Opini

Gus Dur; Dari Pesantren untuk Bangsa

Jumat, 5 Oktober 2012 | 00:53 WIB

Oleh: Wasid Mansyur

Tepat tanggal 27 September 2012 serentak peringatan 1000 hari wafatnya dilaksanakan di berbagai daerah, sekalipun diantara para Gusdurian juga ada yang telah melakukan pada hari-hari sebelumnya. Bagi masyarakat nahdliyin meyakini, bahwa peringatan ini tidak lain sebagai momentum do’a bersama agar arwahnya ditempatkan di sisi-Nya sesuai dengan amal baktinya dalam menciptakan kehidupan antar umat yang saling harmoni.

<>
Di samping sebagai momentum do’a, sejatinya peringatan seperti ini patut dijadikan titik pijak –agar tidak larut dalam pengkultusan-- untuk kemudian merenungkan kembali atas apa yang telah dilakukan Gus Dur sepanjang hidupnya bagi kehidupan berbangsa. Hal ini penting, sebab dalam konteks hari ini sebagai Muslim, sekaligus penduduk negeri yang plural, kita membutuhkan sosok yang berani bukan sekedar dalam ucapan, tapi juga dalam perbuatan sebagaimana dilakukan Gus Dur. 

Pertanyaannya kemudian, apa yang layak kita lanjutkan setelah Gus Dur tiada?. Kita para Gusdurian --baik dari masyarakat nahdliyin hingga para agamawan lintas agama dan keyakinan-- harus mampu mengembalikan warisannya sebagai landasan berbangsa dan bernegara, meskipun butuh penyegaran makna sesuai dengan konteksnya. Gus Dur adalah teks yang mencerahkan laksana lilin menyinari sekitarnya sekalipun pada akhirnya dirinya sendiri sering dikorbankan.  

Hanya dengan cara ini, kita boleh bangga disebut sebagai Gusdurian sejati. Para teoritis telah banyak muncul dari tradisi akademik yang mengagungkan rasionalitas (baca; dunia kampus). Tapi, sampai hari ini masih sedikit yang turun dijalanan, menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hak-hak minoritas, kekerasan antar agama dan melawan korupsi yang semakin menggurita. Memang ada gerakan, tapi masih setengah-setengah, untuk tidak mengatakan kurang berani melawan sampai tuntas. 

Berbuat untuk Semua

Satu hal yang memang tidak bisa dilupakan atas jasa Gus Dur bagi bangsa ini adalah merajut kemaslahatan yang besar dengan menepikan segala kemaslahatan kecil demi kepuasan jangka pendek. Pasalnya, tidak sungkan-sungkan –apalagi merasa takut--, Gus Dur melontarkan ide-ide segar sekalipun dianggap beberapa kalangan sebagai pemikir liberal bahkan tidak sedikit mereka yang menuduhnya sebagai antek-antek Yahudi.

Ada dua ide penting yang diwariskan Gus Dur, Pertama, tentang ide Gus Dur mengenai bolehnya mengganti ucapan salam dengan “Selamat Pagi”. Ide ini sempat membuat panas para ulama di Jawa Timur, tapi gitu aja kok repot itulah lontaran Gus Dur menyikapi teguran. Tapi, dengan cukup sistemik, Gus Dur mengatakan bahwa “saya tetap menghimbau agar kita menghargai budaya melalui sebuah upaya pribumisasi Islam”. Ucapan salam pula tidak bisa dilepaskan dari budaya Arab dan penggantian ini bukan dalam konteks keseluruhannya sebagaimana dalam sholat juga ada anjuran Salam yang tidak mungkin digantikan. 

Gagasan kontroversi ini perlu diteruskan dalam arti perlunya selalu memberikan penghargaan terhadap budaya sendiri. Tidak sedikit anak bangsa yang belajar di luar negeri melupakan tradisinya sendiri. Alih-alih memberikan situasi harmoni bagi keragaman budaya sendiri, mereka larut dalam kebenaran melalui cara berfikir luar, baik Arab-sentris maupun Barat-sentris, yang selalu kurang mempertimbangan kearifan lokal.

Berfikir Arab-sentris selalu melahirkan para teoritis, yang anti Pancasila dan menolak lokalistik, hingga mereka melakukan beragam teror demi atau atas nama pembelaan terhadap Islam. Sementara mereka yang berfikir Barat-sentris selalu mengagung-agungkan rasionalisme Barat padahal mereka hidup dalam kultur yang berbeda, yaitu kultur ke-Indonesiaan dengan keragaman penduduknya dari Sabang sampai Merauke.

Sekalipun lahir dan berkembang dari tradisi pesantren, Gus Dur ingin menghadirkan Islam secara damai melalui teorisasi “pembumian Islam”. Sebuah konsepsi Islam yang sebenarnya secara praktek telah diwariskan dari para Walisongo. Dengan cara ini pula tegas Gus Dur, Islam akan mudah berdiaspora, tidak hanya dalam ranah kultur pesantren, tapi juga semua kultur kehidupan manusia sebagaimana disimbolkan dari sosok Gus Dur yang dikenal sebagai Guru Bangsa, Budayawan, Politisi, Agamawan dan lain-lain.

Kedua, pembelaan terhadap minoritas. Bagi komunitas lintas agama Gus Dur laksana “Pandeto” yang mengayomi semua golongan. Ini dilakukan sebab dalam pandangannya negara ini bukan negara Islam, tapi negara Pancasila sehingga kelompok minoritas tetap memiliki hak hidup damai dan pemerintah wajib melindungi kehidupan mereka sebagai wujud implementasi dari nilai-nilai berbangsa.

Maraknya kelompok yang merasa paling benar dalam memaknai Islam dengan melakukan aksi pemaksaan terhadap kelompok lain, sungguh bertentangan dengan spirit Pancasila dan UUD 1945. Karenanya, ketegasan pemangku negara itu penting untuk menindak kelompok “premanisme” keagamaan sebab langkah tidak tegas –apalagi pembiaran—akan merusak sendi-sendi berbangsa yang telah dibungkus cukup apik dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika.   

Dua warisan ini yang kemudian layak diteruskan seiring telah 1000 hari Gus Dur mangkat keharibaan Tuhannya, Allah Swt. Gus Dur boleh tidak ada, tapi amal baiknya dalam mengembangkan humanisme sepanjang hidup dapat memantik kita semua meneladani dengan selalu berpikir dan bertindak demi kebajikan pada sesama, bukan hanya pada diri sendiri dan kelompoknya semata. 

Akhirnya, para Gusdurian dimanapun berada sudah saatnya kita perlu menyatukan sikap dan langkah dengan belajar serius dari perjalangan hidupnya. Tradisi belajar ini penting sebab Gus Dur adalah sosok yang pembaca kelas berat. Sekalipun dari pasantren, ia tidak panik apalagi tabu membaca literatur luar. Dan selanjutnya, demi kemanusiaan, pastikan –dengan keberanian pula-- bahwa teori tidak akan berarti apa-apa tanpa dipraktekkan secara nyata. Allahumma nawwir Qabrahu. Semoga.*      


* Penulis Buku Gus Dur; Sang Guru Bangsa, aktivis PC Lakpesdam NU Surabaya


Terkait