Oleh Abdullah Alawi
Pada masa kecil, saat mengaji di majelis ta’lim kampung, kiai saya pernah berguyon tentang haji. Menurut dia, ada haji haji dulkahpi dan haji arni. Menurut dia, haji pertama itu adalah kependekan dari haji ngawadul ka Mekkah teu nepi (bahasa Sunda). Artinya, haji yang mengaku telah berhaji, tapi sebetulnya tak sampai ke Mekkah. Sementara haji yang kedua, adalah haji yang berwatak pelit.
Kiai tersebut tidak pernah menunjukkan siapa dan dimana dua haji tersebut. Atau kalau sudah mati dimana makamnya. Dan saya tidak pernah menanyakan hal tersebut sehingga asal-usul dan terbentuknya istilah tersebut tidak diketahui.
Haji Dulkahfi tersebut menurut saya, menunjukkan begitu besarnya keinginan umat Islam untuk melakukan ibadah tersebut. Tiap tahun, negara ini memberangkat ratusan ribu jamaahnya. Namun, keinginan tersebut kadangkala terbentur mahalnya biaya dan waktu tunggu yang lama.
Hal itu, menyebabkan ada orang yang picik dengan menipu pernah berhaji sebagaimana haji dulkahpi tersebut. Apa sebabnya? Jawabannya bisa bermacam-macam.
Saya menduga, karena dengan gelar haji orang punya posisi tersendiri di masyarakat. Orang bergelar haji bisa “meroket” derajatnya di masayarakat. Sehingga awalan H., misalnya, bisa tercantum di depan nama seseorang dalam sapaan dan surat undangan karena H tersebut mengandung unsur kekuasaan (politik), harta, dan keilmuan. Tiga unsur tersebut selalu mendapat posisi tersendiri di masyarakat.
Martin van Bruinessen (Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, edisi revisi, 2012) menyebutkan bahwa pada abad 17 M, raja-raja Jawa, misalnya Banten dan Mataram, mencari legitimasi politik ke Mekkah. Di kota tersebut ada ka’bah yang menjadi kiblatnya umat Islam di seluruh dunia sehingga legitimasi (politik) pun seharusnya didapat dari pusat kosmis tersebut. Tak heran Mataram dan Banten pun kemudian mengirimkan utusannya ke Mekkah untuk meminta gelar sultan.
Mungkin tidak perlu diherankan apabila pada musim Pilkada atau Pilpres seorang calon melakukan ibadah umroh atau berhaji.
Sementara secara keilmuan, karena pusatnya Islam, pada abad 17 M misalnya, orang Nusantara belajar Islam di tempat tersebut. Sebut saja misalnya Syekh Abdurrauf Assingkili, Syekh Yusuf Makassari. Kebiasaan tersebut dilanjutkan orang-orang Nusantara berikutnya seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Arsyad Al-Banjari, Syekh Mahfud At-Tirmisi, dan lain-lain.
Semangat Antikolonial
Berhaji pada masa penjajahan menjadi semacam kaderasisasi tak resmi orang yang kemudian anti-penjajahan. Mungkin memang tujuan utamanya untuk beribadah, belajar ilmu agama, tapi karena pergaulan dan pengetahuan yang didapatkan selama di sana, membentuk orang Nusantara menjadikannya demikan.
Kemudian semangat anti-penjajahan itu dibawa pulang ke tanah air, disampaikan kepada tetangga atau muridnya. Lama kelamaan semangat antipenjajahan itu menjadi semakin nyata. Perang Banten pada tahun 1888 misalnya, menurut van Bruinessen, adalah jejak yang bisa diambil contoh peran para haji yang anti-penjajah.
Christiaan Snouck Hurgronje sebagaimana dikutipnya, orang Nusantara yang berhaji dari berbagai wilayah seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara Barat bisa bertemu secara leluasa. Mereka kemudian membicarakan Perang Aceh dan kesengsaraan di tiap tempat. Kemudian mereka juga menjadi terbuka akan perlawanan umat Islam di negara lain karena penjajahan juga.
Pertanyaannya bagaimana dengan berhaji sekarang?
Pertanyaan ini tentu tidak gampang dijawab. Kita hanya bisa berdoa semoga mereka mabrur semabrur-mabrurnya. Kita doakan semoga jangan sampai jauh-jauh ke Mekkah, pulang ke tanah air menjadi haji arni, haji pelit. Juga terhindar dari haji dulkahpi. Amin.