Oleh KH Asep Saifuddin Chalim
Judul di atas merupakan tema Hari Guru Nasional (HGN) 2016. Jika diperhatikan, frase tersebut di atas mengandung 2 variabel, yaitu : pertama, Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), dan kedua, hasil karya GTK. Mari kita ulas kedua hal tersebut satu per satu dikaitkan dengan realitas yang terjadi di Indonesia.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa beberapa survey menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia berada jauh di bawah rata-rata tingkat pendidikan dunia, bahkan di jajaran negara-negara ASEAN-pun peringkatnya tidak cukup menggembirakan bila dibandingkan Thailand, Brunei, Malaysia, apalagi Singapore.
Hal ini menunjukkan bahwa ada 3 komponen, yaitu: GTK, sistem pendidikan, dan fasilitas pendidikan yang dapat dipastikan tidak berkualitas baik, sehingga luarannya (learning outcomes) menjadi bermutu rendah. Mengapa GTK Indonesia tidak berkualitas?
Pertama, pola rekrutmen GTK yang tidak mengedepankan pada standar kompetensi keilmuan, pedagogik, dan perilaku serta moral yang ketat. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain perilaku koruptif, kolusif dan nepotisme.
Kedua, GTK tidak lagi dipandang sebagai suatu profesi keahlian yang dituntut tidak hanya memiliki kecakapan di bidangnya, akan tetapi membutuhkan komitmen, kreativitas, ketangguhan, dedikasi, keikhlasan, welas asih, dan kepedulian. Dengan demikian, dewasa ini, fungsi GTK menjadi tereduksi sedemikian rupa sehingga tidak ubahnya sebagai suatu pekerjaan yang merupakan sumber mata pencaharian semata.
Ketiga, aktibat dari kenyataan tersebut di atas, maka tidak dapat dihindari bahwa kemudian perilaku sebagian besar GTK adalah bersifat transaksional, sekedar menghabiskan paket waktu di kelas saja. Dengan kata lain, banyak GTK tidak bersemangat mencurahkan tenaga, pikiran dan waktu untuk membangun dirinya serta beraktivitas demi peningkatan kualias peserta didiknya. Hal ini menjadi semakin jelas ketika banyak suara GTK bernada resisten terhadap wacana pemerintah menerapkan 8 jam kerja per hari.
Keempat, adanya fenomena yang menunjukkan bahwa profesi GTK tidak lain sebagai pelarian bagi banyak orang ketika mereka tidak mampu bersaing merebut kesempatan kerja di bidang keahliannya. Tidak sedikit pengajar matematika berlatar belakang pendidikan teknik elektro, arsitek atau teknik mesin dikarenakan mereka tidak mampu memperoleh pekerjaan atau berusaha di bidang keahliannya. Demikian potret wajah GTK di Indonesia dewasa ini, yang barang tentu menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua.
Sistem Pendidikan Nasional
Sementara itu, dilihat dari sistem pendidikan nasional, Indonesia telah mengalami sejarah panjang dengan berbagai kontroversi, ambil saja contoh penentuan dan implementasi kurikulum nasional. Karena dianggap tidak memadai untuk memenuhi tuntutan zaman, maka kurikulum KTSP telah diganti oleh sistem kurikulum 2013.
Dalam perjalanannya, kurikulum 2013 ternyata juga mendapat kritikan dari berbagai penjuru yang pada intinya kurikulum 2013 tidak bisa dilanjutkan, atau paling tidak perlu direvisi secara mendasar. Sekarang, muncul wacana pemberlakuan sistem Kurikulum Hidup (Living Curriculum) yang telah terbukti berhasil di beberapa negara. Salah satu prinsip dasarnya adalah kurikulum ini tidak pernah usang dan lekang oleh tuntutan lingkungan yang terus berubah. Mengapa demikian? Karena kurikulum disusun bak bangunan rumah-tumbuh yang penghuninya bisa, bahkan harus. berubah kecakapan, tampilan dan perilakunya sesuai dengan perubahan lingkungan sekitarnya.
Artinya, guru harus tumbuh (growing) untuk meningkatkan dirinya agar tidak ketinggalan zaman, kreatif (creative) dalam pembelajaran dan menelurkan ide-ide baru, adaptif (adaptive) dengan kondisi lingkungan, responsif (responsive) terhadap segala bentuk perubahan. Di samping itu guru harus peduli (caring) terhadap peserta didiknya, memberikan ilmu pengetahuan dan ketrampilan (nurturing) dan merangsang (stimulating) para peserta didik, menyayangi (love), memberikan suri-tauladan (patron) dengan cara berperilaku dan bermoral mulia layaknya orang tua (parent) sekaligus sebagai seorang pemimpin (leader).
Dengan demikian, guru tidak lain merupakan episentrum getaran aktivitas pendidikan yang dapat dirasakan oleh setiap peserta didik terus menerus yang tidak pernah berhenti. Proses pembelajaran adalah hidup, tidak kaku yang terbatasi oleh kurikulum tradisional dengan rambu-rambu yang sangat ketat (rigid curriculum). Oleh karena itu, adalah tepat jika kemudian, Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyatakan bahwa guru adalah kurikulum yang nyata (the real curriculum) karena guru tidak pernah berhenti untuk membangun dirinya senantiasa menjadi lebih baik (never stop getting better).
Jika akhirnya, kurikulum hidup (living curriculum) diputuskan menjadi pilihan, maka sudah barang tentu harus dipertimbangkan semasak mungkin mengingat prasyaratnya begitu berat terutama kapabilitas guru yang ada pada saat ini. Dalam model kurikulum hidup, di samping memiliki kapabilitas sebagaimana disebutkan di atas, guru harus pula mau (willing to) dan mampu (able to) menyediakan waktunya untuk memotivasi peserta didiknya satu per satu (one on one motivation). Dalam hal ini, kiranya perlu diingat bahwa meski guru dianggap sebagai kurikulum nyata (the real curriculum), namun bukan berarti guru bergerak bebas tanpa batas sehingga tidak menutup kemungkinan akan menjadi liar. Oleh karena itu, seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa kurikulum hidup (living curriculum) ibarat sebuah bangunan rumah yang memiliki pondasi dan pilar-pilar yang kokoh.
Dengan demikian, dalam konteks pendidikan di Indonesia, maka pondasi tersebut tidak lain adalah wawasan kebangsaan yang terdiri dari 4 pilar, yaitu: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI ditambah lagi dengan koridor berupa sistem budaya termasuk kehidupan beragama, politik dan hukum serta sistem ekonomi.
Kinerja GTK
Secara umum, penyelenggaraan pendidikan terdiri dari 3 tahapan, yaitu masukan (input), proses dan luaran (learning outcomes). Jelas kiranya, luaran tidak lain merupakan indikator kunci dari kinerja (key performance indicator) GTK . Secara sempit, indikator kinerja dari GTK adalah kualitas lulusan dengan indikasi antara lain: memiliki nilai ujian nasional (UNAS) rata-rata di atas nilai rata-rata regional dan nasional, mampu meneruskan pendidikan lanjut sesuai dengan pilihannya, mampu berkompetisi dalam seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) atau swasta favorit sesuai dengan keinginannya, mampu bersaing mendapatkan bea-siswa kuliah dalam negeri maupun luar negeri.
Sementara itu, untuk perguruan tinggi, lulusannya mampu memenangi persaingan memperebutkan lowongan pekerjaan dan jabatan, mampu menciptakan dan menggapai reputasi dalam perusahaan, mampu mengembangkan usaha sendiri (wirausaha) dan mampu berkiprah dalam organisasi masa. Di samping itu, indikator kinerja pendidikan tinggi dapat dilihat pula dari jumlah penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, jumlah temuan yang dipatentkan dan sebagainya. Dengan demikian untuk mengukur kinerja GTK dalam arti sempit, antara lain dengan menghitung berapa banyak lulusan yang mampu mencapai posisi tersebut di atas.
Sementara itu, dalam arti yang luas, kinerja GTK dapat diukur dari tingkat kepuasan para pemangku-kepentingan (stake holders), yaitu: peserta didik termasuk para alumninya, orang tua, dunia usaha, birokrasi, para pegawai lembaga pendidikan, masyarakat luas, dan yayasan pemilik lembaga pendidikan. Untuk mengukur kinerja GTK secara keseluruhan adalah dengan melakukan penyebaran angket (questionnaires) kepada para pemangku kepentingan dengan berbagai model pendekatan. Sedangkan untuk mengukur kinerja GTK secara individual salah satunya adalah dengan pendekatan 3600 (three hundred sixty degree approach) yang dianggap obyektif, atau tidak bias. Pertanyaannya adalah apakah hal ini telah dipraktekkan di Indonesia? Jika tidak, maka jangan berharap kita bisa mengetahui bagaimana kinerja GTK sesungguhnya.
Simpulan
Karena berbagai persoalan sebagaimana dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, tidak dapat dibantah bahwa kualitas GTK di Indonesia perlu ditingkatkan karena luarannya (learning outcomes) belum memuaskan semua pihak. Hal ini tercermin dari hasil survey oleh lembaga independen yang menempatkan peringkat kualitas pendidikan Indonesia pada level yang rendah, baik secara global maupun regional. Di samping rendahnya kualitas GTK, dunia pendidikan Indonesia dibebani dengan persoalan penetapan model kurikulum yang selama ini penuh kontroversi, sehingga akhir-akhir ini pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melemparkan wacana kurikulum hidup (living curriculum) yang telah sukses diimplementasikan di beberapa negara maju (developed countries). Dalam hal ini, pemerintah perlu mempertimbangkan dan berkalkulasi dengan cermat apakah kondisi GTK, sarana dan prasarana, fasilitas pendukung lainnya, serta budaya bangsa yang nota-bene sebagai suatu negara baru berkembang (developing country), kita telah siap dan memenuhi prasyarat bagi penerapan kurikulum hidup tersebut.
Akhirnya, sejauh ini, kita tidak bisa menyatakan bahwa GTK telah berkarya dengan baik atau buruk manakala kita tidak melakukan pengukuran kinerja (performance evaluation) dengan pendekatan yang benar, sehingga menghasilkan simpulan yang riil dan obyektif. Oleh karena itu, adalah sulit men-justifikasi apakah GTK adalah mulia karena mereka telah berkarya, atau sebaliknya.
Selamat merayakan Hari Guru Nasional 2016. Semoga tema perayaan tahun ini “GTK Mulia Karena Karya” bukan merupa sebaris kata-kata bermakna sarkasme, tetapi sebuah do’a. Aamiin Ya Robbal’alamin
KH Asep Saifuddin Chalim, Ketua Umum Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PERGUNU)