa dan orang Sunda, suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Demikian pula tidak dapat kita ingkari, hubungan antara orang batak dan melayu di Sumatera Timur, antara penduduk asli dan orang transmigran di Lampung dan Sumatera Selatan, atau permusuhan secara adat antara rakyat dari berbagai kerajaan pribumi di Timor, dan masih banyak lainnya. (Koentjaraningrat, 2007)

Dalam hal ini, untuk menyekat atau memutus tabir konflik tidak lain melalui jalur pendidikan sebagai pemahaman awal masyarakat mengenai pentingnya hidup berdampingan. Ada hal menarik pernah dituliskan oleh Paulo Freire yang mengembangkan konsep pendidikannya bertolak dari pandangan tentang manusia dan dunia. Kodrat manusia, menurut Freire, tidak saja berada dalam dunia, namun berada bersama dunia. Manusia tidak hanya hidup di dunia tetapi hidup dan berinteraksi dengan dunia. (Siti Murtiningsih, Pendidikan Alat Perlawanan, 2004)

Hal tersebut menyiratkan pembelajaran yang ditekankan dalam pendidikan lebih dulu bertujuan membina kepribadian manusia, dan pendekatannya tidak melulu relasi antara guru dan murid, menekankan bahwa pengetahuan tidak hanya hasil pemberian dari pendidik saja, namun buah dari keterlibatannya secara langsung dengan realitas yang dihadapinya.

Artinya, Freire mengedepankan pendidikan juga harus menampilkan gambaran besar mengenai realitas, untuk menanamkan rasa kebersamaan dalam menghapi kenyataan sebagai permasalahan yang harus dihadapi bersama dan tidak bisa dilakukan secara terpisah. 

Dengan demikian, untuk membangun rasa percaya diri, tanggung jawab, dan saling percaya, pendidikan tidak serta-merta mengkebiri peserta didik dalam ruanglingkup yang itu-itu saja, melainkan dibutuhkan keterlibatan nyata dari berbagai elemen dan lapisan, keluarga dan masyarakat. 

Khususnya di Indonesia, memberikan pemahaman secara langsung merupakan kewajiban, agar peserta didik sejak dini terinstal nilai-nilai kebangsaan tentang pentingnya hidup berdampingan. Dan kita semua, yang mempunyai rasa tanggung jawab terhadap kesatuan serta keutuhan bangsa ini, harus terus konsisten mengingatkan mencontohkan, setidaknya memberikan pendidikan secara lapangan bahwa Indonesia harus dibangun dengan nilai-nilai yang luhur, nilai-nilai yang dinamis, dan nilai-nilai yang baik. Semoga Indonesia tetap menjadi bangsa dengan segudang rasanya. 

Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.


Terkait