Oleh Gatot Arifianto
Tanpa harakah (gerakan), suatu kelompok atau bahkan negara hanya akan jadi monumen, kenangan yang menceritakan sejarah belaka. Sesekali dikunjungi, tanpa ada perubahan signifikan, pasif, tanpa upaya mencapai tujuan. Tapi republik pemilik mayoritas umat Islam di dunia ini beruntung, sangat malah. Salah satu membuat keberuntungan tersebut terjadi karena tiga huruf terangkai dalam satu kata sederhana: mau.
Berbicara tentang mau, Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki basis pondok pesantren pencetak santri adalah referensi tak bisa dikesampingkan. NU sebagai organisasi massa, dari terbentuknya hingga kini, mau konsisten meyakini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Harga Mati. Bahkan jauh sebelum bernama NU (1926), tiga cikal bakal organisasi tersebut, yakni Nahdlatul Wathan (1914), Tashwirul Afkar dan Nahdlatut Tujjar (1918) sudah memiliki mau, mendorong negeri ini bergerak dari berbagai lini.
Para santri yang berangkat sepuh dan menjadi ulama, cukut ti hanuwang, ema penuh di banca, (Kaki diobati dengan tanduk anoa, lidah penuh doa-doa, Peribahasa ini sering dijadikan pujian bagi orang yang pintar membuat rencana, pandai bicara, dan tepat dalam mengambil keputusan) mau memikirkan kebangkitan berbangsa dan bernegara yang merdeka, bebas dari pengaruh penjajahan dengan mendirikan Nahdlatul Wathan. Mereka juga mau dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan berkembang dengan mendirikan Tashwirul Afkar. Lantas untuk pengembangan ekonomi ummat, mereka juga mau mendirikan Nahdlatut Tujjar.
Berbakti dengan bukti
Indonesia disepakati sebagai negara yang berdiri di atas kontruksi keberagaman suku, agama, ras, dan golongan. Sejauh mana santri berperan atas terjaganya hal tersebut? Termasuk ketika penyakit bernama korupsi, yang menurut Gus Mus dalam sajak Tikus: memanen tanpa menanam/merompak tanpa jejak//kabur tanpa buntut/bau tanpa kentut, menggerogoti negeri ini. Apa ikhtiar para santri?
Harakah adalah pembuktian, bahwa kata meski jadi fakta, bahwa gagasan meski jadi tindakan. Halaqah Pesantren Anti Korupsi diprakarsai Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) bersama Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian di Yogyakarta menjelang Muktamar NU ke 33 di Jombang, Jawa Timur, tidak hanya menyikapi kejahatan luar biasa tersebut secara eksternal, namun juga internal bagi kalangan pesantren dengan membentuk Laskar Santri Anti Korupsi sebagai pagar.
Jauh sebelum itu, kegeraman terhadap extra ordinary crime bernama korupsi juga sudah ditabuh. Musyawarah Nasional NU di Pondok Gede, 2002, menelurkan fatwa tidak perlu mensalati jenazah koruptor. Kamis 23 Juni 2016, santri pesantren Al Mukti, Kudus, Jawa Tengah, Rumadi Ahmad dan kawan-kawan juga meluncurkan buku “Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi”. Tidakkah harakah-harakah tersebut penegasan tiada tanda titik bagi santri mencintai Indonesia?
Tapi tanpa mau, mungkinkah harakah tersebut terjadi? Mau adalah kata kunci sesuatu terjadi. Mau adalah upaya mewujudkan angan dan ingin tak sekedar jadi wacana. Mau adalah tekad, motivasi penyala nyali, ghirah (semangat) yang mengajarkan untuk berupaya menjadi mampu. Bukankah mampu belum tentu memantik mau?
Mau ikhlas, mau berkorban, mau berkhidmat, mau bergerak adalah sederetan karakter dimiliki santri. Generasi bangsa yang diasah di ruang pendidikan bernama pesantren, tempat yang membuat garis bawah, orang jadi besar karena pemikiran dan perbuatan bestari, bukan karena perut.
Andai santri tak mau ikhlas, berapa Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) terserap? Andai santri tak mau berkorban, berapa beban meski ditanggung negara? Andai santri tak mau berkhidmat, bagaimana Indonesia hari ini? Andai santri tak mau bergerak, berapa gelintir yang mau menjaga konstitusi?
Beragam peran santri yang seringkali diidentikan dengan “pendapatnya jelas tapi pendapatannya tak jelas”, adalah harakah tegas. Pondok pesantren terus mau membangun sumber daya manusia atau santri melalui pendidikan strategis, sejalan dengan QS An-Nahl ayat 125: “Serulah manusia dengan jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik,” berkembang, tanpa menanggalkan Islam Rahmatan Lil ’Alamin. Satu hal terbukti maslahat bagi bangsa Indonesia hingga kini.
Kendati berakhir sebagai kiai mushola, bukan pejabat negara, nasionalisme para santri, alumni ribuan pesantren tak pernah pudar. Adakah pengajian di tingkat desa yang mereka kelola dan helat mengajak masyarakat makar? Tidak mengakui Indonesia dan menolak Pancasila?Itulah akar kekar, bukti bakti diberikan santri untuk keberlangsungan Indonesia. Negara yang hari ini digerogoti kelompok penghendak khilafah dengan menebar benci terhadap konstitusi. Tidakkah itu sumbangsih pembangunan non fisik atau ideologi yang penting bagi Republik Indonesia? Relevan dengan pernyataan Multatuli (Douwes Dekker) puluhan tahun silam: "Kalau tidak ada kiai dan pondok pesantren, maka patriotisme bangsa Indonesia sudah hancur berantakan."
Salah satu bukti sebagaimana pernyataan Multatuli ialah peristiwa 22 Oktober 1945, yang mulai 2015 ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Ketika itu, Rais Akbar NU Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ary bersama perwakilan cabang NU se-Jawa dan Madura mendeklarasikan Resolusi Jihad untuk mengusir pasukan Inggris yang hendak merebut kembali wilayah Indonesia dan memicu pertempuran Surabaya 10 November 1945.
Adakah itu ilusi? Jika iya, santri yang turut serta bertempur menjaga kemerdekaan Indonesia adalah dusta para kiai, fiksi yang dipublikasikan dan mengingkari kebenaran. Sehingga pertempuran paling nekat dan paling destruktif menurut William H Frederick (1989), hanyalah kisah palsu yang terkesan jadi kisah nyata. Tapi fakta mencatat itu sebagai sejarah. Dan itu merupakan tanda seru, bahwa santri memang ada untuk Indonesia.
Saat Sukarno 1 Juni 1945 menyodorkan gagasan Pancasila, tidak serta merta bakal dasar negara itu diterima. Tapi salah satu perumus Pancasila dalam menjabarkannya berangkat dari tradisi dan keilmuan pesantren. Dialah KH A Wachid Hasyim, putra KH Hasyim Asy’ari. Sehingga bisa dikatakan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Karena itu, NU dan seluruh bangsa Indonesia bukan hanya wajib mengamalkan, tetapi juga wajib mengamankan Pancasila. (Abdul Mun’im DZ, 2016).
Maka ketika ada tuduhan Pancasila tidak sesuai dengan Islam. NU melalui peranan dua santri KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Muchit Muzadi dan KH Ahmad Shiddiq, menegaskan diri sebagai satu-satunya organisasi massa yang menerima Pancasila sebagai asas negara, pada Muktamar NU ke-27, di Situbondo, Jawa Timur.
Dan hari ini ketika Indonesia tercekik. Sulit untuk mencari pinjaman dana negara lain akibat kondisi ekonomi global belum membaik. Pemerintah Republik Indonesia beberapa waktu lalu telah meresmikan aturan mengenai tax amnesty (pengampunan pajak) untuk mengatasi masalah tersebut.
Indonesia memberikan kesempatan kepada wajib pajak yang tidak patuh, melaporkan penghasilannya dan membayar pajak secara sukarela dengan memberikan insentif pada mereka.
Suatu kesadaran yang pada tahun 1999 sudah digagas KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika menjadi Presiden ke-4 RI, Gus Dur yang pernah menjadi santri Kiai Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta itu, mempunyai gagasan uang-uang koruptor di luar negeri ambil 50 persen, 50 persen kembalikan ke negara.
Sumbangsih pemikiran Gus Dur tersebut menurut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, adalah fakta sejarah. Santri yang pernah jadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta itu weruh sakdurunge winarah (mampu melihat sesuatu yang belum terjadi) bagaimana persoalan Indonesia mendatang dan berupaya memberi solusi sejak dini. Tidakkah itu, lagi-lagi suatu bukti bahwa karakter santri yang selalu mau berkhidmat bagi negara selalu melekat?
Sayangnya, pemikiran santri yang dalam langkah politiknya berhasil menjaga sejumlah provinsi tak lepas dari Indonesia, meneguhkan kebhinekaan, pro buruh, hingga membangkitkan potensi ekonomi laut yang lama diabaikan, dan kini dijalankan melalui pengampunan pajak dua persen, saat itu justru diserang habis-habisan oleh DPR, LSM hingga media, seolah presiden mengampuni koruptor.
Harakah tanpa lelah
Keberuntungan itu terjadi karena mau yang diupayakan menjadi mampu. Seperti metamorfis kepompong menjadi kupu-kupu, para santri akan menjadi ulama, kiai dan mendidik santri, generasi baru Indonesia. Ada pula yang mengikuti jejak KH A Wachid Hasyim berkiprah di politik. Mendorong kemandirian ekonomi dengan Nahdlatut Tujjar ala kini alias Himpunan Pengusaha Santri Indonesia (HIPSI) yang bertekad mencetak satu juta wirausahawan santri. Hingga bergerak bagi bangsa di berbagai lini.
Suatu harakah sederhana dan seolah tanpa lelah memberi warna bermakna dalam perjalanan bangsa Indonesia. Jika sebaliknya? Jumlah santri yang tidak sedikit adalah energi sakti yang bisa membuat sakit.
Tapi kamus itu tidak ada di pesantren NU. Yang ada hanya berbakti untuk bangsa dengan bukti. Sebagaimana amanat santri Kiai Kholil Bangkalan, KH Wahab Hasbullah, yang pada tahun 1934 telah menegaskan Indonesia biladi (Indonesia negeriku), hubbul wathon minal iman (mencintai negara sebagian dari iman), dengan menciptakan lagu Syubbanul Wathan. Jauh sebelum Indonesia Raya WR Supratman, dan Cokelat mengumandangkan Bendera.
Terkini, 1 miliar Shalawat Nariyah akan dibaca ribuan santri di sepuluh ribu titik pada peringatan HSN kedua. Tujuannya, meminta keselamatan, kesejahteraan dan keberkahan hidup sebagai bangsa.
Dengan demikian, ketika sejumlah literasi menyatakan santri bermakna S: satir al-‘uyub wa al-aurat (menutup aib dan aurat). A: aminun fil amanah (bisa di percaya dalam mengemban amanah). N: nafi’ al-‘ilmi (bermanfa’at ilmunya). T: tarik al-maksiat (meninggalkan maksiat). R: ridho bi masyiatillah (ridho dengan apa yang diberikan Allah). I: ikhlasun fi jami’ al-af’al (ikhlas dalam setiap perbuatan), haruskah dipungkiri?
Tak ada gading yang tak retak. Tapi fakta selalu bicara, kiprah santri lebih banyak maslahat ketimbang mudharat. Selain itu, tidak sekedar dalam tataran romantisme masa lalu, tapi juga optimisme bagi Indonesia mendatang. Dengan segala keterbatasan, santri yang menurut Gus Mus juga bukan yang mondok saja, tapi siapapun yang berakhlak seperti santri, adalah santri, tetap mau berkiprah, jalin pandan menjadi tampah, jalin sayang menjadi tuah, menjawab permasalahan sosial kebangsaan.***
Penulis bergiat di Gerakan Pemuda Ansor, Gusdurian, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan program filantropi edukasi Bimbingan Belajar Pasca Ujian Nasional (BPUN). Menyutradarai sejumlah TV program edukasi, iklan dan film dokumenter. Tulisan berupa cerpen, puisi dan esai dipublikasikan sejumlah media cetak dan online.