Opini

Gus Mus, Ahmad yang Ahmadi

Rabu, 19 Agustus 2015 | 15:01 WIB

Oleh Ammar Abdillah
Muktamar NU ke- 33 telah berakhir. Banyak fenomena yang bisa ditangkap dari perhelatan Ormas Islami terbesar di Indonesia itu. Salah satu sosok yang paling disoroti adalah KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus. Beliau mengingatkan kita pada tradisi keilmuan para ulama Nusantara yang selalu memadukan antara ‘ilm dan hilm. Sikap yang sekarang mulai jarang tampak pada diri para ustadz modern. Gus Mus mengundurkan diri dari singgasana tertinggi di Nahdhatul Ulama <>yang disampaikan melalui surat fenomenal yang ditulis dengan aksara Arab Pegon, cara penulisan yang menjadi tradisi kental kalangan muslim Nusantara yang selama ini tersudut. Justru orang-orang Malaysia yang masih melestarikan aksara itu dan mereka menyebutnya tulisan “Jawi”.

Saya teringat satu kisah dalam Masnawi Ma’nawi karya Maulana Jalaluddin Rumi, di daftar (jilid) ke-dua, Sang Guru tarekat itu bercerita tentang seorang Arab yang mengangkut sekarung gandum, ditaruh di samping onta. Karena berat sebelah, orang Arab itu mengisi satu karung lagi dengan pasir, lalu ditaruh di sebelah samping onta yang kosong agar seimbang. Di tengah perjalanan, dia ditegur seorang sufi dan menyarankan, daripada satu karung diisi gandum dan satu lagi pasir, lebih baik satu karung gandum itu dibagi jadi dua karung lalu diangkut di kanan dan kiri onta. Orang Arab itu senang dengan ide sang sufi dan melaksanakannya. Setelah berterima kasih, saudagar Arab berkata pada sufi tadi, “Dengan akal yang cemerlang ini, kau pasti seorang wazir atau raja, atau kau pasti saudagar kaya raya. Berapa ratus onta atau sapi yang kau punya?”. Sufi itu menjawab bahwa dia hanya seorang “darwisy” (gembel) yang tak punya apa-apa. Mendengar itu, saudagar Arab itu terkejut dan malah mengusir sang sufi karena takut tertular sial.

Maulana Rumi menyambung kisah ini dengan bait-bait yang maknanya bisa dilihat dalam sosok Gus Mus. Bahwa “akal mainstream” mengatakan bahwa ketika seseorang mempunyai kemampuan memimpin, punya wibawa dan dihormati banyak orang, memiliki citra yang bersih dan juga punya peluang besar untuk sampai pada pucuk kepemimpinan, maka orang itu selayaknya duduk di posisi tertinggi. Namun tidak untuk kalangan para ahli makrifat. Sebagai manusia yang hidup dengan batin, mereka tidak butuh jabatan dzahir untuk bisa di-gugu dan ditiru oleh orang-orang. Predikat dan posisi struktural sama sekali tidak penting bagi mereka. Justru para ahli makrifat menjauhi hal itu dan ketika mereka menduduki jabatan tinggi, mereka menganggap itu sebagai sebuah “kecelakaan”.

Sebagaimana sufi dalam kisah Masnawi tadi, kemampuan berpikir jernih, kebijaksanaan dalam membaca kondisi dan kearifan dalam menentukan keputusan tidak meniscayakan seseorang harus menjadi wazir atau raja. Seorang arif punya ruang tersendiri untuk menjadi pamomong. Seperti yang disebutkan Kanjeng Sunan Kalijaga, pemimpin sejati bukan yang paling di depan, melainkan seperti “cah angon” yang rela berada di belakang para gembalanya dan dari situ dia bisa memandu para gembalanya. 

Pidato disertai tangis Gus Mus yang meluluhkan para muktamirin yang gaduh dalam sidang di awal-awal muktamar ke-33 memberi ilham dalam hati dan orang-orang bahwa beliaulah yang paling pantas menjadi rais aam, seperti yang dipikirkan saudagar Arab dalam cerita di atas tentang sufi yang menolongnya. Namun pada akhirnya, beliau benar-benar mengundurkan diri tanpa ada yang mampu membujuk beliau untuk “mengalami kecelakaan” kedua kalinya. 

NU adalah sebuah organisasi masyarakat yang jelas struktur dan administrasinya. Namun lebih dari itu, NU adalah bentuk formal dari sebuah tradisi keislaman Nusantara. NU harus dilihat sebagai buah dari perjalanan dan perkembangan Islam di negeri beribu pulau ini. Bentuk kultural NU lebih kental daripada bentuk strukturalnya. Ini bisa dilihat dari kehadiran ribuan santri dan non santri dari berbagai penjuru Indonesia setidaknya demi memandang wajah para kiai atau syukur-syukur bisa “ngalap berkah” mencium tangan para ulama. Dalam muktamar itu, sebelumnya KH Ahmad Mustofa Bisri adalah rais aam secara struktural, lalu setelah diangkat di pemilihan rais aam dan kemudian mengundurkan diri, beliau “nak pangkat” menjadi rais aam secara kultural, sebuah posisi yang lebih tinggi dan lebih kokoh. Beliau menjadi pemimpin bukan karena jabatan, tapi karena maqam dan derajat ilmu serta akhlak yang beliau punyai.

“Raja adalah dia yang menjadi raja karena dirinya sendiri
Bukan dengan kotak permata dan laskar yang dimiliki
Sehingga kerajaannya bertahan dan abadiTetap jaya seperti kerajaan ajaran Ahmadi (saw)”

(Masnawi Ma’nawi, jilid II, bait 3208-3209 – Maulana Jalaluddin Rumi)

Penulis adalah budayawan, tinggal di Pati, Jawa Tengah


Terkait