Opini

Gerakan Wali Songo Kedua

Selasa, 7 Oktober 2003 | 18:43 WIB


Oleh : Akh. Muzakki *

Api keberagamaan yang penuh kedamaian dan kesalingmengertian perlu digelorakan kembali. Pesan itulah yang ingin disebarluaskan oleh PBNU melalui gagasan Gerakan Walisongo Kedua (GWK) saat ini. Seperti diberitakan Harian ini  Indonesia “PBNU Canangkan Gerakan Walisongo Kedua,13 September 2003, saat ini PBNU mencanangkan GWK sebagai respon terhadap berbagai bentuk radikalisme agama. “Kami harus gerakkan kembali paham tersebut supaya tidak ada kekerasan atas nama agama,” begitu pernyataan Hasyim Muzadi, ketua umum organisasi Islam terbesar di Indonesia. Untuk mengapresiasi gagasan di atas, pertanyaan yang penting untuk dikembangkan adalah mengapa gerakan Walisongo dijadikan sebagai inspirasi untuk mengembangkan keberagamaan yang damai? Apa pentingnya melawan radikalisme atas nama agama dengan melakukan gerakan pemahaman dan praksis agama seperti yang dilakukan Walisongo? Sejauh mana gerakan itu menemukan efektifitasnya?

<>

Ada dua agenda, paling tidak, yang bisa diwarisi oleh gerakan ini dari keberagamaan model Walisongo. Pertama, menyampaikan pesan agama dengan penuh kebijaksanaan (wisdom). Atau, dalam bahasa al-Qur’annya, “Ud’u ila sabili rabbika bi al-hikmh (Lakukanlah dakwah secara bijaksana).” Nilai dan pola keberagamaan seperti ini menjadi salah satu karakter dari Walisongo.  penyebar Islam di Jawa ini menggunakan strategi dan pendekatan yang persuasif, dan tidak konfrontatif. Ibarat penari, mereka menari sesuai dengan irama gendang yang mengiringinya. Dan, bukan memaksakan irama gendang mengikuti gerak tariannya.

"Sebagai contoh konkretnya, para wali ini memahami sekali karakter kultural masyarakat Jawa yang menyukai seni. Salah satu kesenian yang sangat popular saat itu adalah wayang. Nah, para wali mentransformasikan pemahaman mereka terhadap kultur Jawa ini ke dalam sebuah pertimbangan dalam mendakwahkan agama kepada masyarakat. Mereka tidak secara serta merta menghilangkan kesenian itu. Bahkan sebaliknya, mereka menggunakannya sebagai instrumen untuk proses diseminasi dan internalisasi ajaran Islam.

Caranya, mereka tidak menghapus atau merubah cerita Bharatayuda dan Ramayana yang berasal dari tradisi Hindu, misalnya. Tetapi, mereka memasukkan nilai-nilai simbolik sufisme Islam ke dalam cerita dan lakon pewayangan tersebut. Melalui cerita dan lakon pewayangan itu, mereka memasukkan tembang-tembang yang bernilai Islami namun tetap menggunakan bahasa dan nama-nama lokal yang telah ada.

Strategi dan pendekatan seperti ini ternyata berhasil menarik hati masyarakat Jawa saat itu. Sebagai hasilnya, dengan begitu cepat Islam telah dipeluk oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Bahkan, berdirinya kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa merupakan saksi sejarah atas keberhasilan pendakwahan Islam oleh para wali ini. Hal ini tidak lain karena prinsip hikmah kebijaksaan sangat diperhatikan dengan tidak melakukan konfrontasi dengan kultur dan masyarakat setempat.

Dengan pola kebijaksanaan seperti ini, dan ini agenda kedua dari keberagamaan Walisongo, radikalisme tidak perlu dan tidak seharusnya digunakan dalam pemahaman dan praktik keberagamaan. Tidak saja, radikalisme yang dilakukan pada level sosial, seperti pada kasus Bom  dan Marriot. Tetapi juga pada level negara, terlepas apapun agama yang dipedomani oleh masyarakatnya, seperti yang tampak pada perlakuan  terhadap Palestina.

Secara apik pula, Walisongo mencontohkan keberagamaan yang sejuk, damai, toleran dan jauh dari radikalisme. Meski pendakwahan agama tidak pernah berhenti mereka lakukan, Walisongo tidak merusak atau menghabisi warisan sejarah keberagamaan sebelumnya. Meski masjid didirikan, Borobudur dan Prambanan masih tetap terjaga keutuhannya sebagai tempat ibadah agama lain. Fakta sejarah ini menegaskan bahwa bukan karena tuntutan pendakwahan agama yang diyakini, lalu ada alasan untuk menghancurkan nomenklatur agama lain. Fakta inilah yang membuat Walisongo dikenang dalam sejarah Islam sebagai pelaku agama yang toleran, tidak radikal.

Pesan penting yang bisa ditarik dari keberagamaan Walisongo di atas adalah bahwa kekuatan kultural internal masyarakat Islam Indonesia perlu mendapatkan penguatan kembali. Kekayaan tradisi Islam yang penuh toleransi, moderasi, dan perdamaian, seperti yang pernah menjadi karakter gerakan keagamaan Walisongo, mesti digali kembali agar kekerasan atas nama agama tidak lagi menghiasi kehidupan keberagamaan sementara ini. Di mana saja. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lainnya.

Melawan radikalisme dengan kekuatan kultural memang akan mempunyai efek yang panjang bagi keberagamaan yang damai. Namun demikian, capaian itu memerlukan waktu yang cukup panjang pula. Sementara dari laporan media atas sejumlah pelaku radikalisme agama, tampak bahwa ada motif lain yang berdimensi kekinian di balik aktivitas radikalisme itu. Selain motif kultural keberagamaan seperti dimaksud, motif lain itu erat kaitannya dengan persoalan ketidak


Terkait