Oleh Irham Yuwanamu
Selepas hari libur Lebaran ini topik full day school (FDS)—sekolah 5 hari dan 8 jam perhari—makin hangat diperdebatkan. Pasalnya, hingga kini belum ada titik temu antara pemerintah dan masyarakat yang kontra.
Sejak awal terlontarkan pada tahun 2016 ide ini sudah menuai kritik dan penolakan dari masyarakat. Walupun begitu pemerintah melalui Mendikbud tetap ingin menerapkan ide tersebut dengan membuat Permendikbud nomor 23 tahun 2017 tentang hari sekolah. Kritik dan penolakan pun datang dari berbagai pihak.
Karena kontroversi yang sangat keras, Presiden Jokowi akhirnya membatalkan Permendikbud itu, dan akan dikaji ulang. Menurut Mendikbud, FDS akan diperlakukan melalui aturan yang lebih tinggi melalui Perpres.
Akar Masalah
Mendikbud keukeuh untuk menerapkan ide yang digagasnya sejak awal menjadi menteri pendidikan tanpa mempertimbangkan aspirasi yang ada. Keributan di luar dianggap angin lalu. Sebenarnya apa argumentasi yang paling mendasar dari Mendikbud ini? Mencermati dari Permendikbud nomor 23 itu tujuannya untuk menghadapi era globalisasi dengan penguatan karakter dengan restorasi pendidikan karakter. Untuk itu alternatifnya adalah waktu sekolah dibuat 5 hari dan perharinya 8 jam.
Sebelumnya tak terdengar ada kajian yang mendalam tentang bentuk restorasi pendidikan karakter yang tepat seperti apa, kemudian mengapa solusinya FDS, apa hubungannya. Dugaan penulis jangan jangan ini masih sebatas asumsi Mendikbud bahwa FDS sebagai jawaban tepat.
Mendikbud tak melihat kesiapan di bawah seperti apa. Faktanya banyak forum guru dan orang tua murid menolak, warga NU protes keras yang secara resmi disampaikan oleh PBNU, dan juga MUI dengan berbagai alasan yang mendasar. Ini menunjukkan ketergesaan Mendikbud dan abai atas aspirasi rakyat. Kebijakan tanpa melihat aspirasi dari bawah yang niatnya baik bisa menjadi tidak baik hasilnya. Mengapa fakta dari bawah tidak diindahkan.
Persoalan karakter sudah menjadi sorotan oleh menteri pendidikan sebelum era Presiden Jokowi, yaitu pada saat Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang menteri pendidikannya waktu itu pak Nuh. Dengan berbagai kajian yang dilakukan terwujudlah kurikulum 2013 (K-13) sebagai kurikulum yang terintegrasi dan berbasis karakter. Tentu kurikulum ini disertai kritik tajam dari masyarakat dan para pakar. Kurikulum ini pun nasibnya belum jelas karena sebelum diimplementasikan sepenuhnya sudah diberhentikan. Namun begitu, pendidikan di lingkungan Kemenag saat ini telah menerapkan K-13. Artinya penguatan karakter melalui kurikulum pendidikan belum rampung sudah beralih pada penentuan hari sekolah.
Kemudian tepatkah FDS untuk penguatan karakter? Pertanyaan ini perlu dilontarkan, mengingat klausul utama dalam Permendikbud itu adalah penguatan karakter dan jawabannya tidaklah cukup berangkat dari asumsi, tetapi harus dari hasil riset yang mendalam.
Asumsi FDS adalah membatasi jam main anak di luar kontrol orang tua sepulang sekolah. Dengan demikian agar anak didik terjaga di sekolah dan karakternya menjadi baik. Benarkah demikian! Apakah kalau tidak FDS anak didik merosot karakternya, jangan jangan hanya kasuistik saja hal itu terjadi. Ini butuh kajian lapangan yang serius.
Setelah presiden Jokowi meminta agar permendikbud dibatalkan dan dikaji kembali, Mendikbud menjelaskan sebenarnya ide sekolah 8 jam sehari berawal dari problem tunjangan guru (detik, 8/6). Jika Hal ini benar, maka Permendikbud yang lahir tersebut atau yang akan dibuat perpres tak jelas landasan dasarnya untuk penguatan karakter.
Pengelolaan pendidikan tidak boleh asal, sebab pendidikan sebagai strategi membangun peradaban dan kebudayaan bangsa. Dari pendidikan juga sosio-kultural terbentuk. Jadi dampaknya ini sangat besar, apakah sudah diperhitungkan semua itu?
Kebijakan Multikultural
Indonesia adalah negara yang berbhineka. Tidak Indonesia kalau tak beragam dan majemuk. Untuk mengatasi persoalan pendidikan nasional di Indonesia khususnya tentang FDS, kebijakan yang menghargai perbedaan dan kemajemukan lah yang bisa menjadi solusi.
Sejarah era orde baru dapat menjadi pelajaran penting. Kebijakan yang sifatnya terpusat, dari atas ke bawah tanpa melihat keragaman dan perbedaan yang ada, terbukti gagal. Indonesia yang berbhineka alias multikultural tidak bisa disamaratakan. Di era reformasi jangan sampai kembali pada masa kelam.
Kebijakan multikultural dalam pendidikan nasional perlu diterapkan. Kebijakan yang seperti ini yang menghargai keragaman dan kemajemukan yang tepat untuk Indonesia. Kontroversi tentang kebijakan FDS hemat saya karena tidak melihat aspirasi masyarakat dan tak berdasar dari riset yang kuat. Sementara masyarakat ada yang pro dan kontra karena kebutuhan dan konteks sosial yang berbeda. Mungkin bagi masyarakat perkotaan dengan kondisi orang tua murid yang sibuk bekerja akan setuju, walaupun tidak semuanya. Dan ini berbeda pada kondisi yang ada di daerah. Situasi pendidikan yang masih kurang memadai baik sarana prasarana maupun SDM-nya juga menjadi salah satu faktornya. Belum lagi tradisi lainnya seperti adanya sekolah sore (sekolah ngaji). Mendikbud setidaknya mengajak bicara pada semua kalangan yang memiliki kepentingan. Dengan seperti ini akan tahu aspirasi yang disampaikan yang berbeda-beda pula.
Perbedaan yang ada itu perlu diperhatikan sehingga kebijakan yang ditetapkannya tidak harus seragam tapi dapat beragam sesuai konteks masalah yang dihadapi. Inilah semangat dari UU Sisdiknas tahun 2003 yaitu otonomi pendidikan. Jika FDS masih diberlakukan dengan pendekatan seragam dari atas ke bawah, ini bertentangan dengan UU Sisdiknas tersebut, alih-alih untuk meningkatkan moralitas, malah bisa-bisa membuat karakter anak makin merosot karena kebijakan yang tanpa didukung dengan riset yang mendalam.
Kebijakan multikultural dapat diberlakukan pada kurikulum, sistem evaluasi, dan yang terkait dengan pendidikan. Semestinya hal-hal yang seperti ini diurus oleh organisasi profesi keguruan yang merupakan ahlinya. Level kementerian mengurus yang sifatnya besar-besar saja misalnya soal pendanaan, dan pengembangan SDM. Dengan seperti ini proyek pendidikan dengan visi ke depan jangka panjang tetap terjaga. Sementara ini visi pendidikan nasional kita masih jangka pendek, ganti menteri ganti kebijakan. Kapan unggulnya?
Penulis adalah dosen FAI UNISMA Bekasi, dan UNU Indonesia serta peneliti di Pusat Riset Pendidikan Indonesia