Oleh Syaifullah Amin
Keris adalah simbol kepahlawanan di Nusantara, khususnya Jawa. Keris bukanlah senjata utama bagi sepasukan tentara Jawa. Keris adalah senjata yang bersifat pribadi atau biasa disebut sebagai agamanya yang artinya pegangan. Dalam dinas kemiliteran lawas, keris serupa tongkat komando bagi tentara modern semacam pistol kebanggaan bagi para perwira atau pendekar.
Di Jawa, kepemilikan keris bukan hanya didominasi oleh militer. Baik Jawa lama maupun Jawa modern keris biasa dimiliki oleh berbagai kalangan. Ksatria atau militer, pedagang maupun para begawan atau guru-guru yang dalam Bahasa sekarang biasa disebut sebagai tokoh, baik tokoh agama, tokoh masyarakat maupun tokoh pemuda, semua biasa memiliki keris. Senjata yang terbuat dari logam berkelok-kelok ini juga biasa disebut sebagai piandel. Ya artinya sama saja, senjata pegangan atau senjata favorit.
Keris juga bermakna sebagai simbol citra diri dan ketersambungan spiritual. Makna ini terus berlaku sejak zaman kuno hingga zaman modern. Karenanya, keris adalah simbol yang terus diharapkan melekat pada setiap putra Jawa, di mana pun mereka berada. Ya di mana pun mereka berada, termasuk di Korea Selatan.
Kenapa saya mengawali tulisan ini dengan membahas keris? Padahal saya ingin membincang tentang semangat ke-Nahdliyin-an warga negara Indonesia di Korea Selatan? Ya, karena saat saya berada di Korea Selatan, saya berkesempatan menyaksikan penyambungan estafet sanad ke-Aswaja-an dari KH Said Aqil Siroj selalu Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kepada para Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Korea Selatan yang secara simbolik diwakili oleh Madi Al-Rasyid selaku Ketua Tanfidziyah.
Keris yang diserahkan bukanlah keris lama, ya kerisnya memang keris baru, tetapi maknanya adalah makna lama. Artinya keris yang diserahkan merupakan simbol bagi ketersambungan semangat perjuangan Islam menurut cara yang berkembang di Indonesia, yang kini biasa disebut sebagai Islam Nusantara.
Dengan diserahkannya keris dari Ketua Umum PBNU, berarti teman-teman PCINU Korea Selatan menerima untuk memgemban amanah yang sama untuk mendakwahkan Islam Nusantara, khususnya di Korea Selatan. Nah dari konsep ini, marilah kita turunkan ke ranah praksisnya. Saat ini PCINU bermarkas di Incheon, tepat di samping Masjid Al-Mujahidin yang juga menjadi tempat konsolidasi mereka.
Keris, simbol estafet kepemimpinan di PCINU Korsel. (Foto: istimewa)
Oke, marilah kita lihat, setidaknya melalui tulisan ini, bagaimana sepakat terjang PCINU Korea Selatan. Paling tidak sejak mereka pertama kali dilantik di Daejon pada tanggal 28 September 2014 M. Masa kepengurusan PCINU adalah dua tahun, mempertimbangkan masa kerja dan berlakunya Visa.
Setelah dilantik, teman-teman PCINU terus melakukan konsolidasi keluar dan ke dalam. Mereka juga melengkapi kepengurusan dengan membentuk alat kelengkapan organisasi. Kini PCINU sudah memiliki beberapa lembaga seperti LDNU, LTMNU, LPNU, LAZISNU dan LESBUMI serta dua Banom, yakni Fatayat dan Ansor serta Banser.
Saya juga berkesempatan untuk mengikuti pengukuhan anggota Banser di sana pada hari Sabtu malam Ahad tanggal 22 September 2018 kemarin di Masjid Al-Huda Gumi. Sehingga cukup banyak mendapat bahan obrolan seputar ghirah (spirit) dan kegiatan ke-NU-an di Korea Selatan.
Mereka bercerita bahwa, memperjuangkan NU di Korea Selatan bukanlah perkara mudah. Beberapa hal yang menjadi kendala bagi perjuangan NU antara lain adalah pertama, satu sisi dilihat dari diri mereka sendiri selaku pribadi pengurus yang mayoritas berprofesi sebagai TKI buruh pabrik. Memang ada beberapa pengurus yang bukan TKI, seperti para mahasiswa dan staf kedutaan atau pemegang visa non-TKI lainnya, tetapi jumlah mereka tidaklah banyak.
Kedua, dari sisi masyarakat Indonesia di Korea yang diajak untuk ber-NU, mereka pun mayoritas adalah sesama TKI buruh pabrik yang jam kerjanya sangat ketat. Jam kerja apa Korea. Memang tidak semua adalah buruh pabrik, ada yang butuh di pertanian atau butuh lepas lainnya, tetapi tetap saja, jam kerjanya adalah jam kerja Korea. Waktu dan tenaga mereka hampir-hampir sudah habis untuk bekerja. Sisa-sisa tenaga mereka tinggallah untuk istirahat saja.
Ketiga, adalah faktor dai dari luar NU, baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Untuk dai non-NU, maksudnya non Aswaja dari dalam negeri biasanya berasal dari lembaga donasi sebelah yang mensponsori puritanisme Islam. Sedangkan dai non-Aswaja dari luar negeri biasanya didominasi oleh jamaah Tabligh, atau di sana mereka biasa menamakan diri Jamaah Dakwah. Saya juga sempat bertemu dan berbincang-bincang dengan beberapa orang dari kelompok terakhir ini.
Dengan adanya ketiga tantangan ini memang bukan hal mudah bagi perjuangan para pengurus. Ditambah kenyataan bahwa mereka sedang berada di negeri orang. Harga-harga mahal bos, sewa gedung atau hallo untuk acara pengajian dan juga mobilisasi atau pergerakan massa juga membutuhkan waktu dan biayanya yang lumayan.
Masjid-masjid dan musholla-musholla memang sudah eksis dan sudah terjaring komunikasi aktif, baik antar masjid-musholla maupun dengan kepengurusan PCINU, demikian pun dengan komunitas-komunitas kedaerahan di sana. Terbukti banyak pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh masjid-musholla maupun komunitas kedaerahan ini yang difasilitasi oleh PCINU, khususnya untuk urusan mendatangkan dai atau ustadz dari tanah air.
Alhamdulillah, selama di Korea Selatan selama dua minggu, saya turut menyaksikan secara langsung bagaimana PCINU beserta lembaga-lembaga dan Banomnya, aktif memfasilitasi kegiatan-kegiatan dakwah di Korea yang diselenggarakan oleh masjid-musholla maupun komunitas kedaerahan. (bersambung)
Penulis adalah Wakil Direktur NU Online