Opini

Hoax dan Standar Kualitas Diri

Rabu, 18 Januari 2017 | 04:00 WIB

Hoax dan Standar Kualitas Diri

Gambar ilustrasi.

Oleh Robbah Munjiddin A

Arus informasi yang semakin deras, membuat kita mau ataupun tidak dihadapkan pada sulitnya memilah informasi. Kini antara informasi benar dan tidak, bagaikan saudara kembar yang mengharuskan identifikasi lebih untuk mengetahui titik perbedaan secara spesifik. 

Kondisi yang demikian tentu menarik untuk dicermati, mengingat massifnya pengguna internet di Indonesia. Sebagaimana laporan lembaga riset pasar e-Marketer, pada 2014 pengguna internet di Indonesia menembus angka 83,7 juta pengguna. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pengguna internet terbesar ke-6 di dunia. Sementara pada tahun 2017 diperkirakan jumlah pengguna internet di Indonesia sekitar 112 juta orang (kominfo.go.id, 24/11/2014).

Angka yang cukup besar. Data di atas juga merupakan tantangan sebab bisa menjadi potensi sekaligus ancaman. Potensi tatkala penggunaan internet untuk hal positif, ancaman apabila tiada pengetahuan yang memadai dan terjebak pada hal-hal negatif, seperti memproduksi dan/atau menyebarkan hoax (informasi bohong). 

Penulis meyakini, hampir semua bersepakat bahwa hoax adalah masalah. Bisa dikatakan, hoax layaknya bom waktu. Apabila dibiarkan akan meledak dan merusak apa saja, dan tidak menutup kemungkinan akan mengikis bangunan bangsa dan negara. Realitas saat ini memang menunjukkan demikian (baca: hoax adalah masalah). Hal ini bisa dilihat dari beragam kalangan di berbagai daerah yang mengampanyekan anti-hoax. Termasuk kalangan Nahdliyyin (sebutan bagi warga NU).

Melalui kegiatan Kopdar Netizen NU yang diinisiasi Pengurus Besar NU (PBNU), menjadi langkah strategis untuk merespon persebaran hoax yang demikian massif (NU Online, 28/12/2016). Beragam gerakan masyarakat di daerah yang turut mengkampanyekan anti-hoax bisa pula menjadi indikator dan meneguhkan bahwa hoax adalah musuh bersama.

Standar kualitas diri

Memang harus diakui, permasalahan hoax sangatlah kompleks. Ada yang memang diproduksi untuk bisnis (baca: industri hoax), ada pula yang menganggap sebagai akibat dari realitas ketimpangan sosial. Terlepas dari itu, satu hal yang yang pasti, mengetengahkan pengguna internet sebagai pemroduksi dan/atau penyebar hoax tidak boleh diabaikan.

Paling tidak, melihat dari sisi pengguna internet, dapat menjadi narasi kontrol diri tatkala berselencar di dunia maya. Bertolak dari sabda Kanjeng Nabi Muhammad, raja’na min jihadil ashghari ila jihadil akbar (kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar) yang tak lain jihad besar adalah melawan hawa nafsu, bisa menjadi kerangka standar kualitas diri.

Berkenaan dengan nafsu ini, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (2009:13) menyebut bahwa hawa nafsu merupakan kekuatan yang menyimpan potensi destruktif, menjadikan jiwa selalu resah dan tidak tenang. Gus Dur melihat, dari perspektif ini, muncul dua tipe manusia. Pertama adalah orang yang mampu menjinakkan hawa nafsu, kedua sebaliknya; dikendalikan oleh nafsu.

Bahasa lain dari tipe pertama adalah an-nafsul muthmainnah. Pribadi yang tenang dan damai, menjadi representasi kehadiran spiritualitas, dan cermin khalifah Allah yang sebenarnya. Sementara tipe kedua, disebut pula an-nafsul lawwamah. Pribadi gelisah, menjadi biang kegelisahan sosial dan pembuat masalah. Pada tataran praktis, dua tipe ini hadir dalam realitas dan interaksi sosial, baik dalam dunia nyata maupun maya.

Dunia maya (dengan penduduk pengguna internet) yang kini menjadi sorotan, adalah neraca standar kualitas diri. Dunia maya bisa menjadi cerminan seberapa standar kualitas yang dimiliki oleh seseorang. Salah satu poin pentingnya adalah penyikapan atas informasi.

Seorang bisa termasuk tipe an-nafsul muthmainnah saat bisa menelaah informasi yang diterima. Apakah ada sumber informasinya, kalau toh ada, adakah penanggung jawab informasi (redaksi), mengandung hasutan, kebencian, atau tidak, dan seterusnya. Nafsu bisa dikendalikan untuk melihat informasi secara jernih, jauh dari kesan kebencian. 

Begitu pula sebaliknya. Tipe an-nafsul lawwamah menyikapi informasi secara gegabah, tiadanya telaah, dan informasi yang dikonsumsi dan/atau disebarkan berpotensi menimbulkan kegelisahan sosial. Nafsu yang menyimpan sifat destruktif dibiarkan menguasai diri. Meskipun nafsu dengan potensi mengarah kepada keburukan.

Meminjam ungkapan latin lex agenda lex aselli, bahwa setiap zaman memiliki juru bicaranya sendiri-sendiri, menyiratkan pesan akan kenyataan kontestasi ide, paradigma dan argumentasi yang saling bersaing agar “ditahbiskan” menjadi pemenang dari pertarungan zaman (Hilmy, 2014: 3). Berpijak pada hal ini, sudah sepatutnya sebisa mungkin kita menjadi tipe an-nafsul muthmainnah, menjadi “pemenang” melawan hoax. 

Memang melawan hoax bukanlah hal mudah. Derasnya arus informasi, di sisi lain kepungan hal-hal instan yang acapkali menjadi pilihan, juga menjadi tantangan. Tak bisa dipungkiri, dunia maya menyediakan sesuatu secara cepat, sesuai selera, meski acapkali mengabaikan dampak buruk yang ditimbulkan. Untuk itu harus ada kesadaran kolektif dalam melawan hoax. Langkah konkret dimulai dari diri kita. Wallahu A’lam.  

Penulis adalah mahasiswa Filsafat Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel, Kader IPNU Kota Surabaya.



Terkait