Oleh: H.Ahmad
Idul fitri yang diartikan oleh banyak orang sebagai hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa sesungguhnya menjadi cermin selanjutnya dalam menilai mutu dan kualitas kemanusiaan kita, apakah kita sudah termasuk orang yang mampu mengembalikan kemanusiaan kita, memanusiakan manusia (Insaniatul Insan). Namun sayang masih banyak orang yang belum dapat mencerna makna kemenangan itu secara seksama justru mereka memahaminya dengan pemahaman yang dangkal, dapat melaksanakan puasa satu bulan penuh tanpa mokel seharipun.
Pemahaman itu sungguh salah pasang. Karena kemenangan yang sesungguhnya adalah keberhasilan kita selama berpuasa untuk sedikit demi sedikit mengikis nafsu, syahwat dan sifat-sifat tercela lainnya lahir dan batin sehingga kita sukses mengembalikan fitrah manusia yang sesungguhnya, seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. Itulah makna riil dari kalimat yang selalu kita sampaikan kepada kawan dan kerabat, "Minal Aidin Wal Fa izin", semoga kita semua menjadi orang-orang yang kembali kepada fitrah sehingga kita semua menjadi orang yang sukses dunia akhirat. Tentu untuk mencapai keberhasilan besar itu dibutuhkan pengorbanan-perngorbanan besar pula setelah keihlasan menjalankan puasa, seperti sabda Rasulullah: Barangsiapa berpuasa berdasarkan iman dan karena mencari ridho Allah maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya.
Berpuasa yang berdasarkan keimanan kepada Allah dan adanya keyakinan bahwa puasa adalah perintah-Nya tentu akan berbeda caranya dengan orang yang berpuasa dengan kebodohan. Begitu juga puasa yang tujuannya karena Allah semata akan berbeda dengan orang yang berpuasa karena tujuan lainnya. Kedua hal ini ternyata menjadi faktor penting untuk menilai keberhasilan puasa kita di hari fitri, apakah kita sudah termasuk orang yang berhasil mengembalikan fitrah kita, memanusiakan diri kita sebagai manusia yang dicintai Allah dan mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya. Sehingga kitapun tidak salah kalau terus mengumandangkan do'a " Minal Aidin Wal Faizin".
Kalau idul fitri sebagai awal kebangkitan kemanusiaan yang betul-betul memanusiakan manusia dan alam sekitarnya, maka apa yang terjadi setelahnya jelas akan menjadi potret keberhasilan kita dan saudara-saudara kita dalam membangun bangsa dan masyarakat yang berperadaban dan Negara yang bermartabat melalui pengembangan diri dengan berpuasa di bulan ramadan. Kami tidak ingin menghakimi puasa kita diterima apa tidak oleh Allah tapi kita harus ingat bahwa keberhasilan dan diterima apa tidaknya puasa kita oleh Allah bisa diketahui dengan menilai perilaku kita setelah berpuasa, apakah mencerminkan kefitrahan apa tidak. Sama dengan menilai haji kita mabrur apa tidak, cukup dengan menilai perubahan yang terjadi setelahnya. Karena itulah pada malam dan hari raya idul fitri kita harus tetap berdo'a, berdzikir, bertakbir, bertasbih kepada Allah dengan harapan semoga segala amal ibadah kita diterima dengan segala kekurangannya. Karena diterimanya puasa dan ibadah kita dengan segala kekuarangannya tetap akan memberikan sedikit pengaruh lahir dan batin baik kepada diri kita juga orang lain. Untuk itulah sejak hari raya dan seterusnya kita tetap tidak diperbolehkan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan Allah seperti yang dilakaukan oleh kebanyakan masyarakat akhir-akhir ini, berpesta dengan kemungkaran. Hal itu jelas merupakan simbol kegagalan ibadah dan puasa kita kalau tidak kealpaan? Karena keberhasilan kita dalam berpuasa dapat tercermin dengan kemauan memperbanyak ibadah dengan berbagai bentuknya di masa-masa yang akan datang dan seterusnya.
Maka, setelah Idul Fitri nanti kita akan menunggu situasi bangsa dan masyarakat Indonesia akankah ada perubahan dan kemajuan dalam berbagai sisi kehidupan, politik, pendidikan, ekonomi dan lainnya jika tidak membawa perubahan yang signifikan itu berarti masih banyak diantara kita yang harus belajar lagi ilmunya berpuasa/beribadah. Sesungguhnya mengajak masyarakat untuk memahami ilmu-ilmu dasar berpuasa, shalat, zakat dan lainnya jauh lebih penting daripada menggiring masyarakat untuk berwacan menentukan awal dan akhir Ramadan seperti yang selama ini terjadi. Kenapa organisasi kemasyarakatan tidak lebih komitmen untuk membicarakan soal-soal dasar ubudiyah baik melalui media elektronik maupun cetak ketimbang berpolemik soal hisab dan rukyat yang semestinya menjadi wewenang pemerintah pusat? Karena pengajaran pola pelaksanaan ibadah secara benar betul-betul dibutuhkan sehingga membawa manfaat bagi pelakunya, daripada ceramah tentang fadilah dan keutamaan puasa dan Ramadan.
Pengenalan fadilah dan kebesaran puasa dan Ramadan memang dibutuhkan tapi jauh lebih penting bagi masyarakat saat ini adalah pengenalan aturan dan ketentuan berpuasa. Karena dikhawatirkan banyak orang berpuasa dan beribadah di bulan suci ini hanya karena tertarik ceramah tentang fadilah dan kebesaran puasa seperti yang selama ini terjadi tapi mereka bodoh dengan hukum dan aturan berpuasa yang benar. Sementara para da'i yang selama ini penuh kegiatan ceramah Ramadan masih belum banyak, atau tidak mampu, menyentuh substansi hukum dan tata cara berpuasa. Kalau itu yang selama ini terjadi maka tidak heran kalau banyak orang berpuasa tapi tidak berhasil mencapai makna dan menemukan rahasia berpuasa dan itu menjadi kebenaran hadis Nabi: Banyak orang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga. Semua itu tidak lain karena kebodohannya?
Dan dengan kebodohannya tentang hukum dan aturan (syarat dan rukun) berpuasa akhirnya banyak orang menjadikan momen Ramadan dan kebesaran puasa sebagai alat politik, bisnis, pendidikan dan lainnya. Hal ini menjadikan tidak jelasnya tujuan dan cara banyak orang berpuasa sehingga jangan heran kalau kemudian yang mereka dapatkan hanya sebatas tujuan sesaat atau formalitas puasa, sementara inti dari puasa tidak mereka dapatkan. Mungkin akibat kegagalan puasa inilah menjadikan dunia politik dan bisnis kita tidak pernah "jujur" dan "bersih". Karena yang semestinya puasa bisa memanusiakan manusia tapi mereka tidak mampu melakukannya. Begitu juga dengan para artis yang mengekpos kegiataan tarawih dan buka bersamanya dengan anak-anak yatim piatu semua itu tidak lain kecuali tren dan pencarian popularitas belaka, semoga tidak. Karena selesai Ramadan mereka akan kembali kepada dunia keartisannya tanpa ada sedikit tedeng aling-aling dari nilai Ramadhannya.
Keberhasilan dan manfaat berpuasa yang dilaksanakan dengan benar, walaupun masih bersifat personal, dari semua golongan manapun memang selalu ada dan akan selalu kita rasakan dan akan menjadi kunci keutuhan dan kesinambungan tatanan kehidupan manusia. Tapi itu belum cukup karena yang harus terwujud dari berpuasa Ramadan adalah pembentukan karakter pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah dan Rasul-Nya secara umum tidak bisa terwakili.
Karena itulah, semoga kita masih menemukan Ramadan yang akan datang, kalau tahun ini kita belum berhasil menjadi orang yang sukses dengan investasi kemanusiaan setelah berpuasa sebulan penuh, maka kedepan perlu adanya pembenahan pemahaman dan pelaksanaan ibadah dan puasa kita. Sungguh Ramadan merupakan investasi besar dengan modal ringan, iman dan ihlas. Iman yang sesungguhnya adalah melaksanakan segala perintah dan meninggalkan larangan Allah tanpa ada paksaan dari siapapun dan tanpa ada rasa takut kepada apapun yang akan terjadi selama berpuasa. Ketika perinsip dasar itu ada maka akan lahirlah ihlas dalam setiap langkah dan gerak hidup kita sehingga apa yang kita lakukan semata-mata karena Allah tanpa tertipu oleh kenikmatan apapun. Kemauan kita untuk menyempurnakan kekurangan adalah awal kesuksesan yang tertunda saat ini. Sehingga Ramadan yang akan datang benar-benar menjadi revolusi kerisis akidah, kemanusiaan dan ahlak sehingga bangkitlah Indonesiaku dari keterpurukan dosa dan cobaan ini. Sanggupkah?!
* Universitas Abdel Malek Esaadi Maroko