Opini

Indahnya Jadi Minoritas Bahagia

Rabu, 4 April 2018 | 00:45 WIB

Indahnya Jadi Minoritas Bahagia

Masjid Al-Hikmah Den Haag. (ist)

Oleh Al-Zastrouw Ngatawi

Suhu udara Kota Den Haag, Belanda siang itu masih belum beranjak dari 5 derajat celcius, suhu yang sangat dingin untuk rombongan Ganjur yang biasa hidup di daerah tropis. Meski suhu di luar sangat dingin namun suasana dalam masjid Al-Hikmah yang terletak di Jalan Midlestraat 4, Heeswijkpein, Den Haag itu terasa hangat. Bukan saja karena hitter yang menghangatkan ruangan tepi karena kehadiran warga Indonesia di Belanda di masjid itu.

Pada hari minggu, setiap dua minggu sekali warga Indonesia memang berkumpul di Masjid Al-Hikmah untuk pengajian dan bersilaturahim. Mereka membawa makanan untuk dimakan bersama usai pengajian. Di forum itu mereka saling tukar informasi, berkabar dan berbagi pengalaman. Suasana guyub rukun penuh keakraban yang khas Indonesia benar-benar terasakan pada saat itu.

Masjid Al-Hikmah memang menjadi pusat aktifitas dan menjadi titik temu para imigran Indonesia di Belanda, khususnya yang ada di Den Haag. Masjid ini semula Gereja Immanuel yang pada tahun 1995 di beli oleh Probosutedjo kemudian diwakafkan untuk masjid. Tak ada benturan dan hambatan apapun ketika proses perubahan dari gereja menjadi masjid.

Masyarakat sekitar bahkan lebih senang kalau gereja tersebut berubah jadi masjid daripada jadi yang lainnya semisal diskotik atau supermarket. Pada 1 juli 1996 secara resmi Probosutedjo menyerahkan Masjid Al Hikmah kepada umat Islam di Belanda.

Dibanding dengan umat Islam dari negara lain, komunitas Islam Indonesia di Belanda tergolong minoritas, hanya 1,6 persen. Sedangkan Turki 46 persen, Maroko 38,8 persen, Suriname 6,2 persen selebihnya berasal dari negara lain. Di sini Muslim Indonesia menjadi minoritas ganda (double minority): minoritas agama dan minoritas urban Muslim.

Sebagai masjid Indonesia, Masjid al-Hikmah sangat kental dengan tradisi dan budaya Islam Nusantara. Di sini tradisi tahlilan, yasinan, diba’an, istighaotsahan dijalankan secara rutin. Selain untuk menjaga tradisi keagamaan yang bercorak Nusantara, berbagai berbagai kegiatan tersebut juga dimaksudkan untuk ajang silaturrahim antar warga muslim, khususnya yang dari Indonesia. 

Bisa dikatakan bahwa Masjid al-Hikmah merupakan benteng tradisi Islam Nusantara. Hal ini bisa dilihat dari cara dan ekspresi nilai keislaman yang diberlakukan di Masjid al-Hikmah yang sesuai dengan karakter Islam Nusantara yaitu pertama, menghargai dan menghormati tradisi dan seni budaya serta menjadikannya sebagai sarana dan metode dakwah. Kedua, toleran. Artinya bersikap tenggang rasa pada sesama yang berbeda baik secara ideologis, teologis maupun madzhab. Di masjid ini siapa saja boleh datang baik untuk beribadah maupun bersilaturrahim.

Ketiga, moderat, yaitu tidak bersikap ekstrem untuk mendukung atau menolak  madzhab tertentu maupun terhadap agama yang berbeda. Inilah yang membuat masyarakat bisa merasa enjoy dan nyaman berada di masjid ini. Hal ini terlihat dan terasakan secara nyata oleh kami yang pada sore itu berkumpul bersama mereka.

Menurut ceritera pengelola masjid, pernah suatu saat ada imigran dari negara lain yang datang dan ingin mengatur masjid menurut pemikiran dan faham mereka. Misalnya perempuan yang datang ke masjid harus bercadar, ritual ibadahnya harus sesuai pemahaman mereka. Tawaran ini langsung saja ditolak oleh pengurus secara halus dan tegas.

Dijelaskan oleh pengurus bahwa ini masjid Muslim Indonesia yang memiliki madzhab, pemahaman dan tradisi tersendiri dalam mengekspresikan dan menjalankan Islam. "Jika anda ingin menerapkan paham keislaman anda sebaiknya di masjid lain saja," demikian kata pengurus masjid. Alhamdulillah mereka bisa menerima.

Melalui sikap santun, lembut, toleran dan penuh kearifan jamaah Masjid al-Hikmah telah menampilkan wajah  Islam yang lain yang selama ini terlihat garang, radikal, intoleran dan penuh kekerasan. Stigma ini muncul tidak semata-mata karena rasa sentimen tetapi juga disebabkan oleh kelakuan sebagian ummat Islam sendiri yang kadang keras dan intoleran.

Kehadiran Ki Ageng Ganjur di Masjid al-Hikmah menjadi penguat atas gerakan Islam kultural yang dilakukan oleh para pengurus dan jamaah masjid al-Hikmah di Den Haag. Selain lebih menarik, cara-cara kultural ini juga bisa diterima semua lapisan masyarakat. Sebagaimana yang terjadi pada hari itu. Saat Ki Ageng Ganjur melantunkan shalawat dengan iringan rebana dan perkusi, semua langsung hanyut dan larut dalam kebahagiaan dan kegembiraan bersama.

Hari itu kita benar-benar merasakan bebas dan lepas mengekpresikan sikap keagamaan kami. Meski sebagai minoritas, sama sekali kami tidak  merasakan was-was, takut dan tertekan saat bershalawat yang kental dengan tradisi Islam. Tak ada yang usil mempertanyakan surat izin keramaian atau izin tempat ibadah meski jamaah datang beramai-ramai dari tempat lain. Sebagai minoritas kami benar-benar merasa bahagia bisa beribadah dengan tenang.

Pengalaman menjadi minoritas ini mengingatkan saya pada minoritas di negeri kami. Apakah mereka bisa merasa bebas,  bahagia saat beribadah seperti yang kami rasakan saat ini? Sebagai mayoritas di negeri sendiri saat ini saya merasakan menjadi minoritas di negeri orang. Semoga saja minoritas di negeri kami bisa bahagia seperti yang kami rasakan saat ini. Moge vrede altijd zident.

Penulis adalah pegiat budaya, Dosen Sekolah Pascasarjana UNUSIA Jakarta. Tulisan ini merupakan catatan perjalanan Islam Nusantara Roadshow to Europe bersama Ki Ageng Ganjur.


Terkait